Setiap tanggal 2 Mei diperingati hari kelahiran Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pejuang pendidikan Indonesia. Tentu melewati tanggal 2 Mei tidak hanya selebrasi, tetapi berharap ada perubahan di bidang pendidikan yang berarti. Apa takaran perubahan yang diinginkan dalam pendidikan? Sederhana saja, pendidikan pada hakikatnya menumbuhkan kemerdekaan sehingga seseorang dapat tumbuh kembang menjadi dirinya sendiri. Apabila pendidikan masih mengekang dan memenjarakan, bagaimana seseorang bisa menjadikan kegiatan mencari ilmu sebagai jiwa kehidupannya? Yang ada, seseorang hanya melaksanakan kewajiban mengenyam pendidikan untuk mencapai target jangka pendek saja, contohnya lulus ujian, mendapat ranking, dan mendapat ijazah.
Bagaimana sistem pendidikan di Indonesia? Sistem pendidikan di Indonesia masih melulu terukur angka dan penuh dengan kurikulum yang mengekang.
Momok Angka dan Rangking
Selama ini sistem pendidikan kita meyakini “Semakin besar angka hasil mata pelajaran, semakin tinggi rangking” Sejak Sekolah Dasar ketika pembagian rapor, seringkali orangtua berkata, “Rangking anak saya berapa ya? Semoga naik di semester berikutnya.” Adapula yang menjanjikan, “Kalau rangkingmu naik, Mama belikan sepeda baru Nak.” Lantas apa yang terjadi jika rangking anak turun? Disadari atau tidak, hal itu membuat orangtua kecewa. Jika orangtua termasuk kategori tidak sabar, amarah membanjiri telinga anak dan menggugat mengapa bilangan ranking menurun di semester ini. Bagaimana psikologis anak? Mendengar amarah orangtua, anak bisa saja terpacu agar semester depan memperbaiki rangkingnya, tapi tidak sedikit juga anak yang merasakan sedih berkepanjangan. Pikiran pintasnya berkata dia harus bisa menjawab semua soal ujian dengan benar di semester depan, mendapatkan ranking tinggi dengan apapun caranya, alias menghalalkan segala cara, termasuk mencontek.
Fenomena rangking ini mempengaruhi psikologi anak dan orang tua. Psikologi orangtua terganggu karena menilai hasil belajar anaknya hanya dengan angka, bukan dengan perilaku positif anak dari hasil pendidikan. Mempengaruhi psikologi anak karena membuat motivasi semu dalam hal pendidikan, yakni meraih target rangking.
Terlepas dari dampak psikologis, apakah pencarian ilmu dalam pendidikan bisa disederhanakan dengan angka dan ranking? Tentu tidak, pendidikan tidak bisa disederhanakan dengan angka 0 sampai 100, atau dengan warna tinta yang menghasilkan istilah “rapor merah” untuk nilai rendah. Pendidikan bertujuan untuk memerdekakan. Kemerdekaan terwujud jika anak merasa senang untuk mencari ilmu. Jadi tanpa diiming-imingi sepeda, anak seharusnya sudah rajin mencari ilmu tentang apa yang ia sukai.
Apabila anak sudah terpikat dengan pendidikan, anak akan mencari tahu sampai tuntas melalui media apapun. Bisa ngobrol dengan temannya, bertanya pada guru, membaca buku, melihat alam dan lingkungan, ataupun mencarinya didunia maya Tentu hasil belajar anak tidak bisa hanya dinilai dengan angka untuk mengukur kadar penguasaan anak akan suatu hal. Usaha anak dalam mencari jawaban akan pertanyaannya, besarnya rasa keingintahuan, rasa puas diri ketika mendapat jawaban dari pertanyaannya, dan perilaku menghargai ilmu tidak bisa diukur dengan angka. Itulah wujud kemerdekaan pikiran anak dalam hal pendidikan. Ia bisa berkuasa menentukan ilmu apa yang akan dia cari hingga dia merasa puas akan proses pencarian ilmu yang sudah ia lakukan.
Tentu penilaian pendidikan terhadap anak di Indonesia layak bergeser. Bukan lagi dengan angka dan ranking untuk menilai penguasaan anak terhadap suatu ilmu. Penilaian patut diihat dari proses anak tersebut dalam pencarian ilmunya hingga tumbuh rasa alami mencintai ilmu. Jadi rapor tidak lagi menjadi momok anak karena takut dengan bilangan angka, tetapi rapor akan dipenuhi dengan kalimat motivasi dan penjelasan jika memang anak tersebut kurang bersemangat dalam proses mencari ilmu.
Kurikulum Pendidikan Tidak Sesuai Kebutuhan
Selain sistem penilaian pendidikan di Indonesia yang perlu bergeser, pendidikan di Indonesia juga banyak menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Siapa yang masih ingat ada soal Matematika dalam bentuk akar di kelas 5 Sekolah Dasar? Contoh soalnya adalah
Berapa akar dari 72?
72 = 9 x 8 = 9 x 4 x 2
= 3 x 2 x akar 2
Jadi jawaban akar dari 72 adalah
Anak yang duduk di kelas 5 Sekolah Dasar dengan kisaran umur 11 tahun harus menyelesaikan soal Matematika seperti itu. Pertanyaan lanjutannya, apakah anak seusia 11 tahun akan menggunakan ilmu Matematika bentuk akar dikehidupan sehari-harinya? Pembaca akan serentak menjawab “TIDAK”. Matematika yang digunakan sehari-hari oleh anak seusia 11 tahun hanya digunakan untuk menjawab permasalahan dasar seperti menghitung jumlah kembalian dalam transaksi jual beli, menghitung satuan belanjaan beras jika ia diminta tolong Ibunya berbelanja di pasar, dan permasalahan perekonomian dasar lainnya.
Kurikulum pendidikan yang tidak sesuai kebutuhan, dengan contoh pertanyaan Matematika bentuk akar tadi menyebabkan anak berpikir lebih keras yang sebenarnya tidak ia butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Anak yang terlalu berpikir keras akan membuat lelah pikir dan menyita waktu bermain. Padahal, anak usia 11 tahun masih bebas untuk bermain dan mengeksplorasi dunianya sendiri. Kurikulum pendidikan itu yang membuat anak merasa terbebani, terkungkung, dan tidak tau apa manfaat dari apa yang ia pelajari sehingga menjalani pendidikan dengan rasa tidak senang dan tidak merdeka. Begitupun dengan kurikulum pendidikan yang dirasakan di matapelajaran dengan tingkatan jenjang lainnya yang terlihat tidak tepat akan kebutuhan anak.
Azas Tamansiswa 1922
Penghapusan penilaian angka, ranking, dan penyesuaian kurikulum pendidikan bagi kebutuhan sehari-hari anak adalah upaya agar anak dapat merdeka akan diri dan pikirannya.
Membiarkan anak memilih apa yang ingin dia pelajari tanpa menyederhanakan penilaian dengan angka tetapi menghargai usaha anak dalam mendapatkan ilmu adalah upaya memberikan kebebasan berpikir pada anak. Anak menjadi tidak terpaku akan angka akhir yang terwujud ranking sehingga anak akan santai, tanpa beban, dan maksimal dalam menuntut ilmu.
Penyesuaian kurikulum pendidikan bagi anak menurut usia dan kebutuhan sehari-hari pun perlu dilakukan agar waktu anak tidak hanya habis di dalam sekolah untuk berpikir. Apabila kurikulum disesuaikan akan kebutuhan, tentu banyak hal yang akan dihilangkan seperti mata pelajaran Matematika bentuk akar tadi. Waktu anak menjadi tidak banyak terbuang di dalam sekolah dan ia bebas untuk bermain sekaligus berinteraksi dengan orang lain. Hal itu membuat anak merdeka akan dirinya sendiri dan dapat mengeksplorasi lebih dunia yang ia jalani.
Kemerdekaan diri dan kemerdekaan pikiran adalah dua pasal dalam “Azas Tamansiswa 1922” yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara dalam pidato pembukaan perguruan Tamansiswa. Pasal itu adalah pasal yang harus tetap hidup menuju pendidikan ideal yang diidamkan Ki Hajar Dewantara.
Peringatan hari pendidikan setiap tahunnya jangan hanya selebrasi, tetapi mencari esensi agar pendidikan dapat diperbaiki. Belajar dari Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara, pendidikan itu tidak penuh kekangan dan beban, tetapi pendidikan yang penuh akan kemerdekaan.[]
Pengamat Sosial dan Kebijakan, bekerja di MAP UGM
Leave a Reply