Saya tidak tahu secara pasti apakah di negara lain isu mengenai pedoman berbangsa, seperti halnya Pancasila di Indonesia, juga menjadi bahan diskusi publik. Di Indonesia, Pancasila sering kali menjadi topik penting dalam percakapan masyarakat karena ia merupakan dasar ideologis yang menjadi landasan kehidupan bernegara. Diskusi tentang Pancasila mencakup berbagai aspek, mulai dari interpretasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya hingga cara penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun, menarik untuk bertanya-tanya apakah di negara-negara lain, mereka juga memiliki landasan ideologis yang secara intensif dibicarakan oleh masyarakat luas, atau apakah isu-isu semacam ini lebih jarang diangkat di ruang publik.
Pada beberapa negara, seperti Amerika Serikat dengan konstitusi mereka atau Prancis dengan prinsip-prinsip republiknya, mungkin ada diskusi serupa terkait dengan ideologi nasional. Namun, intensitas serta lingkup diskusi ini bisa berbeda-beda tergantung pada sejarah, sistem pemerintahan, dan tantangan yang dihadapi oleh negara tersebut. Di Indonesia, Pancasila kerap kali menjadi semacam fondasi yang merangkum identitas nasional dan prinsip-prinsip moral, menjadikannya subjek diskusi yang terus berkembang seiring perubahan zaman.
Mungkin saja, sifat bangsa kita yang suka berkumpul dan berbincang bisa jadi mempengaruhi mengapa hampir segala hal selalu menjadi bahan obrolan. Tradisi “ngerumpi” atau berkumpul untuk berbagi cerita sudah menjadi bagian dari budaya kita sejak lama, terutama di ruang-ruang sosial seperti warung kopi, pertemuan keluarga, hingga lingkungan kerja. Kebiasaan berbicara, berdiskusi, bahkan berdebat tentang berbagai isu, mulai dari hal-hal sederhana hingga topik besar seperti politik dan ideologi, tampaknya memang lekat dengan karakter masyarakat kita. Ini bukan berarti suatu hal yang negatif—justru, dalam banyak kasus, obrolan ini bisa menjadi sarana untuk memperkuat ikatan sosial, saling bertukar pandangan, dan memperluas pemahaman.
Namun, karena diskusi bisa berlangsung di mana saja dan tentang apa saja, hal-hal besar seperti Pancasila sering kali menjadi bagian dari percakapan sehari-hari, baik itu dengan nada serius maupun santai. Ini mungkin juga mencerminkan rasa keterlibatan yang kuat dalam isu-isu nasional, serta keinginan untuk merasa terhubung dengan identitas dan kehidupan berbangsa. Mungkin dalam budaya kita, berdiskusi atau “ngerumpi” adalah cara untuk menghadapi dan memproses isu-isu besar, atau sekadar mempertemukan berbagai pandangan yang berbeda dalam suasana yang tidak terlalu formal.
Jadi, meski terkadang terlihat sepele atau hanya bagian dari kebiasaan ngobrol, hal ini sebenarnya bisa menjadi cerminan dari partisipasi masyarakat dalam diskusi-diskusi penting.
Ya, dari sini menjadi jelas mengapa Pancasila bukanlah sebuah ideologi yang harus diindoktrinasikan secara keras ke setiap warga negara, seperti yang dilakukan oleh rezim totaliter di era Hitler. Pancasila lebih tepat dipahami sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara yang fleksibel, inklusif, serta tumbuh dari nilai-nilai dan kearifan lokal Indonesia sendiri.
Pancasila tidak dimaksudkan untuk menjadi dogma atau ideologi yang kaku, tetapi lebih sebagai prinsip moral yang memandu kehidupan bersama dalam keberagaman. Tidak seperti ideologi totaliter yang memaksakan satu pandangan dunia kepada masyarakat dan menuntut keseragaman dalam pikiran dan tindakan, Pancasila justru menghargai pluralisme, kebebasan berpendapat, dan kebhinekaan.
Kebiasaan kita yang suka berdiskusi dan berdebat, termasuk tentang hal-hal penting seperti Pancasila, menunjukkan bahwa Pancasila tidak dipaksakan sebagai kebenaran tunggal yang harus dihafal dan diterima tanpa pertanyaan. Alih-alih, ia terus berkembang dan dipahami melalui berbagai perspektif yang berbeda, diinterpretasi ulang seiring waktu dan situasi, serta menjadi subjek refleksi yang dinamis. Inilah yang membuat Pancasila bisa tetap relevan dan diterima oleh masyarakat yang beragam, tanpa harus melalui indoktrinasi yang keras.
Pancasila, dengan demikian, lebih menjadi landasan etik dan falsafah yang menekankan dialog, musyawarah, dan rasa keadilan—sesuatu yang jauh dari karakter ideologi totaliter yang cenderung represif.
Ini bisa menjadi salah satu pencerahan penting bagi publik yang sering kali salah paham tentang Pancasila dan konsep-konsep ideologi, republik, serta demokrasi. Banyak orang cenderung melihat Pancasila sebagai sesuatu yang harus diterima tanpa pertanyaan atau refleksi, mirip dengan cara ideologi totaliter diindoktrinasikan. Padahal, esensi Pancasila sangat berbeda: ia lahir dari nilai-nilai kebangsaan yang menjunjung tinggi dialog, kebhinekaan, dan kemanusiaan.
Pemahaman yang lebih mendalam tentang perkembangan republik dan demokrasi juga penting dalam konteks ini. Republik, pada dasarnya, adalah bentuk pemerintahan yang menekankan kedaulatan rakyat, di mana kekuasaan tidak berada pada satu orang atau kelompok elit, melainkan di tangan warga negara melalui mekanisme perwakilan. Demokrasi di dalamnya adalah prinsip fundamental yang menuntut partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan, kebebasan berekspresi, dan perlindungan hak asasi.
Seringkali, konsep-konsep ini dipahami secara sempit atau bahkan disalahpahami. Misalnya, banyak orang mengira demokrasi berarti kebebasan absolut, tanpa memahami bahwa demokrasi juga memiliki aturan, batasan, dan tanggung jawab bersama. Begitu pula, Pancasila sebagai pedoman etis sering dianggap sebagai instrumen kekuasaan untuk mengontrol masyarakat, padahal seharusnya ia menjadi landasan yang menjamin kebersamaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Mengingatkan publik akan pembedaan ini sangat penting, terutama dalam iklim sosial dan politik yang kadang terpolarisasi. Dengan memahami bahwa Pancasila bukanlah ideologi kaku yang harus diindoktrinasikan, dan bahwa republik serta demokrasi membutuhkan dialog terbuka dan partisipasi yang bertanggung jawab, kita dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif dan matang secara politik.
Pencerahan seperti ini akan membantu masyarakat melihat bahwa Pancasila, demokrasi, dan republik adalah konsep yang saling menguatkan, bukan alat kontrol, melainkan pedoman untuk hidup bersama dalam keberagaman dengan prinsip-prinsip keadilan dan musyawarah.
Prinsip seperti yang terkandung dalam Pancasila mestinya dipahami secara mendalam oleh semua pilar ketatanegaraan, khususnya yudikatif, yang memiliki peran krusial dalam menjaga keadilan dan penegakan hukum. Tantangan besar yang kita hadapi saat ini adalah bagaimana membumikan cara berpikir dan bertindak berdasarkan nilai-nilai Pancasila untuk menghadapi mentalitas kemunafikan yang semakin mengakar di tengah masyarakat.
Mentalitas kemunafikan ini tampak dalam berbagai aspek, seperti ketidakjujuran, korupsi, dan sikap yang berbeda antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan. Masalah ini, jika dibiarkan, akan merusak fondasi sosial dan politik bangsa, dan pada akhirnya menghambat kemajuan negara. Maka, menerapkan nilai-nilai Pancasila bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam tindakan nyata, sangatlah penting. Misalnya, sila keempat tentang musyawarah dan mufakat seharusnya tercermin dalam proses pengambilan keputusan yang transparan dan adil, bukan hanya formalitas untuk melegitimasi kepentingan tertentu.
Dalam konteks yudikatif, penting bagi para penegak hukum untuk bekerja dengan integritas, menjunjung tinggi keadilan, dan bebas dari pengaruh kekuatan-kekuatan yang mendorong praktik-praktik kemunafikan. Sila kelima, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, harus menjadi panduan dalam memutuskan perkara yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Hukum yang ditegakkan harus menjadi cermin dari nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya, bukan sekadar formalitas yang bisa dipermainkan oleh kekuasaan atau uang.
Untuk membumikan Pancasila, diperlukan upaya lebih dari sekadar retorika. Pendidikan karakter berbasis Pancasila harus ditanamkan sejak dini, di lingkungan keluarga, sekolah, hingga ruang-ruang publik. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan gotong royong harus dijadikan landasan dalam bertindak, baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional. Pemerintah, masyarakat, dan media juga harus berperan aktif dalam membentuk pola pikir yang mengedepankan moralitas dan etika Pancasila, sekaligus memperbaiki sistem-sistem yang rentan disalahgunakan oleh mereka yang memiliki mentalitas munafik.
Tantangan terbesar adalah bagaimana menginternalisasi Pancasila dalam tindakan sehari-hari, serta bagaimana lembaga-lembaga negara, khususnya yudikatif, dapat menjadi contoh dalam menerapkan nilai-nilai ini dengan konsisten. Jika ini dapat diwujudkan, Pancasila akan lebih dari sekadar semboyan—ia akan menjadi panduan nyata dalam menyelesaikan permasalahan bangsa, termasuk menghadapi kemunafikan yang kian meluas.
Memang, kebingungan seperti itu sering muncul dalam masyarakat kita, ketika kita dihadapkan pada realitas yang tampak meyakinkan, tapi begitu dijalani atau dipercaya, malah sering kali mengecewakan. Fenomena ini bukan hanya terkait dengan isu-isu besar seperti politik, hukum, atau ekonomi, tapi juga meresap dalam kehidupan sehari-hari, di mana ada ketidakcocokan antara apa yang terlihat di permukaan dan kenyataan yang terjadi di baliknya.
Hal ini menimbulkan rasa tidak percaya yang semakin kuat, terutama ketika masyarakat sering kali merasa “kapusan” (tertipu) oleh janji-janji yang tidak pernah terealisasi. Kondisi ini semakin diperparah dengan budaya kemunafikan yang seolah mendarah daging, di mana orang-orang sering menampilkan sesuatu yang tampak benar atau baik, tetapi dalam praktiknya justru sebaliknya.
Rasa bingung dan frustrasi ini merupakan refleksi dari ketidakpastian moral dan etika yang sedang kita hadapi. Ketika kebenaran terasa kabur dan sulit dipegang, kepercayaan terhadap institusi, pemimpin, atau bahkan sesama warga negara pun memudar. Hal inilah yang membuat kita sering bertanya-tanya, “Ini benar apa tidak? Kalau tidak percaya, kok tampak begitu meyakinkan. Tapi ketika dipercaya, kenapa selalu berujung penipuan?”
Untuk keluar dari lingkaran kebingungan ini, penting bagi kita sebagai masyarakat untuk terus berpegang pada prinsip-prinsip dasar yang jelas dan kuat, seperti nilai-nilai Pancasila. Ketika kita mengedepankan kejujuran, transparansi, dan integritas dalam kehidupan pribadi maupun publik, kita bisa mulai membangun kepercayaan kembali, baik terhadap diri kita sendiri maupun terhadap orang lain. Hal ini juga memerlukan ketegasan dari setiap pilar masyarakat—pemerintah, aparat hukum, media, hingga komunitas—untuk memerangi kemunafikan dan memastikan bahwa kebenaran dan keadilan benar-benar ditegakkan.
Pada akhirnya, hanya dengan tindakan nyata yang didasarkan pada nilai-nilai moral yang kokoh, kebingungan ini bisa diatasi. Kepercayaan tidak bisa dibangun dari janji atau penampilan semata, tetapi dari konsistensi tindakan yang jujur dan dapat diandalkan.
“Sakjane iki tenanan opo ora to, arep ora percoyo kok yo begitu meyakinkan , tapi begitu dipercaya kok selalu kapusan”[]

pembelajar, pejalan sunyi
Leave a Reply