Tulisan pendek yang ditulis oleh Ali Shodikim tentang menghafal memang sangat berbeda dengan apa yang diyakini SALAM—tentu saja ini bukan urusan mana yang benar dan mana yang salah, namun ini urusan pilihan yang sangat tergantung dari cara pandang dan orientasi apa yang diangan serta diiinginkan.
SALAM menyadari bahwa kesadaran seseorang dihasilkan dari/karena:
20 % mendengar
50 % melihat
70 % dari melihat dan mendengar
90 % dari melakukan langsung atau mengalami sendiri
Dari situlah SALAM (Sanggar Anak Alam) sebagai Laboratorium Komunitas Belajar merumuskan kerangka belajar baik untuk anak maupun orang tua yang mengedepankan pada kehidupan nyata di lingkungan yang paling dekat, dengan cara membangun kerangka berfikir yang memungkinkan setiap orang bisa berproses, menggali pengalamannya, menemukan peristiwa-peristiwa sehingga apapun pengetahuan yang diperoleh merupakan pengalaman nyata pada setiap orang yang terlibat dalam proses belajar tersebut. Maka kerangka belajar sebagai panduan proses belajar harus benar-benar membantu anak atau seseorang untuk mengenal, mengetahui dan memahami sesuatu secara “lebih mudah, lebih cepat dan lebih jelas” Prinsip yang secara terus-menerus diupayakan yakni mewujudkan proses penyelenggaraan belajar-mengajar yang bersifat “membebaskan” dari peserta belajar untuk menjadi pelaku (subjek) utama, bukan sasaran perlakuan (objek) dari proses tersebut.
Menekankan belajar dari realitas atau pengalaman. Materi yang dipelajari bukanlah “ajaran” (teori, pendapat, kesimpulan, wejangan, nasehat dsb) dari seseorang, melainkan mempelajari keadaan nyata atau pengalaman seseorang/kelompok yang terlibat dalam keadaan nyata tersebut. Sehingga tidak ada otoritas pengetahuan seseorang yang lebih tinggi dari lainnya. Keabsahan pengetahuan seseorang ditentukan oleh pembuktiannya dalam kenyataan tindakan atau pengalaman langsung, bukan pada retorika atau “kepintaran omongan”.Oleh karena itu semua orang yang terlibat dalam proses belajar adalah guru sekaligus juga murid pada saat yang bersamaan. [TR]
Menghafal; Metode Klasik (Ndeso) ?
Betulkan menghafal sebagai metode klasik alias ndeso ? Untuk menjawab persoalan ini memang pasti ada pro dan kontra. Sebab masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang tidak sepakat seperti dikatakan oleh Ausubel menyatakan hal berikut sebagaimana dikutip Bell (1978: 132): “…, if the learner’s intention is to memorise it verbatim, i,e., as a series of arbitrarily related word, both the learning process and the learning outcome must necessarily be rote and meaningless”.
Intinya, jika seorang anak, contohnya si A, berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya.
Contoh lain yang dapat dikemukakan tentang belajar hafalan ini adalah beberapa siswa SD kelas 1 ataui 2 yang dapat mengucapkan: “Ini Budi. Ini Ibu Budi,” namun ia tidak dapat menentukan sama sekali mana yang “i” dan mana yang “di”. Contoh lain dari belajar menghafal adalah siswa yang dapat mengingat dan menyatakan rumus luas persegi panjang adalah L = p× l, namun ia tidak bisa menentukan luas suatu persegi panjang karena ia tidak tahu arti lambang L, p, dan l. Dari sini dapat diketahui bahwa salah satu kelemahan dari belajar hafalan adalah menjadikan siswa hanya bisa membeo, tapi tidak bisa analisis.
Tetapi terlepas pro maupun kontra, penulis masih sepakat menggunakan metode ini. Lihatlah misalnya, para penghapal al-Qur’an atawa penghapal hadis-hadis itu, kalau tidak hapal, terus bagaimana mereka di sebut dengan para “huffadh”.
Dengan demikian, menurut hemaat penulis, sekalipun hapalan bisa menjadikan siswa hanya bisa ‘membeo’ tidak seratus persen benar. Bagaimana Anda menyikapi ini ? [Ali Shodikim]
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply