“Siapa aktor yang paling mengganggu proses belajar seseorang adalah sekolah.” Begitu pernyataan pembuka yang disampaikan Pak Toto Rahardjo pada bedah buku ‘Sekolah Biasa Saja’, Minggu 19 Agustus 2018 lalu. Pernyataan itu menjawab pertanyaan awal Mas Puthut EA yang malam itu berperan sebagai moderator diskusi. Selanjutnya Pak Toto memaparkan latar belakang penulisan buku serta kegelisahan yang ia rasakan tentang pendidikan di Indonesia. Paparannya cair, selengekan dan kerap mengundang gelak tawa satir para audiens yang memenuhi Warung Mojok, tempat berlangsungnya acara. Pak Toto juga banyak bicara tentang praktek pendidikan di Sanggar Anak Alam (SALAM), yang menjadi laboratorium pendidikan selama 18 tahun serta sekaligus menjadi tesis utama dalam buku ‘Sekolah Biasa Saja’.
“Ciri orang pintar adalah bisa menyederhakan masalah yang rumit, sementara ciri orang bodoh adalah selalu merumitkan masalah yang sederhana.” Kutipan penulis Yunani, Aesop, menjadi pembuka paparan Pak Roem Topatimasang yang malam itu juga menjadi narasumber bedah buku. Pak Roem makin mempertajam kegelisahan audiens dengan menggugat carut marut dunia pendidikan. Mulai dari pendidikan yang makin menjauhkan siswa dari konteks, hingga paradigma pendidikan yang makin jauh dari tujuan-tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Mendengar Pak Toto dan Pak Roem malam itu seperti membaca kembali ‘Pendidikan Populer’ yang hanya kuat saya baca hingga bab ketujuh. Praktek kedua tokoh INSIST tersebut dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat di penjuru tanah air menjadi ‘ilmu nyata’ yang layak didengarkan. Bukan sekadar teori-teori bangku sekolahan. ‘Sajak Seonggok Jagung’ karya WS Rendra yang dibacakan mas Puthut di awal acara, adalah bentuk paling puitis yang dapat menggambarkan kegelisahan yang menggelembung dalam benak audiens malam itu.
Setelah kenyang dengan gugatan, mas Puthut menggulirkan bola pada Pak David Efendi selaku narasumber orangtua murid SALAM untuk memberi jawaban atas beberapa pertanyaan. Pertanyaan mas Puthut adalah pertanyaan yang sudah sering kami dengar sebagai orangtua yang memilih SALAM sebagai tempat untuk anak-anaknya belajar: Kenapa memilih SALAM? Bagaimana bisa sebegitu percayanya dengan sebuah sekolah yang jauh dari format sekolah formal?
Pertanyaan ini, jika ditanyakan kepada para orangtua murid SALAM, satu per satu, maka akan memakan waktu berhari-hari untuk sekadar mendengarkan jawabannya. Maka jawaban pak David malam itu cukup mewakili suara orangtua yang teteg menyekolahkan anaknya di SALAM. Selain tentang bagaimana cukup menganggap enteng cibiran keluarga dan tetangga, pak David juga banyak bercerita tentang kekuatan komunitas yang menjadi pondasi di SALAM.
Bedah buku ‘Sekolah Biasa Saja’ rupanya dihadiri banyak sekali pemuda-pemudi. Ternyata banyak juga anak-anak muda yang peduli dengan isu pendidikan. Antusiasme tampak saat sesi tanya jawab dibuka, terutama terkait praktek pendidikan yang terjadi di SALAM. Ketika seorang audiens dari Manokwari bertanya, apakah mungkin SALAM membuka cabang di tempat lain? Pak Toto menjawab ringan: tidak mungkin. SALAM tidak pernah berniat membuka cabang atau memperlebar sayap ke tempat-tempat lain. Namun SALAM membuka kesempatan bagi siapapun yang ingin belajar tentang SALAM, untuk kemudian membangun sendiri sekolah-sekolah merdeka di tempat masing-masing, sesuai kultur dan budaya di masing-masing tempat.
Yang cukup mengejutkan, beberapa penanya adalah juga praktisi-praktisi yang juga memegang teguh prinsip-prinsip belajar yang memerdekakan seperti SALAM, dan telah memulai laku dengan menyelenggarakan sekolah. Satu penanya bertanya tentang bagaimana SALAM memerdekakan diri dari beban-beban administratif saat harus melegalkan institusi. Mengingat pengalamannya saat merintis sekolah justru terkendala beban-beban administratif yang alih-alih menaungi, justru makin menjauhkan kemerdekaan anak dalam belajar.
Pak Toto menegaskan, bahwa SALAM sengaja memilih bentuk PKBM untuk menghindari syarat administratif sekolah yang berbelit-belit. Pilihan ini rupanya makin memantapkan salah seorang audiens yang telah merintis sekolah di Sidoarum, Jogja, yang sejak awal telah memilih bentuk non formal. Pertanyaannya, adalah bagaimana membangun komunitas belajar yang harmonis, terutama antara orangtua dan penyelenggara/ fasilitator.
Menjawab hal ini, Pak Toto mengingatkan tentang paradigma ‘input-output’ dalam dunia pendidikan. Di sekolah formal, yang menjadi input adalah siswa, dan outputnya adalah lulusan. SALAM sebagai sekolah komunitas, memiliki paradigma bahwa input SALAM adalah siswa, orangtua, fasilitator dan lingkungan sekitar, sehingga output yang diharapkan adalah ‘komunitas belajar’. Maka kurikulum tidak hanya dirancang untuk siswa, namun juga untuk orangtua dan fasilitator. Wajar jika kemudian SALAM punya banyak sekali agenda yang tidak terlihat sebagai peristiwa belajar anak, namun sesungguhnya menjadi peristiwa belajar komunitas.
Sesi tanya jawab ditutup dengan sebuah pertanyaan yang menarik dari seorang mahasiswa UMY. “Jika sepanjang acara ini kita telah mendengar semua kebaikan SALAM, lalu apa kelemahannya?” pak Toto menjawab, walaupun sebagian besar orangtua yang menyekolahkan anaknya di SALAM adalah orangtua yang ‘tidak biasa’, namun tidak berarti SALAM tidak punya masalah. Masalah yang dihadapi pun masalah-masalah biasa, masalah yang umum dihadapi sekolah manapun. Namun SALAM memilih untuk menyelesaikannya dengan cara yang tidak umum dan mengandalkan kekuatan bebrayan dalam komunitas.
Malam telah larut. Dingin telah merenggut kemampuan saya untuk duduk tenang tanpa menggigil. Mas Puthut lantas menggulirkan bola terakhir pada Bu Wahya untuk menutup acara malam itu barang 20-30 kalimat. Bu Wahya menutup dengan sedikit menceritakan SALAM Nitiprayan yang dirintisnya 18 tahun yang lalu, dan memungkasi dengan kutipan: Anak adalah mahaguru bagi dirinya sendiri, dan sumber ilmu bagi teman-temannya.
Orang Tua Murid & Fasilitator SMA SALAM
Leave a Reply