Blog

‘Minat’ Sebagai Media untuk Belajar Menjadi Orang yang ‘Biasa Saja’

Apa sih harapannya setelah lulus dari sekolah ini?

“Yang penting itu tuh bukannya jadi apa, mau jadi dokter, pilot, astronot, tukang kayu, ataupun tukang becak, yang penting adalah dia menjadi manusia yang seperti apa di profesinya masing-masing itu.” Jawab Mbah Salam di salah satu menguping pembicaraan beliau.

Jadi orang biasa-biasa aja. Bukannya jadi orang terpintar yang membuat percobaan yang akan dihargai hadiah nobel atau terinovatif yang menghasilkan sesuatu yang spektakuler dan menghasilkan uang bermiliar-miliar. Riset yang dilakukan disini tujuannya bukan untuk menjadi orang yang wow, tapi sebagai media untuk belajar menjadi orang yang ‘biasa saja’. Orang biasa saja yang mencintai sekitarnya dan ikut terlibat agar ia bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya sesuai dengan apa yang ia miliki dan bisa kontribusikan.

Namun di dunia yang serba kompetitif seperti sekarang ini, jadi ‘biasa aja’ itu sulit. Di dunia yang mengharapkan dan mendorong seseorang untuk menjadi sesuatu yang ter-wow dan ter-menakjubkan. Di dunia yang mendukung dan menganggap normal orang-orang berlomba untuk menjadi yang terhebat dan terkaya, bahkan kadang dengan cara apapun. Disini pun, pandangan tersebut masih merembes, ketika yang dijadikan tujuan dan patokan adalah membuat karya yang menakjubkan serta yang ditepuk tangani adalah ‘keberhasilan’.

Masalahnya, jika semua orang bermimpi menjadi seperti itu, anak-anak akan hidup dalam tekanan yang tinggi karena di dunia tersebut hanya bisa ada beberapa pemenang dan dianggap ‘sukses’. Bumi dan hewan-hewan juga akan makin hancur karena tergerus ambisi manusia karena dunia ini melegalkan  hasrat kompetitif manusia untuk terus menguasai dan mengontrol bumi ini demi keuntungannya sendiri. Apakah itu harga yang pantas kita bayar untuk mencapai kesuksesan? Apakah kita ingin membiarkan anak-anak untuk ada di jalan tersebut? Daripada menjadi orang yang ter-ter, bagaimana bila kita mengajak anak-anak untuk menjadi orang yang ‘biasa saja’?

Namun, apakah kita hanya bisa duduk diam dan berharap suatu hari mereka akan menyadari itu semua? Rasanya, di tengah dunia yang kerap menerpa mereka dengan informasi-informasi yang menghargai kehebohan, infrastruktur kota dan sosial yang mengarahkan kita ke cara hidup tertentu yang mana uang menjadi kebutuhan primer, iklan-iklan yang sudah menginvestasikan ratusan juta untuk mempengaruhi masyarakat secara halus, jika kita duduk manis karena takut melakukan ‘intervensi’ apapun, kemungkinan besar, mereka akan merasa tidak ada cara lain selain mengikuti dunia tersebut dan mencari cara untuk sekedar beradaptasi untuk bisa tetap hidup.

Jadi, bagaimana cara kita mengajak (atau mendidik) anak untuk menjadi orang yang biasa saja? Tentu saja, hal ini tidak bisa dilakukan dengan ceramah-ceramah ala motivator maupun nasehat-nasehat. Biasanya, teknik itu hanya akan melahirkan penolakan seperti, “Buat apa sih belajar tentang ini? Apa sih maksudnya?”, yang akhirnya hanya akan melukai hubungan.

Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengenalkan dan mengajak mereka untuk menjadi orang yang biasa saja tanpa menggunakan cara yang memaksa, menyakitkan, maupun membosankan? Untuk itulah perlu sesuatu yang dapat digunakan untuk menyelipkan pandangan tersebut melalui media yang bernama ‘minat’ anak. Bagaimana ‘minat’ anak ini bisa ‘disulap’ dan diorientasikan bukan untuk menjadi sarana untuk mereka menjadi orang yang hebat dan sukses, melainkan sebagai media yang ia bisa gunakan untuk menjadi orang yang bermanfaat dan bermakna di lingkungannya. Disini kita berperang bukan untuk melawan keinginan anak, namun melawan dunia yang berusaha menghasut anak untuk menukar minatnya dengan harta maupun ketenaran.

Oleh karena itu, ada poin penting yang perlu diperhatikan dan dibedakan: yang menjadi penting bukannya anak hanya sekedar belajar tentang dan mengembangkan minatnya tersebut, melainkan anak tersebut belajar tentang menjadi orang biasa lewat minatnya. Bukannya tidak boleh mengasah minat dan kemampuan, namun terkadang hanya perkembangan pemgetahuan dan kemampuanlah yang difokuskan. Misalnya, kalau memang fokusnya adalah untuk menjadi jago main sepak bola, ya belajarnya di sekolah sepak bola. Namun, apa lagi yang sebenarnya bisa dipelajari di saat ia sedang bermain sepak bola tersebut yang mungkin tidak berhubungannya dengan menang dan kalah di sepak bola? Misalnya cara kita memandang orang-orang yang sedang ada di tim lain, apakah sebagai musuh atau teman bermain? Atau misalnya apa yang perlu diprioritaskan ketika bermain: kemenangan atau bermain dengan gaya yang indah? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang bukan hanya dapat diaplikasikan ketika bermain sepak bola, namun juga relevan di kehidupan yang lebih luas.

Misalnya ketika memasak, bukan hanya rasa dan kualitasnya yang menjadi penting dalam suatu resep. Namun ikut memikirkan bahan apa yang dipilih untuk digunakan, dari mana bahan tersebut didapat atau dibeli, berapa banyak yang perlu dibuat agar tidak membuang-buang, hingga bagaimana cara mengolah bahan-bahan yang tersisa (sampah) setelah memasak?

Apakah menunjukkan pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan intervensi yang dianggap tabu dalam perkembangan anak? Perbedaannya, intervensi yang sekiranya tabu adalah ketika menyuruh dia untuk memilih sesuatu, sementara bentuk pendidikan yang akan dilakukan adalah untuk memastikan ia sudah dipaparkan oleh informasi dan pertanyaan yang perlu ia pertimbangkan sebelum akhirnya ia memilih. Pilihan itu akhirnya ada di tangan anak tersebut. Apakah ia akan memilih apa yang kita harapkan? Itulah resiko yang tidak dapat kita hindarkan ketika kita menghargai kemerdekaan anak tersebut.

Lalu apakah memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu lebih penting daripada kebahagiaan anak? Sepenting-pentingnya keberhasilan dan kebahagiaan anak, apakah hal itu akan tetap relevan di dunia yang semuanya hanya memperdulikan untuk jadi yang terbaik diri sendiri dengan mengorbankan orang dan makhluk lain? Dibanding menjadi orang yang terhebat dan terbahagia di dunia yang kosong, bagaimana bila kita mengajak mereka untuk menjadi orang biasa di dunia yang berwarna? []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *