Blog

ORANG-ORANG YANG TAK MAU DISEBUT LUAR BIASA

Anak pertama saya sudah tumbuh bersama Sanggar Anak Alam (SALAM) selama enam tahun. Pada Juli 2022 nanti, ia akan menjadi siswa kelas tiga SD. Enam tahun bukanlah waktu yang singkat. Meski begitu, enam tahun juga tak bisa menjadi jaminan bahwa ruh SALAM sudah melekat erat pada keluarga kami.

Workshop Fasilitator SALAM 2022. Foto By Anang Febe

Kami memilih SALAM sebagai sekolah untuk anak sulung kami di tahun 2016. Pilihan kami pada SALAM bukan pilihan instan. Saya dan suami mencari tahu tentang SALAM selama setahun sebelum mendaftar. Selain cocok dengan ideologi dan konsep SALAM, biaya dan jarak juga menjadi faktor yang membuat kami semakin yakin untuk menjatuhkan pilihan pada SALAM.

Pilihan kami atas SALAM membuat kami bertemu dengan berbagai manusia dengan sifat-sifat yang beragam. Pemersatu dari banyak kepala di SALAM adalah kesadaran individu di dalamnya untuk menjalani kesepakatan-kesepakatan komunal. Menurut saya, tentang bersepakat ini adalah salah satu yang menarik. Bagaimana pun, SALAM yang ber-tagline sekolah biasa ini, bukanlah komunitas biasa-biasa.

Ada orang-orang dengan ideologi tertentu yang kemudian secara sadar memilih untuk bertumbuh di SALAM. Yang saya bicarakan, bukan hanya soal orang tua dan anak SALAM, tetapi juga para fasilitator dan relawan. Mereka juga merupakan warga belajar SALAM. Peran mereka adalah sebagai pendamping anak SALAM dalam bermain dan belajar.

Serupa dengan orang tua, fasilitator SALAM kebanyakan adalah orang yang memang mencari SALAM karena memiliki kepentingan,  juga kebutuhan yang sejalan. Hal ini terlihat dari bagaimana mereka menjalankan konsekuensi pilihannya. Mereka berperan sebagai pendamping belajar, seperti orang-orang yang berprofesi sebagai guru. Bedanya, di sekolah formal kadang ada istilah guru killer. Nah, di SALAM, menurut saya, tak ada istilah fasilitator killer. Hehehe.

Bagi saya, fasilitator tak hanya menjadi teman  bermain dan belajar anak di SALAM. Mereka juga menjadi teman diskusi orang tua terkait pertumbuhan anak. Meski perannya besar, entah mengapa para fasilitator SALAM selalu rendah hati. Saya belum pernah mendapati fasilitator yang sibuk bicara tentang hal-hal konseptual. Saya belum pernah bertemu dengan fasilitator yang banyak bicara tentang teori parenting populer.

Saya menduga, bisa jadi memang tidak ada fasilitator SALAM yang “gelasnya penuh”. Sebagian yang saya kenal berkata bahwa mereka datang dan bergabung dengan SALAM untuk memenuhi panggilan hati. Fokus para fasilitator adalah kemerdekaan anak dalam berpikir, berkreasi, dan bertumbuh. Hal ini membuat para fasilitator hampir selalu mampu menemukan hal yang diminati anak. Kadang, kedalaman pengamatan fasilitator itu, lebih mendalam dari para orang tua.

Saya teringat dulu ketika masih menunggu anak sulung saya di kelas KB (Kelompok Bermain). Selama menunggu anak, kadang saya berbincang dengan fasilitator KB, Ibu Ani, Ibu Eni, atau Ibu Pantja. Saat masih baru masuk, di bulan pertama, saya bertanya pada Ibu Ani, “Ibu, di SALAM ini metode apa sih yang dipakai untuk anak PAUD? Montessori, ya?”

 

Ibu Ani meladeni pertanyaan saya dengan kalem. Sambil senyum-senyum beliau menjawab, “Terus terang, ya, Mbak. Saya tidak update dengan teori-teori seperti itu. Ada prinsip-prinsip SALAM yang menjadi bekal fasilitator tapi pada dasarnya saya hanya momong. Sederhana sekali, kan?”

Jawaban kalem Ibu Ani membuat saya yang saat itu sedang getol membaca aneka teori parenting menjadi malu. Gelas saya yang sudah penuh terguling dan airnya tumpah begitu saja. Mengapa saya malu? Meski saya sudah membaca buku Sekolah Biasa Saja karya Toto Rahardjo, tapi rupanya saya masih berusaha menyamakan apa yang baru saya alami sebentar di SALAM dengan teori-teori yang kala itu sedang trend di kalangan ibu muda. Jawaban Ibu Ani menyadarkan saya untuk tidak perlu menelaah terlalu ndakik. “Momong saja.”

Peristiwa itu sudah berlalu enam tahun lamanya. Tetapi, saya melihat hingga saat ini pun, momong menjadi cara yang digunakan oleh para fasilitator di berbagai jenjang dalam mendampingi anak saya. Saya menyaksikan bagaimana fasilitator TA (Taman Anak), dengan telaten momong anak sulung saya. Perkembangannya terkait kemandirian dan kepercayaan diri terasah di tingkat TA. Dari yang pemalu dan gelisah jika tak ditunggu ibunya, berubah menjadi anak yang menurut catatan fasilitator, punya bakat memimpin temannya.

Fasilitator TA saat ini ada 5, Mbak Irin, Mbak Ayuk, Ibu Widhy, Ibu Hesti, dan Ibu Ririn. Salah satu fasilitator TA, Ibu Widhy, adalah teman SD ibu mertua saya. Bisa dibayangkan bagaimana senangnya punya fasilitator yang seperti nenek sendiri, bukan? Bedanya, para fasilitator TA yang sudah sepuh ini telah dibekali dengan prinsip-prinsip SALAM. Jadi walau konsepnya momong, para fasilitator TA tak lantas memanjakan dan mengabulkan segala permintaan cucu. Tak seperti para nenek pada umumnya.

Saat ini anak kedua saya, sudah menyelesaikan jenjang TA. Sama seperti kakaknya dulu, ia telah bertransformasi dari balita yang pemalu menjadi anak yang lebih percaya diri dan pemberani. Ia menjadi gadis kecil yang mudah menceritakan apa saja pada fasilitatornya. Ia tak ragu menceritakan pada Mbak Ayuk tentang hobi saya membuka WhatsApp dan Shoppee. Alih-alih menghakimi saya, Mbak Ayuk memproses informasi dari anak saya dengan mengenalkan pekerjaan-pekerjaan yang dapat dilakukan dengan ponsel.

Apa yang dilakukan Mbak Ayuk merupakan bentuk konkrit bagaimana sinergi antara fasilitator dengan orang tua berjalan. Dan hal itu semakin terasa ketika anak menginjak jenjang yang lebih tinggi lalu mulai melakukan riset mandiri sebagai metode belajar. Tanpa kerja sama yang baik antara fasilitator dan orang tua, mungkin anak-anak dalam usia 7-9 tahun kesulitan untuk menyelesaikan proyek risetnya.

Anak sulung saya saat ini sudah menyelesaikan jenjang kelas dua. Dua tahun pertamanya di SD lebih banyak dilakukan secara daring karena pandemi. Komunikasi antara fasilitator, orang tua, dan anak jelas menjadi kunci keberlangsungan proses belajar. Tadinya, riset mandiri baru dilakukan setelah anak duduk di kelas tiga SD. Tapi pandemi membuat kami bersepakat untuk melakukan penyesuaian. Ternyata, ya memang bisa, kok riset mandiri dimulai saat anak sudah duduk di kelas satu SD.

WORKSHOP FASILITATOR SALAM 2022

Ada banyak tantangan dan dinamika yang terjadi. Pada anak saya, mood anak dan mood orang tua sangat berpengaruh terhadap peningkatan tahapan riset. Fasilitator pun –saya rasa–, bekerja ekstra keras untuk membantu tiap anak. Mereka mau tidak mau ikut menyelami karakter anak sekaligus karakter orang tuanya. Saya yakin hal ini adalah bagian paling melelahkan.

Fasilitator kan bukan malaikat tanpa beban kehidupan. Mereka pasti punya beban dalam kehidupan pribadi. Namun mereka rela meletakkan bebannya di belakang saat mereka mengambil peran sebagai fasilitator. Saya tidak tahu pembekalan macam apa yang didapat oleh para fasilitator dalam workshop-nya sehingga mereka bisa sangat total dalam mengabdikan diri.

Ibu Wiwin, adalah salah satu fasilitator yang memberi kesan mendalam bagi saya. Mungkin karena ia telah mendampingi anak saya sejak kelas satu hingga –kabarnya– lanjut ke kelas tiga nanti. Saat kelas satu, Ibu Wiwin mendampingi kelas anak saya bersama Mbak Mega. Lalu saat kelas 2, Ibu Wiwin ditemani oleh dua fasilitator baru, Mas Maniq dan Mbak Giselle.

Kalau diceritakan secara rinci, kesan mendalam terhadap fasilitator pasti akan membuahkan tulisan yang sangat panjang. Bahkan kalau setiap orang tua dan anak SALAM diminta memberikan pendapat, mungkin bisa menjadi sebuah buku yang sangat tebal. Tulisan ini saja sudah terlalu panjang, padahal baru soal kesan saya terhadap fasilitator PAUD hingga kelas dua SD.

Sebelum membuat tulisan ini saya sempat ngobrol dengan Ibu Wiwin, minta restu ceritanya. Tanggapan beliau ketika saya bilang akan menulis tentang fasilitator adalah, “Silakan, Mbak. Tapi yang natural aja, ya.” Sebuah pesan yang menurut saya menyiratkan kesederhanaan berpikir dan bertindak. Sebuah pesan yang membuat saya mbatin, “SALAM memang isinya orang-orang tidak biasa yang memilih disebut sebagai orang-orang biasa.” []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *