Blog

Notulensi Oleh Ganiss – Gelora Memasak Nasi

Salam, 12 November 2025, Ivo Gelora Jantan Astagina—dipanggil Gelora oleh teman-temannya—adalah murid kelas 1 SD Salam yang pagi itu tampil penuh percaya diri di gelar karya kelas satu. Di bawah terik matahari yang lembut di lapangan Salam, pada 12 November 2025, ia memperkenalkan riset kecilnya yang sederhana namun intim: riset memasak nasi. Acara dimulai tepat pukul sembilan pagi, ketika warga Salam—anak-anak, orang tua, hingga para fasilitator—mulai berkumpul membentuk lingkaran perayaan pengetahuan.

Dalam perjalanan risetnya, Gelora tidak pernah benar-benar berjalan sendiri. Bu Deby, fasilitator kelas 1, mendampingi prosesnya dari minggu ke minggu—mencatat setiap percobaan, kegagalan kecil, dan penemuan baru yang lahir dari tangan mungil Gelora. Pendampingan itu tampak menyatu dalam cara Gelora bercerita: runtut, jernih, dengan mata yang sesekali berkilat bangga, seolah ia sedang membuka pintu menuju dunia kecil yang baru ia pahami.

Di depan meja bercerita, papan display berisi langkah-langkah memasak nasi menjadi pusat perhatian. Anak-anak mendekat, membaca pelan-pelan seperti sedang membongkar rahasia dapur yang selama ini hanya mereka lihat sekilas. Orang dewasa berhenti sejenak, mengangguk, tersenyum—seakan menemukan kembali sesuatu yang akrab namun jarang direnungkan. Pada pagi itu, antusiasme menyebar pelan seperti aroma nasi hangat, menciptakan ruang belajar di mana kegiatan domestik sederhana menjelma menjadi pengetahuan yang patut dirayakan.

Gelar karya Gelora bukan hanya tentang memasak nasi. Ia adalah potongan kecil dari ekosistem belajar di Salam, tempat rasa ingin tahu tumbuh bersama pendampingan dan penghargaan kolektif. Sebuah cerita tentang bagaimana hal-hal kecil dapat membuka jalan bagi pemahaman yang lebih besar.

Pada kesempatan belajar semester ini, Gelora memilih topik riset yang lahir dari ruang domestiknya sendiri: memasak nasi. Ia ingin membantu mamanya di rumah, sebuah niat kecil yang langsung disambut hangat oleh seluruh anggota keluarga. Dari keinginan sederhana itu, lahirlah sebuah riset yang mempertemukannya dengan dua cara memasak: metode tradisional dan cara modern menggunakan ricecooker.

Dalam proses eksperimennya, Gelora tidak bekerja sendirian. Tante Nurul mendampinginya mempraktikkan cara tradisional—memasak dengan kendil, tungku, kukusan, dan kayu bakar. Sementara Ibu Lulu, mamanya, menjadi narasumber untuk teknik yang lebih modern di rumah. Dua dunia memasak ini—yang satu beraroma asap kayu, yang lain menyala dengan tombol elektrik—membuka ruang belajar baru bagi Gelora tentang apa itu “memasak nasi”.

Di hari gelar karya, Gelora tampil percaya diri. Dengan suara yang mantap dan tatapan mata yang terjaga, ia bercerita tentang pengalaman pertamanya memasak nasi secara tradisional. Setiap pertanyaan dari pengunjung ia sambut dengan fokus, tubuh kecilnya bergerak ringan mengikuti alur cerita. Di tangannya, sebuah booklet berisi gambar-gambar alat masak menjadi penunjuk jalan bagi penjelasannya. Satu per satu ia memperkenalkan alat yang digunakannya, menjelaskan fungsi dan perannya dalam proses memasak.

Melalui riset ini, Gelora berkenalan dengan kendil, tungku, kukusan, hingga kayu bakar—bahan-bahan yang jarang disentuh anak kota seusianya. Ia juga belajar menakar beras menggunakan timbangan, memahami berat dan volume, serta merasakan pengalaman baru memindahkan nasi dengan centong kayu dari kendil ke dandang kukusan.

Pengalaman itu, bagi Gelora, bukan sekadar belajar memasak. Ia sedang masuk ke sebuah tradisi yang lebih tua darinya, sembari tetap membuka diri pada teknologi modern. Sebuah perjalanan kecil yang mempertemukannya dengan dapur sebagai ruang belajar.

Hal yang paling seru sekaligus menantang bagi Gelora dalam risetnya adalah menyalakan api dan menjaga bara tetap hidup sepanjang proses memasak. Ia bercerita bahwa memasak nasi dengan cara tradisional adalah pekerjaan bertahap—sebuah rangkaian kecil yang harus dilakukan dengan sabar dan teratur. Pertama-tama, ia menakar beras, mencucinya dua kali, lalu merendamnya dalam kendil dengan air setinggi satu ruas jari. Gelora percaya bahwa ukuran satu ruas jari itu setara dengan 300 ml, sebuah simpulan yang ia buat dengan yakin setelah mencoba menakarnya sendiri.

Proses berikutnya adalah bagian yang menurutnya paling mendebarkan: menyusun kayu, menyalakan api, dan mengatur besar kecilnya bara di dalam tungku. Setelah api stabil, kendil berisi beras dan air diletakkan di atas tungku, menunggu panas perlahan meresap. Bara api harus dijaga tetap menyala selama 30 menit. Setelah itu, kendil dibuka, nasi diaduk, lalu ditutup kembali. Tahap ini dilakukan dua kali. Pada 30 menit kedua, Gelora mematikan api utama namun tetap menjaga sisa bara agar hidup pelan—bara yang menjadi kunci nasi matang merata.

Keseluruhan proses ini memakan waktu satu setengah jam. Gelora bercerita bahwa ia selalu berhasil menjaga api sesuai kebutuhan karena didampingi oleh Tante Nurul, narasumber yang tekun mendampinginya. Dari proses ini ia belajar satu hal penting: memasak nasi dengan cara tradisional adalah seni menjaga bara, bukan sekadar menunggu nasi matang. Cara memasak ini meninggalkan sedikit gosong di dasar kendil, aroma hangus tipis yang justru disukai Gelora—sebuah ciri khas yang tidak muncul dalam cara memasak modern.

Selain metode tradisional, Gelora juga mengerjakan eksperimen memasak nasi menggunakan ricecooker—cara yang lebih umum digunakan keluarga saat ini. Di rumah, bersama mamanya, ia menakar beras, mencucinya dua kali, mengisi air setinggi ruas jari, lalu menekan tombol cook. Setelah itu ia tinggal menunggu sambil bermain, hingga lampu ricecooker berubah menjadi warm—tanda nasi telah matang.

Dalam presentasi gelar karya, Gelora tampak tenang dan sangat runtut bercerita. Kosakata yang ia gunakan kaya dan terarah, bahkan ia mampu memadukan kata selera dan aroma menjadi kalimat yang hidup, menggambarkan karakter rasa nasi yang dimasak dengan proses panjang. Melalui riset ini, Gelora berhasil merasakan perbedaan dua dunia memasak. Menurutnya, nasi yang dimasak dengan cara tradisional lebih nikmat, sementara cara modern lebih cepat dan praktis.

Bagi Gelora, setiap cara memasak memiliki keunggulannya sendiri. Dan melalui riset kecil ini, ia telah belajar bukan hanya memasak nasi, tetapi memahami proses, aroma, dan kesabaran yang menyertai setiap cara memasak.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *