Satu pekan setelah pentas teater berakhir, Ayya masih kerap menghafalkan dialog sembari bermain. Bersama teman-teman aktor lainnya, para aktor cilik ini masih terdengar menggumamkan lagu-lagu soundtrack pentas. Sebenarnya tak hanya aktor, saya yang menonton latihan demi latihan hingga pertunjukan mereka pun, rasanya masih enggan beranjak dari acara megah di malam itu. Pementasan yang, di backstage, tidak lama setelah pentas usai, disesalkan oleh para aktor: ‘Kenapa pentasnya cepet banget, aku pengen pentas lagi..’

Pementasan ini merupakan pementasan pertama bagi kelompok teater anak yang bermula dari kelas minat teater di Sanggar Anak Alam. Di usianya yang belum genap 2 tahun, kelas minat teater baru beberapa kali saja ‘manggung’ di panggung-panggung kecil. Misalnya saja tampil di Pasar Ekspresi atau menjadi salah satu penampil di pertunjukan teater kelompok lain. Ketika diberi kabar bahwa kelompok teater SALAM lolos dalam audisi penampil pertunjukan teater tahunan Linimasa, tentu kami senang. Namun, kami -anak kelas minat dan orangtua- yang tidak memiliki latar belakang seni teater ini, tidak memiliki bayangan sebesar apa event tahunan ini.
Barulah, ketika ada info lanjutan bahwa pertunjukan ini akan diadakan di concert hall Taman Budaya Yogyakarta yang berkapasitas 800 penonton, kami-kami yang awam akan seni ini (kecuali para pengampu kelas, tentunya) baru menyadari betapa serius proyek yang sedang dihadapi anak-anak usia 4-12 tahun ini. Kabar lolosnya kelompok teater, tak lagi menjadi sekadar kabar gembira, tapi juga menjadi kabar yang bikin berdebar-debar dan sedikit banyak, mengkhawatirkan. Meski kelak saat tampil, kekhawatiran kami-kami ini sungguh tak beralasan.
Naskah yang Kaya
Jauh sebelum jam latihan anak bertambah dari sekali seminggu menjadi 2 kali seminggu, Nana sang sutradara terlebih dulu mengajak anak-anak duduk bersama dan mendiskusikan tentang harapan mereka akan kota Jogja. Diskusi tersebut didokumentasikan oleh anak, melalui tulisan maupun gambar. Nana memastikan setiap anak menyampaikan gagasannya, sehingga anak yang tidak masuk, diminta untuk melakukan tugas yang serupa di rumah.
Tulisan anak-anak inilah yang oleh Nana, diolah menjadi naskah cerita, dibuat menjadi dialog dan turut menentukan alur cerita. Jadi, meskipun secara teknis naskah ini dibuat oleh sutradara, bisa dibilang anak-anak-lah yang menjadi ruh naskah tersebut.
Cerita diawali dengan adegan anak-anak yang sedang bermain: bersepeda, berlarian, bermain boneka. Hingga pada suatu saat, ada seorang anak yang mengeluarkan handphone. Berderinglah sebuah peringatan tanda bahaya karena adanya benda terlarang. Lalu, mengalunlah sebuah lagu.
‘Sembunyikan, sembunyikan.. Sembunyikan semua yang menghalangi kami bermain,’
Pesan-pesan yang tersirat semacam itu kerap ditampilkan oleh Nana, baik melalui lirik lagu yang ditulisnya sendiri dan diaransemen oleh Bima, maupun melalui dialog yang dilafalkan oleh anak dengan penuh ekspresi.
Ael misalnya. Dalam satu adegan, ia berteriak kepada roh kota yang hendak mengubah taman bermain menjadi gedung tinggi. Katanya: ‘Dasar orang dewasa, tidak mau mendengarkan keinginan kami!’
Dalam adegan mengepung roh kota, Nara memimpin pasukan teman-temannya dan berseru: ‘Suara kita harus didengar. Ayo kita pecahkan gendang telinga mereka. Selamatkan taman bermain kita!’
Perihal ‘suara’ ini juga dideklarasikan Nana dalam lirik lagu ‘Tempat Kita’. Lagu ini dengan lantang berbunyi: ‘Di sinilah tempat kita berada, kota adalah tempat setiap suara’. Dinyanyikan oleh anak-anak, lagu ini seolah ingin menegaskan bahwa kota bukan hanya milik orang dewasa, tapi juga harus menjadi telinga bagi setiap suara, termasuk anak-anak.
Sementara itu, dialog para tokoh antagonis juga tak kalah lugas. Dua roh kota menjawab kebutuhan Ayya akan pohon dan udara, juga ancaman Nawang agar jangan membangun gedung tinggi, dengan cemoohan dan saran khas orang dewasa, yaitu: ‘Kalian tetap bisa bermain, yaitu bermain hp. Hahahaha!’
Lalu mereka bernyanyi: ‘Tutupi bulan dengan debu.. Tutupi bulan dengan gedung tinggi!’
Seperti harapan akan semua konflik di dunia, cerita ini berakhir dengan kemenangan di pihak yang lemah. Meski SALAM adalah sekolah yang hampir tidak pernah berbicara maupun mempraktikkan kompetisi, namun dalam pentas ini, anak-anak mendapatkan kemenangan baik di atas panggung maupun di balik layar.
Kemenangan Anak-anak
Pementasan naskah Manik-Manik Mimpi memakan waktu kurang lebih 40 menit saat dipentaskan. Namun, agar terampil mementaskan naskah dengan durasi kurang dari satu episode drakor itu, anak-anak perlu berlatih selama 3 bulan. Di waktu-waktu jelang pentas, latihan yang biasanya berlangsung siang hari digeser menjadi malam hari. Semata agar setiap adegan disesuaikan dengan pencahayaan lampu. Maka tak jarang, anak-anak baru bisa pulang di jam 9 malam.
Selama latihan, anak-anak banyak berinteraksi dengan para kru, baik tim produksi hingga artistik yang semuanya merupakan kakak-kakak mahasiswa. Sebagai penonton saat latihan, saya perlu mengapresiasi para kru yang memberikan ruang bicara dan ruang aman bagi anak-anak.
Biasanya, setelah berlatih para kru akan menggelar sesi evaluasi. Aktor anak diajak ikut serta, duduk melingkar bersama para kru yang lain. Dalam proses ini, anak-anak ikut dimintai pendapatnya mengenai sesi latihan yang telah dilakukan bersama-sama.
Suatu kali, ada anak yang merasa musik pendukung dalam suatu adegan terlambat berbunyi, sehingga para aktor harus berimprovisasi dengan berlama-lama dalam satu adegan. Ada pula yang merasa kesulitan memerankan satu adegan karena alat pendukung yang kurang nyaman. Sebagai orang dewasa yang sewaktu kecil hanya diam karena takut salah ketika ditanya oleh orang dewasa, saya merasa lega melihat anak-anak leluasa berbicara dalam forum dengan rentang usia yang beragam.
Kelegaan itu bertambah karena para kru terlihat memperlakukan para aktor anak dengan setara. Dalam sesi evaluasi misalnya, kru dan aktor dewasa dengan lugas menyampaikan keluhan mereka kepada aktor anak yang dirasa kurang kooperatif atau memerankan adegan tidak dengan semestinya. Tegur-menegur tanpa ada yang merasa diserang secara personal, saya rasa bisa menjadi indikasi interaksi yang sehat.

Swa-disiplin
Di hari pementasan, beberapa clip-on aktor tidak berfungsi dengan baik. Dengan kapasitas ruangan yang berisi 800 kursi, berbicara di panggung tanpa bantuan mic jelas akan membuat suara hanya terdengar sampai di kursi baris terdepan saja. Sejak awal pentas dimulai, saya dan beberapa kru lain yang berada di samping panggung sudah menyadari ada beberapa clip-on yang tidak berfungsi. Adegan terus berjalan sembari teknisi mencoba memperbaiki kendala teknis tersebut. Beberapa clip-on yang mati, sudah bisa menyala. Namun, ada juga clip-on yang tiba-tiba mati.
Kepanikan di panggung belakang, untungnya tidak terjadi di panggung depan. Meski ada kendala teknis, saya mendengar para penonton menyaksikan bahwa sama sekali tidak terlihat kepanikan ataupun jeda dalam adegan. Tampaknya, para aktor mengingat nasihat sutradara dengan baik. Saat latihan, saya teringat Nana bolak-balik mengingatkan agar adegan harus tetap berjalan meskipun musik atau instrumen pendukung lainnya tidak berfungsi. Anak yang menyadari mic-nya mati, berteriak dengan segenap tenaga. Para aktor ini menjalankan adegan dengan baik meski instrumen pendukung tidak berfungsi dan tetap menjaga mimik wajah sesuai dengan adegan yang sedang diperankan. Mereka seperti menghidupi slogan ‘the show must go on’.
Saya tak punya latar belakang maupun kepekaan seni. Namun, melihat sinergi antar aktor, kru dan semua tim dalam pentas ini membuat saya melihat seni tak lagi sebagai sesuatu yang sederhana. Di balik kesan indah dan magis, seni sepertinya tumbuh di atas kerja keras, kedisiplinan dan tekad yang kuat.[]

Orang Tua SALAM
Leave a Reply