Blog

Memproduksi Olahan Sayap Ayam dan Berjualan Bersama

Ide awal

Jika naik Gunung Andong kemarin adalah kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan emosional manusia berupa bersenang-senang, kegiatan berjualan bersama ini adalah salah satu percobaan untuk memenuhi kebutuhan penghidupan biologis kita, mencari makan lewat alat tukar bernama uang. Dari hasil diskusi dengan teman-teman di pertemuan awal, masih banyak yang membayangkan bahwa cara bertahan hidup adalah dengan bekerja dan mendapatkan uang. Oleh karena itu, saya ajak teman-teman untuk mencoba melakukan pekerjaan yang produktif dan juga bisa dilihat hasilnya dengan cepat, yaitu berjualan. Saran pertama muncul dari Bunda Kinar yang mengatakan bahwa ayam potong sedang mengalami over supply yang membuat harganya turun drastis. Berdasarkan informasi tersebut, Bunda Kinar mencoba untuk mengolah sayap ayam yang biasanya kurang laku menjadi sesuatu yang bisa diminati oleh orang-orang. Ia mempunyai ide untuk mengeluarkan tulang dari sayap ayam, lalu mengisinya dengan campuran cincangan ayam, wortel, buncis, dan telur. Bunda Kinar juga mengajak untuk membuat sate beserta bumbu marinasinya. Tawaran ini disambut antusias oleh teman-teman. Sedari awal, saya juga membahas tentang pembagian keuntungan yang perlu kita diskusikan bersama setelah berjualan. Sebagai bagian dari persiapan, Bunda Kinar bersedia untuk menunjukkan cara pembuatannya di rumahnya, serta mengajak anak-anak untuk membeli ayam di toko langganannya dan bumbu yang diperlukan di Pasar Kotagede. Neira dengan sukarela mencatat bahan-bahan yang diperlukan untuk setiap menu.

Setelah selesai membeli semua bahan, Bunda Kinar menunjukkan cara mengeluarkan tulang dari sayap ayam. Setiap anak sudah membawa pisau dan talenan dan mulai mencoba. Ken mengalami kesulitan karena ia masih merasa jijik dan takut untuk memegang daging mentah. Akhirnya ia menawarkan diri untuk memotong sayuran. Neira & Kinar menemui kesulitan, namun mereka berusaha mencoba hingga berhasil melakukannya. Yang tidak disangka oleh teman-teman di awal, justru Jo yang paling terampil dalam menggunakan pisau untuk memisahkan daging dari tulangnya. Ia mengerjakannya dengan cepat dan rapi. Selanjutnya, Bunda Kinar juga memperlihatkan besaran potongan sate yang perlu kita buat.

Setelah bahan-bahannya siap, Ayah Kinar mempersiapkan dan menunjukkan cara menyiapkan arang untuk bakaran sate bersama Jo dan Bumi. Sementara Neira, Ken, dan Kinar diajak untuk menggoreng. Ketika semua sudah matang, kami menyantap hidangan yang kami buat sendiri bersama para orang tua dan merasa puas dengan pekerjaan kami.

Persiapan dan Berjualan di Pasar Regeng

Berbekal pengalaman tersebut, kami mencoba untuk secara mandiri menyiapkan bahan-bahan tersebut untuk berjualan. Untuk lokasi perdana, kami akan menyewa lapak di salah satu acara pasar 2 mingguan yang diinisiasi oleh Lekha, anak kelas 11 SMA SALAM, sebagai bagian dari risetnya. Pasar tersebut akan diadakan pada hari Minggu, 11 Mei. Kami melakukan persiapan selama 3 hari. Rencana awalnya, kami akan membagi tugas berdasarkan kemampuan yang kami miliki. Misalnya. Bumi akan bertanggung jawab pada rasa dan bumbu, karena ia yang paling sering memasak di antara kami. Jo akan bertugas sebagai seksi sibuk karena ia juga sudah mampu mengendarai motor. Kinar yang akan melakukan pemasaran dan penjualan. Lalu Neira yang bertugas untuk membuat desain dan menu. Neira juga mengusulkan nama lapak kami, yaitu Annnekijomi (hint: nama kami siapa saja?). Untuk harga, kami akan menentukannya bersama-sama.

Akan tetapi, banyak masalah yang muncul di masa persiapan tersebut. Pertama, hari berjualan yang tanggalnya sangat dekat dengan kegiatan kami sebelumnya yang cukup melelahkan, ditambah dengan jadwal pribadi teman-teman yang cukup padat. Akhirnya, banyak barang-barang yang belum kita siapkan pada waktunya. Di hari pertama, akhirnya kita hanya berhasil menyiapkan sayuran yang dipotong kecil-kecil untuk menjadi bahan yang dimasukkan ke dalam sayap ayam. Pada hari kedua, kami baru berhasil memotong sate ayam dan beberapa sayap ayam. Di hari ketiga, kami berhasil menyelesaikan sayap ayam, namun belum berhasil menyiapkan bumbu-bumbu. Akhirnya, kami dibantu oleh Bunda Kinar untuk menyiapkan bumbu sate dan menyelesaikan sayap ayam yang masih perlu dimasukkan potongan sayur dan dilumuri tepung.

Tibalah hari Minggu. Neira datang sangat pagi dan bersedia untuk membuat pincuk dari daun pisang. Meskipun ia belum pernah membuatnya dalam jumlah banyak, kali ini Neira berhasil membuat sebanyak 50 lebih. Di waktu yang sama, saya dan Jo mengusung-usung barang yang masih perlu dibawa dari rumah Kinar yang tertinggal, seperti bakaran sate dan arangnya. Setelah semua alat dan bahan siap, akhirnya kita mulai berjualan. Jo menjadi pembakar sate, sementara saya dan Neira bertugas untuk menggoreng. Ada beberapa temuan yang didapatkan teman-teman selama berjualan. Misalnya Jo yang melihat bahwa waktu pembakaran sate terlalu lama bila mulai dibakar dari awal. Akhirnya, ia mengusulkan untuk membakar semuanya hingga setengah matang terlebih dahulu dan nanti tinggal dipanaskan sebentar ketika ada yang membeli. Neira menunjukkan kemampuannya untuk berbicara di depan umum dengan mengajak pengunjung untuk membeli dagangan kita. Cukup banyak orang yang langsung datang ketika Neira mempromosikannya. Di akhir kita beres-beres, saya yang kebingungan tentang cara menaruh minyak goreng ke dalam botol plastik akhirnya dibantu Bumi yang mempunyai ide bahwa kita bisa menggunakan daun pisang untuk dijadikan corong.

Untungnya, dagangan kami lumayan laris dan prosesnya jauh lebih mulus ketimbang masa persiapannya. Akan tetapi, banyak evaluasi yang disampaikan Bunda Kinar untuk hal-hal teknis. Misalnya, ia menemukan bahwa ada beberapa sayap ayam yang dikerjakan dengan kurang hati-hati sehingga ada yang sobek sehingga sulit untuk diisi dengan sayuran. Ia juga kaget dengan jumlah tusuk sate sebanyak 68 tusuk yang kita siapkan, karena dari hitungannya, dengan jumlah berat dada ayam yang kita beli, seharusnya kita bisa membuat 80 tusuk sate. Evaluasi yang disampaikan Bunda Kinar menjadi alat analisis yang berharga untuk kita menilai sendiri pekerjaan yang kita lakukan. Pekerjaan ini juga bukannya dievaluasi untuk urusan benar-salah melalui standar dari Bunda Kinar. Namun karena kita berjualan, ada konsekuensi-konsekuensi nyata yang perlu kami perhatikan yang berhubungan dengan untung-ruginya kita berjualan, serta kepuasan pelanggan yang perlu kita perhatikan sebagai bentuk tanggung jawab sebagai penjual.

Part 2, Jualan di Semarak Sinau

Dari pengalaman tersebut, teman-teman masih bersemangat untuk diajak ikut berjualan di Semarak Sinau, pada tanggal 4 Juni. Namun dari pengalaman sebelumnya, saya memberi syarat kepada teman-teman perihal waktu dan pembagian tugas yang perlu lebih diperjelas. Perlu ada satu hari yang secara penuh dan fokus kita mengerjakan dengan bahan-bahan yang sudah lengkap. Kita menentukan hari yang mana semua orang harus ikut hadir, yaitu hari Senin tanggal 2 Juni, dua hari sebelum hari berjualan. Jeda sehari sebelum berjualan itu saya rasa penting karena khawatir masih ada hal-hal yang terlewat di hari Senin. Teman-teman juga sedikit merasakan kegelisahan, sehingga Bumi dan Neira mengajak untuk melakukan persiapan lebih awal, di hari Minggu tanggal 1 Juni. Saya dan Bumi akhirnya mencoba membuat bumbu sate di hari Minggu, namun mendapati bahwa ada alat dan bahan yang belum bisa kita dapatkan di hari tersebut, yang terutama ulegan. Oleh karena itu, kami sepakat untuk datang lebih awal di keesokan harinya, yaitu jam 1 siang, untuk mempersiapkan bumbu sebelum teman-teman yang lain baru bisa datang di jam 3 sore.

Persiapan kali ini jauh lebih lancar. Tidak ada yang dibantu Bunda Kinar secara langsung, ia hanya membantu memberikan instruksi dari jarak jauh. Setelah saya melengkapi bumbu yang dibutuhkan, Bumi langsung mengerjakan bumbu, dari meng-uleg hingga memasak bumbu. Neira juga ikut mencoba menguleg. Kinar yang juga datang lebih awal mulai mencuci ayam dengan jeruk nipis agar bau amisnya lebih tidak terasa.

Dalam proses pembuatan bumbu, kita berkali-kali mencoba agar mendapat rasa yang pas. Awalnya, saya terlalu banyak memasukkan kecap manis, namun teman-teman sudah memahami bahwa hal tersebut dapat dikoreksi dengan menambahkan garam. Ketika garam yang dimasukkan terlalu banyak, sebaliknya kita menambahkan gula sebagai penyeimbang. Akhirnya, teman-teman menyetujui rasa yang dianggap ‘pas’.

Sebagai respon dari evaluasi Bunda Kinar tentang jumlah tusuk sate yang dapat diproduksi dengan berat daging ayam tertentu, saya mengajak teman-teman untuk menggunakan timbangan demi mencari besar potongan yang pas. Jika 1.5 kg dada ayam perlu menghasilkan 80 tusuk sate ayam, artinya satu tusuk perlu diisi dengan daging seberat 18g. Karena satu tusuk sate diisi dengan 4 potongan daging, maka satu potong sebaiknya beratnya sekitar 4-5 g. Neira kemudian mencoba melakukan satu potongan dan kita timbang. Setelah menemukan potongan dengan berat yang pas, kami menggunakannya sebagai acuan untuk memotong yang lainnya tanpa harus menimbang satu-satu.

Sayangnya, setelah kita selesai menusuk daging, kita mendapati bahwa kita kurang masih kurang beberapa tusuk dari target awal. Akhirnya, kita kembali memisahkan sate yang dianggap terlalu besar potongannya dan mencoba membuatnya lebih kecil. Kita menemukan beberapa tusuk sate yang memang terlalu besar dan membaginya. Pada akhirnya, kita berhasil membuatnya menjadi 80 tusuk yang kurang lebih besarnya sama (tetapi baru ketahuan oleh pembeli di keesokan harinya bahwa ada yang terlalu kecil dari yang lainnya).

Untuk sayap ayam, kali ini kami melakukannya dengan jauh lebih baik. Hanya ada 1 potongan yang rusak tidak terpakai, sementara sisanya berhasil digunakan semua. Sebagai respon dari komentar pembeli di pasar sebelumnya yang merasa kurang asin, kami memasak dulu bahan-bahan yang menjadi isi dari sayap ayam tersebut dan membumbuinya. Setelahnya, kami memasukkan sayur, melumurinya dengan tepung maizena yang dicampur dengan garam, lalu menatanya hingga akhirnya dimasukkan ke kulkas. Ternyata, ketika semua bahan sudah siap dan semuanya datang dan siap bekerja dari awal hingga akhir, kami dapat melakukan persiapan dengan cepat. Pada jam 17:30, kami sudah berhasil menyelesaikan semuanya. Jauh lebih cepat dibanding 3 hari yang kita habiskan di persiapan sebelumnya, bahkan itupun masih perlu dibantu oleh Bunda Kinar. Kami pun sudah siap untuk berjualan di hari Rabu.

Hari berjualan pun tiba. Sebelum pasar dibuka, Neira dan Kinar mempersiapkan pincuk. Sementara Bumi menyetujui rencana untuk membakar sate dari awal agar nanti pembeli tidak harus menunggu terlalu lama. Keputusan tersebut kami ambil dari pengalaman berjualan yang sebelumnya bersama Jo dan Bumi. Kayana, seorang teman baru yang datang dari Salatiga, ikut membantu Bumi setelah melihat bahwa sepertinya tenaga tambahan akan membantu pekerjaan yang lainnya.

Banyak feedback baru yang kami dapatkan dari pengalaman berjualan yang kedua ini. Misalnya, ada yang sempat mengeluhkan bahwa ada sate yang ukurannya jauh lebih kecil dari yang lainnya. Ada beberapa orang juga yang menyampaikan bahwa ayam digoreng belum benar-benar matang. Selain itu, teman-teman SALAM yang melihat proses pembakaran sate juga mengatakan bahwa prosesnya kurang higienis, karena ada sate yang terjatuh ke tanah yang kemudian dicuci dan dimarinasi kembali sebelum dibakar. Begitu juga dengan jumlah arang yang ternyata butuh lebih banyak dari pengalaman sebelumnya. Ada juga teman-teman yang ikut membantu, seperti Veo dan Mas Bramasta, yang mungkin melihat teman-teman sedikit kewalahan. Peristiwa yang memang langsung berhubungan dengan kehidupan ini memang menjadi peristiwa yang strategis agar teman-teman banyak mendapatkan feedback yang genuine, misalnya wajar bagi pembeli untuk memberikan komplain karena mereka memang berhak mendapatkan produk yang layak sebagai ganti dari uang yang mereka bayarkan. Peristiwa-peristiwa yang perlu dicari lebih detil data pengalamannya dan diproses setelahnya.

Teman-teman juga langsung mempunyai ide sebagai bagian dari analisis. Misalnya, Kinar menyarankan untuk menggunakan metode lain untuk memastikan ayam yang dimasak sudah matang. Ia menyarankan untuk mengukus ayamnya sebelum menggorengnya. Mungkin usul ini ia utarakan dari pengalamannya menemani ayah dan bundanya berjualan berbagai jenis makanan. Usulan ini tentunya perlu kita rencanakan dan coba lagi, lalu melihat apakah memang efektif untuk memastikan ayam-nya matang, atau adakah hal lain yang akan terjadi yang justru menyulitkan.

Selain itu, kami juga perlu memproses hal-hal seperti bagaimana cara membagi uang yang kita dapatkan, mengingat ada teman-teman lain yang ikut membantu di hari H. Misalnya juga persiapan apa yang perlu dilakukan agar tidak ada sate yang jatuh ke tanah. Namun yang terpenting, meski dilakukan di Semarak Sinau yang biasanya menjadi penutup dari proses pembelajaran, justru kami menyadari bahwa masih banyak sekali hal yang perlu kami pelajari.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *