Blog

Persemaian Tiga Hari

Banyak cerita hadir dari Workshop ‘Merancang Sekolah Merdeka’ yang diselenggarakan oleh Sanggar Anak Alam (SALAM) tempo hari. Mengusung tema ‘Sekolah Merdeka’, workshop ini membagi materi workshop menjadi 3 sub tema untuk dipaparkan selama 3 hari berturut-turut. Materi secara utuh disampaikan di ruang kelas lantai dua, tepatnya di atas ruang Taman Anak SALAM. Karena ruang yang dipakai adalah ruang kelas untuk anak-anak kelas 5 dan 6, otomatis fasilitator kelas bersangkutan harus mencari gagasan kegiatan luar kelas agar kegiatan belajar tetap dapat berlangsung.

Paradigma Sekolah Merdeka

Rangkaian workshop yang berlangsung pada Kamis-Sabtu, 12-14 Januari 2017 lalu diawali dengan membedah paradigma sekolah yang memerdekakan. Merdeka dalam definisi: tidak ada yang menindas dan tidak ada yang tertindas. Pemikiran Paulo Freire yang tertuang lewat beberapa buku dirangkum dan dipaparkan sebagai bahan diskusi hari pertama.

Foto: Clarissa Amadhea.
Foto: Clarissa Amadhea.

Kesembilan belas peserta diajak untuk mengemukakan pendapat tentang pemikiran Freire sekaligus merefleksikannya ke dalam pengalaman pribadi. Meskipun pemikiran Freire sudah tidak asing bagi para peserta, namun diskusi yang bergulir membawa banyak pertanyaan baru. Terutama tentang bagaimana mengaplikasikan ‘pendidikan bertanya’ cetusan Freire, terutama dalam pedagogi.

Diskusi ini juga menggiring para peserta pada banyak kesadaran bahwa pendidikan memang seharusnya berpihak.Seorang peserta dari Bandung, Melia, yang bekerja sebagai guru di sekolah formal sempat berujar: “Ternyata selama ini sebagai guru, saya sesungguhnya adalah penindas.”

Meski pertanyaan tentang metode belajar mulai bermunculan, namun fasilitator workhop, Toto Rahardjo, terus mengingatkan bahwa metode sejatinya hanya tentang kreatifitas. Sedangkan yang harus diutamakan dalam pendidikan adalah tentang cara berpikir. Peserta diharapkan selesai terlebih dahulu pada tahap cara berpikir sebelum memikirkan tentang metode belajar.

Metodologi Sekolah Merdeka

Aura keingintahuan terasa amat kuat di hari kedua. Tentu saja setelah diajak berdialektika sehari penuh tentang praktek pendidikan yang berkembang dewasa ini, banyak pertanyaan bertebaran: Lantas bagaimana metode belajar yang merdeka?

Di hari inilah ‘daur belajar’ SALAM menjadi materi utama diskusi-diskusi kelompok. Pengalaman SALAM sebagai sekolah yang merancang sendiri kurikulum secara mandiri selama belasan tahun menjadi topik utama. Hari kedua ditutup dengan diskusi ringan yang banjir pertanyaan, dengan ibu Sri Wahyaningsih sebagai pemantik diskusi, dan sejumlah fasilitator, orangtua serta alumni sebagai narasumber.

Foto: Clarissa Amadhea.
Foto: Clarissa Amadhea.

Meskipun pemaparan mengenai metodologi banyak menggunakan pengalaman SALAM, namun peserta diharapkan dapat mengadopsi secara tepat sesuai situasi dan kondisi yang kelak mereka hadapi.

Merancang Sekolah Merdeka

Hari ketiga bisa dikatakan ‘panggung’ bagi para peserta workshop. Peserta yang datang dari berbagai penjuru seperti Bandung, Malang, Bekasi, Pontianak, Riau, Medan, Jakarta, Bali, Surabaya dan Jogja memaparkan situasi yang mereka hadapi saat ini hingga gagasan tentang kondisi ideal yang mereka harapkan dapat terjadi. Sesi awal membawa para peserta dalam kelompok-kelompok diskusi dengan situasi yang memiliki kemiripan. Tapi sepertinya sharing tentang pengalaman SALAM di hari kedua belum terpuaskan. Hal tersebut tampak saat para fasilitator SALAM masih dibanjiri pertanyaan tentang metode pembelajaran yang terjadi di SALAM.

Beberapa peserta, seperti Citra dari komunitas Barudak Leutik dan Erli yang masih mencari lokasi yang tepat untuk menyelenggarakan sekolah, menyatakan ingin melakukan observasi lebih jauh tentang bagaimana proses belajar di SALAM berlangsung di tiap-tiap kelas.

Tepat pukul 20.00 WIB rangkaian workshop diakhiri dengan evaluasi, berfoto dan makan bersama.

Kami yang Gelisah

Hampir setiap hari selalu ada tamu yang berkunjung ke SALAM. Entah sekedar untuk melihat-lihat ataupun bertanya lebih jauh tentang SALAM. Tak ayal, SALAM menjelma serupa ‘tempat wisata pendidikan’. Kunjungan-kunjungan singkat itu jelas tidak mampu menjelaskan secara menyeluruh tentang SALAM. Untuk itulah workshop ini terselenggara.

Foto: Clarissa Amadhea.
Foto: Clarissa Amadhea.

Sejak awal dipublikasikan pada Desember 2016 yang lalu, respon terhadap workshop ini cukup tinggi. Besaran nilai kontribusi memang tidak bisa dipungkiri menyurutkan langkah para peminat. Namun hal itu secara tidak langsung juga menjadi medium filter keseriusan peserta. Terbukti dari CV yang masuk, hampir semua peserta, meski beragam, memiliki latar belakang kuat.

Dari sekian banyak hal menarik yang saya temukan dalam 3 hari itu, yang paling mengagumkan adalah: peserta. Saya benar-benar tidak menyangka bahwa para peserta ini datang dari segala penjuru negeri dengan beragam latar belakang.

Seperti rombongan ini, misalnya: Renaldi, Toha dan Sutarno. Mereka adalah peserta dari Pulau Padang, Riau. Dua diantaranya adalah kepala desa. Mereka datang dengan keprihatinan bagaimana bumi yang kaya akan hasil bumi menjadi hening karena masyarakatnya memilih menjadi TKI. Sementara para penguasa dengan ringan menyerahkan kekayaan pertiwi untuk dieksploitasi oleh swasta. Angan-angan mereka kuat:membangun kesadaran kritis dengan menginisiasi sekolah tani di Pulau Padang. Meski kedatangan pak Toha dan pak Sutarno sempat diawali dengan keterlambatan dan cerita dramatis dibaliknya, namun hal tersebut tak menyurutkan semangatnya.

Kisah Citra yang menginisiasi komunitas belajar di Bantar Gebang sejak 2009, serta keprihatinan yang ia alami juga tak kalah menarik. Bagaimana konsumerisme mulai meraja di masyarakat Bantar Gebang yang awalnya adalah masyarakat yang sederhana. Minimnya sumber daya serta begitu kompleksnya permasalahan sosial yang ada seringkali menyurutkan langkahnya.

Keprihatinan lain dialami oleh para peserta yang telah berkarya di sekolah formal. Seperti kisah Sr. Maxima, Meli dan Syafiatul. Keprihatinan mereka mengarah pada sistem pendidikan Indonesia yang makin kehilangan arah dan semrawut.

Tak sedikit pula peserta yang secara mandiri telah merintis sekolah di daerahnya masing-masing. Seperti pak Hari yang telah merintis TK ‘Sihar Panguripan’ di kampung halamannya, Labuhan Batu, sejak 2007 silam. Tahun ini bersama beberapa fasilitator, ia akan akan melanjutkan pertumbuhan sekolah ke jenjang SD. Sekolah yang ia tujukan untuk warga ekonomi lemah ini berdaya melalui budidaya buah dan sayur organik yang ia kelola bersama orangtua siswa. Setali tiga uang dengan peserta dari Pontianak, bu Sri Wartati. TK yang telah ia rintis juga akan berkembang menuju jenjang Sekolah Dasar dengan dukungan penuh dari para orangtua murid.

Foto: Clarissa Amadhea.
Foto: Clarissa Amadhea.

Di penghujung acara saya akhirnya menyadari, bahwa kami sejatinya berkumpul karena kegelisahan yang sama. Kami juga meyakini, bahwa pendidikan adalah salah satu cara menjawab kegelisahan tersebut. Tiga hari ini lebih menyerupai refleksi daripada lokakarya. Layaknya bertemu di perlintasan lalu menemukan kawan seperjalanan, dan SALAM sekedar menguatkan dengan menunjukkan bahwa: berjalan dapat dilakukan sambil membuat jalan.

“Apa yang SALAM harapkan dari kami setelah ini?”

Pertanyaan itu muncul dari Azmi, salah satu peserta workshop yang sehari-hari bekerja sebagai staff DPR Komisi III, saat evaluasi. Agak lucu ya? Harusnya SALAM yang bertanya: Apa yang Anda harapkan dari SALAM?

“Tentu saja saya ingin SALAM beranak-pinak, diadaptasi dengan cara masing-masing dimanapun peserta hidup dan berkarya” demikian jawaban ringan dari pak Toto. Dengan begitu workshop  belum sepenuhnya berakhir, karena bibit baru disemai. Saatnya pulang untuk menanam tunas ke tanah masing-masing.Hati-hati di jalan, kawan. Semoga tiba di rumah dengan selamat. Sampai jumpa di masa panen mendatang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *