Program makan bergizi untuk anak-anak Indonesia sudah seharusnya segera dijalankan, terutama mengingat anggaran negara (APBN) telah menyediakan dana sebesar 71 triliun rupiah. Meski jumlah ini masih jauh dari total kebutuhan yang mencapai 400 triliun rupiah per tahun—hampir seperempat dari APBN setelah dikurangi pembayaran utang—pentingnya program ini tidak bisa diremehkan. Meski angka tersebut terdengar fantastis, dari pengalaman pribadi saya yang sering melakukan riset, termasuk menghabiskan waktu cukup lama tinggal di desa-desa, saya dapat memahami urgensi program ini.
Di desa-desa tempat saya pernah singgah, persoalan gizi memang nyaris tidak pernah masuk dalam perhatian masyarakat, terutama bagi keluarga dari golongan ekonomi miskin. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan makan tiga kali sehari saja menjadi tantangan besar. Situasi ini sangat nyata dan mengkhawatirkan, karena kurangnya asupan gizi pada masa kanak-kanak memiliki dampak jangka panjang yang serius terhadap kualitas sumber daya manusia.
Melihat tren demografi, pada tahun 2045 penduduk Indonesia diperkirakan akan bertambah sebanyak 40 juta jiwa, dengan populasi didominasi oleh keturunan dari keluarga miskin. Secara statistik, keluarga miskin memang cenderung memiliki lebih banyak anak dibandingkan keluarga dengan kondisi ekonomi yang lebih baik. Hal ini berarti tantangan gizi di masa depan akan semakin berat jika tidak diantisipasi sejak sekarang. Tanpa perlu mempertimbangkan terlalu banyak aspek yang rumit, kebijakan untuk menyelamatkan generasi muda kita dari kekurangan gizi melalui pemberian makan gratis bagi siswa sangatlah logis dan mudah dimengerti.
Ini bukan hanya soal memberi makan; ini soal investasi jangka panjang dalam pembangunan bangsa. Dengan menyediakan makanan bergizi bagi anak-anak, kita tidak hanya membantu mereka bertumbuh dengan sehat, tetapi juga memberi mereka kesempatan untuk belajar dengan lebih baik dan menciptakan masa depan yang lebih cerah. Anak-anak ini adalah generasi penerus yang akan memimpin Indonesia di masa depan, dan memastikan mereka tidak kekurangan gizi adalah tanggung jawab bersama yang harus kita pikul dengan serius.
Penting bagi kita untuk lebih kritis dalam menilai apakah masalah gizi ini benar-benar semata-mata terkait dengan status ekonomi keluarga atau justru lebih dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup masyarakat. Jika kita amati, harga bahan makanan di Indonesia sebenarnya masih cukup terjangkau, sehingga secara teoritis pemenuhan gizi seharusnya tidak terlalu sulit dicapai. Namun, kenyataannya banyak keluarga, terutama di pedesaan maupun perkotaan, yang mengalokasikan pengeluaran mereka untuk kebutuhan lain yang tidak berkaitan langsung dengan gizi anak.
Saat ini, kebutuhan untuk membeli sepeda motor, ponsel, kuota internet, rokok, jajanan snack pabrikan, serta dana sosial untuk hajatan atau acara adat sering kali jauh lebih besar dibandingkan alokasi untuk makanan bergizi. Pola konsumsi ini menunjukkan adanya perubahan prioritas dalam kehidupan masyarakat yang didorong oleh modernisasi dan tekanan sosial. Dalam banyak kasus, pilihan pengeluaran ini tidak hanya mencerminkan keterbatasan ekonomi, tetapi juga kurangnya kesadaran atau edukasi tentang pentingnya gizi bagi pertumbuhan anak. Sebagai contoh, banyak keluarga lebih memilih memberi anak mereka jajanan kemasan daripada menyediakan makanan rumah yang kaya nutrisi, meski biayanya lebih murah.
Di sisi lain, perlu diakui bahwa kebijakan makan gratis untuk siswa ini memang sarat dengan muatan politik populisme, terutama dalam konteks pilpres. Program-program seperti ini sering kali dirancang untuk menarik simpati publik tanpa mempertimbangkan secara mendalam evidence-based policy yang relevan. Padahal, jika benar-benar ingin menyelesaikan masalah gizi, kebijakan semacam ini perlu didasarkan pada data yang kuat dan analisis mendalam tentang akar permasalahan. Apakah masalahnya terletak pada akses ekonomi, pola konsumsi, edukasi, atau kombinasi dari semuanya?
Kesalahan dalam memahami akar masalah dapat mengakibatkan kebijakan yang hanya bersifat tambal sulam, tanpa memberikan dampak jangka panjang yang signifikan. Untuk itu, kebijakan makan bergizi perlu dilengkapi dengan program edukasi yang menyasar perubahan pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Edukasi ini tidak hanya menyangkut pentingnya gizi, tetapi juga bagaimana mengelola pengeluaran keluarga secara bijak agar prioritas pemenuhan gizi anak menjadi utama. Hanya dengan pendekatan yang holistik seperti ini, kita dapat memastikan bahwa program tersebut benar-benar memberikan manfaat yang berkelanjutan dan tidak hanya menjadi alat politik sesaat.
Pertanyaan mengenai sentralisasi pelaksanaan program makan bergizi ini memang sangat relevan, mengingat skala dan kompleksitasnya yang luar biasa besar. Rencana untuk membentuk badan gizi nasional yang akan merekrut, melatih, dan mengerahkan 90 ribu akuntan dan ahli gizi untuk mengelola 3.000 porsi makanan per hari di setiap SPG (Satuan Penyediaan Gizi) menimbulkan banyak pertanyaan, baik dari segi efektivitas, efisiensi, maupun potensi risiko penyalahgunaan.
Pertama, pendekatan yang sangat sentralistik ini berpotensi menjadi beban administratif yang berat. Koordinasi antara badan pusat dengan ribuan unit di lapangan memerlukan sistem pengawasan yang sangat canggih dan birokrasi yang efisien, sesuatu yang jarang menjadi kekuatan sistem pemerintahan kita. Belum lagi masalah distribusi bahan makanan dan alokasi sumber daya yang sering kali terhambat oleh rantai birokrasi yang panjang. Dengan demikian, alih-alih memastikan makanan bergizi sampai ke anak-anak, ada risiko besar dana dan energi justru terserap di tingkat administrasi.
Kedua, skala ekonomi yang tercipta dari program ini memang menarik perhatian, tetapi juga menimbulkan peluang besar untuk praktik korupsi atau kongkalikong. Dengan pagu dana 10 ribu rupiah per porsi dan potensi omzet harian sebesar 30 juta rupiah per SPG, mitra penyedia makanan akan mengelola jumlah dana yang sangat besar. Dalam sistem pengadaan sebesar ini, celah untuk manipulasi harga bahan makanan, pemangkasan kualitas gizi, atau penggelembungan anggaran sangat terbuka. Apalagi jika pengawasan tidak dilakukan secara ketat dan transparan, kemungkinan terjadinya praktik malpraktek menjadi semakin nyata.
Ketiga, skema sentralistik ini juga berisiko mengabaikan potensi dan kearifan lokal. Setiap daerah memiliki bahan makanan yang berbeda-beda, yang bisa diolah menjadi menu bergizi sesuai dengan kebutuhan lokal. Namun, dengan pendekatan terpusat, ada kemungkinan kebijakan ini mengabaikan keberagaman tersebut dan justru memaksakan pola penyediaan makanan yang seragam. Hal ini bukan hanya kurang efisien, tetapi juga berpotensi mengurangi partisipasi masyarakat lokal dalam program ini.
Keempat, rekrutmen dan pelatihan 90 ribu akuntan dan ahli gizi bukan hanya membutuhkan biaya besar, tetapi juga memerlukan waktu yang tidak singkat. Mengingat masalah gizi adalah isu mendesak, pendekatan ini terasa kurang realistis jika kita ingin segera melihat dampak nyata di lapangan.
Alih-alih sentralisasi, mungkin lebih bijaksana jika program ini dikelola dengan pendekatan desentralisasi, di mana pemerintah memberikan panduan, pendanaan, dan pengawasan umum, tetapi pelaksanaan di lapangan diserahkan kepada pemerintah daerah, komunitas lokal, atau organisasi masyarakat sipil. Dengan cara ini, program bisa lebih fleksibel, sesuai dengan kebutuhan lokal, dan risiko korupsi dapat ditekan karena kontrol berada lebih dekat dengan masyarakat penerima manfaat. Sentralisasi yang berlebihan, meskipun terdengar rapi di atas kertas, dalam praktiknya sering kali sulit dijalankan secara efektif di negara sebesar dan sekompleks Indonesia.
Program makan bergizi ini memang menghadirkan banyak permasalahan dari sisi desain dan implementasi, terutama karena sistem kerjanya tidak membedakan siswa yang benar-benar membutuhkan bantuan dengan mereka yang tidak. Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi sasaran secara tepat sejak awal membuka peluang besar terjadinya salah sasaran dalam skala masif, yang pada akhirnya dapat mengurangi efektivitas program dan menciptakan pemborosan luar biasa dari anggaran sebesar 400 triliun per tahun.
Kecurigaan bahwa model program ini mengadopsi sistem dapur militer tampaknya memiliki dasar yang kuat. Dalam sistem militer, segalanya dikendalikan secara terpusat dengan komando hierarkis yang jelas dan ketat. Kehadiran Prabowo, yang berlatar belakang militer, sebagai tokoh penting di balik program ini—ditambah lagi dengan fakta bahwa badan gizi nasional ini awalnya didanai secara pribadi oleh Prabowo dan dipimpin oleh Sjafrie Sjamsoeddin, seorang jenderal kepercayaan Prabowo—menunjukkan jejak kuat pendekatan militer dalam desain kebijakan ini. Pendekatan ini mungkin dianggap mempermudah koordinasi dalam skala besar, terutama karena militer memiliki pengalaman dalam mengelola logistik secara terorganisir dan efektif di berbagai wilayah.
Namun, pendekatan sentralistik ini memiliki sejumlah kelemahan serius. Dalam konteks sipil, terutama di negara sebesar Indonesia dengan keberagaman budaya dan geografis yang sangat kompleks, model yang terlalu terpusat justru berisiko mengabaikan kebutuhan spesifik di setiap daerah. Ketika semua dikendalikan dari pusat, fleksibilitas untuk menyesuaikan program dengan kondisi lokal menjadi sangat terbatas. Selain itu, model ini rawan terhadap praktik penyalahgunaan, terutama karena jumlah dana yang dikelola sangat besar dan pelaksanaannya tersebar luas di lapangan.
Menariknya, badan gizi nasional sengaja tidak dijadikan sebagai sebuah kementerian. Alasan di balik keputusan ini kemungkinan besar adalah untuk menghindari “jebakan” birokrasi yang selama ini dikenal rumit, lambat, dan sering kali rawan penyelewengan. Dengan langsung berada di bawah presiden, badan ini memiliki akses langsung ke otoritas tertinggi tanpa melalui lapisan birokrasi yang berbelit. Namun, langkah ini juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan akuntabilitas, terutama mengingat skala dana yang luar biasa besar.
Satu hal yang menjadi perhatian utama adalah risiko politisasi program ini. Dengan desain yang sentralistik dan pemimpin yang berlatar belakang militer, ada kemungkinan program ini lebih dimanfaatkan sebagai alat politik daripada benar-benar diarahkan untuk mengatasi masalah gizi di kalangan anak-anak. Jika tidak ada mekanisme pengawasan yang independen dan transparan, program ini berpotensi besar menjadi ladang subur bagi praktik-praktik yang tidak sesuai dengan tujuan awalnya.
Di sisi lain, perlu ada evaluasi mendalam terhadap pendekatan sentralistik ini. Apakah benar model ini paling efektif untuk menyelesaikan masalah gizi di Indonesia, atau justru pendekatan desentralisasi yang melibatkan pemerintah daerah, komunitas lokal, dan lembaga masyarakat sipil lebih tepat? Desentralisasi, meski memiliki tantangan tersendiri, dapat memberikan ruang untuk respons yang lebih fleksibel dan berbasis kebutuhan lokal. Dengan demikian, program ini tidak hanya menjadi lebih relevan, tetapi juga lebih efektif dalam mencapai tujuannya.
Kekecewaan terhadap pendekatan sentralistik dalam program makan bergizi ini memang sangat wajar, terutama jika kita melihat potensi kelembagaan yang sudah ada di masyarakat. Lembaga-lembaga seperti desa, RT, dasa wisma, bahkan masjid-masjid telah lama menunjukkan kemampuan mereka dalam mengelola dan menyalurkan sumber daya secara efektif, terutama dalam kegiatan sosial seperti sedekah Jumat berkah. Pengalaman ini menunjukkan bahwa menyediakan makanan sehari-hari yang bergizi sebenarnya bukanlah sesuatu yang sulit, apalagi jika melibatkan ibu-ibu rumah tangga yang selama ini terbiasa memasak dan mengelola kebutuhan pangan keluarga.
Pertanyaan besar muncul: apakah kita sudah kehilangan kepercayaan terhadap lembaga masyarakat kita? Apakah desa, RT, atau dasa wisma sudah sedemikian korup sehingga tidak bisa lagi dilibatkan? Atau, apakah ibu-ibu rumah tangga dianggap tidak lagi kompeten untuk menyediakan makanan bergizi? Stigma semacam ini perlu dikaji ulang, karena justru melibatkan mereka dapat memperkuat partisipasi masyarakat sekaligus memastikan bahwa program ini menyentuh kebutuhan lokal.
Masalah lain yang perlu disoroti adalah mekanisme pembelanjaan. Dengan dana sebesar 400 triliun per tahun, apakah sudah dirancang untuk memberdayakan petani, peternak, dan nelayan lokal? Jika tidak, maka program ini hanya akan menjadi proyek besar tanpa dampak signifikan terhadap ketahanan pangan nasional. Perlu ada mekanisme yang memastikan bahwa kebutuhan bahan makanan untuk program ini dipasok langsung oleh para pelaku agribisnis lokal, sehingga uang yang berputar juga dapat menggerakkan ekonomi desa.
Desain unit penyediaan gizi dengan kapasitas 3.000 porsi per hari juga tampaknya terlalu besar dan tidak efisien. Jika unit-unit ini diperkecil menjadi hanya 100-200 porsi per hari, akan lebih banyak ibu rumah tangga yang dapat terlibat secara langsung, baik sebagai penyedia makanan maupun sebagai pengelola logistik. Unit kecil seperti ini juga akan membuka peluang lebih besar bagi usaha kecil dan menengah (UKM) untuk turut berpartisipasi, karena tidak memerlukan modal besar seperti kendaraan atau fasilitas penyimpanan skala besar. Bahkan, logistiknya dapat dikelola dengan lebih fleksibel menggunakan kendaraan roda dua atau alat transportasi lokal lainnya.
Salah satu elemen penting yang sering diabaikan adalah pengawasan dan evaluasi. Melibatkan siswa dalam memberikan skor atau umpan balik setiap selesai makan adalah ide yang sangat baik. Pendekatan ini tidak hanya memastikan kualitas makanan yang disediakan, tetapi juga menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama dalam komunitas. Sistem ini akan menciptakan pengawasan melekat (waskat) yang melibatkan berbagai pihak—mulai dari siswa, sekolah, desa, petani, hingga rumah tangga—sehingga membangun ekosistem yang lebih mandiri. Jika komunitas ini dapat berjalan dengan baik, program makan bergizi ini bahkan dapat menjadi dasar bagi kedaulatan pangan yang tidak bergantung sepenuhnya pada anggaran pemerintah.
Namun, untuk mewujudkan perbaikan seperti ini, diperlukan riset kebijakan yang mendalam dan multidisiplin. Disiplin antropologi, misalnya, dapat membantu memahami perilaku masyarakat dan kebutuhan spesifik di setiap daerah. Dengan begitu, kebijakan yang dihasilkan tidak seragam atau terlalu normatif, melainkan sesuai dengan kondisi lokal. Penyeragaman aturan dalam skema sentralistik sudah terlalu sering terbukti gagal di lapangan karena tidak memperhatikan keragaman budaya, geografi, dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Jika pendekatan desentralisasi dengan pemberdayaan komunitas lokal ini diintegrasikan, bukan tidak mungkin program makan bergizi akan menjadi lebih efektif, efisien, dan berdampak jangka panjang bagi kemandirian pangan nasional. Justru dari komunitas kecil ini, Indonesia bisa memulai perjalanan menuju kedaulatan pangan yang sejati.
Program makan bergizi ini, pada dasarnya, adalah inisiatif yang sangat penting untuk masa depan bangsa, terutama dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Namun, desain pelaksanaannya justru memunculkan berbagai pertanyaan mendasar terkait pemahaman pemerintah terhadap kompleksitas persoalan di masyarakat. Indonesia adalah negara yang sangat beragam, baik secara geografis, sosial, maupun budaya. Dengan demikian, penerapan model pelaksanaan yang seragam dan terpusat tidak hanya berisiko tidak efektif, tetapi juga bisa menjadi bumerang dalam mencapai tujuan program ini.
Salah satu isu utama adalah ketidakmampuan sistem untuk membedakan siswa yang benar-benar membutuhkan bantuan gizi dari mereka yang secara ekonomi sudah cukup mampu. Akibatnya, potensi salah sasaran menjadi sangat tinggi. Dengan alokasi anggaran sebesar 400 triliun rupiah per tahun—atau sekitar 20% dari total APBN setelah dikurangi pembayaran utang—efektivitas penggunaan dana sebesar itu menjadi pertanyaan besar. Bagaimana akuntabilitas program ini akan dijaga? Apakah mekanisme pengawasan yang dirancang cukup kuat untuk mencegah penyelewengan dan memastikan manfaatnya benar-benar sampai kepada kelompok sasaran yang membutuhkan?
Desain kelembagaan yang sangat sentralistik juga memperlihatkan watak distrust dari pemerintah pusat terhadap kemampuan masyarakat lokal. Padahal, masyarakat kita sebenarnya memiliki pengalaman dan kompetensi yang cukup untuk mengelola program semacam ini. Lembaga-lembaga desa, dasa wisma, RT, hingga masjid-masjid sudah lama terlibat dalam kegiatan sosial yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat, seperti sedekah atau dapur umum. Jika mereka diberdayakan, program ini tidak hanya akan lebih efisien tetapi juga mampu membangun rasa kepemilikan masyarakat terhadap program tersebut. Ironisnya, urusan yang sebenarnya cukup sederhana—menyediakan makanan bergizi untuk anak-anak—dibuat begitu rumit, sehingga memunculkan spekulasi bahwa agenda politik elektoral mungkin menjadi salah satu motif di balik desain sentralistik ini.
Ketidakpercayaan ini semakin diperburuk dengan fakta bahwa program ini digodok oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) bekerja sama dengan Kementerian Pertahanan. Bahkan, kepala badan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan program ini adalah akademisi dari IPB. Bagi sebagian pihak, termasuk saya sendiri, sulit untuk sepenuhnya percaya bahwa kebijakan ini sepenuhnya evidence-based atau bebas dari agenda politik tertentu. Apalagi jika mempertimbangkan hubungan antara institusi-institusi tersebut dengan jaringan politik dan elektoral yang lebih luas.
Terakhir, model kelembagaan yang mengandalkan sentralisasi dan komando terpusat ala militer mungkin dianggap lebih mudah dalam koordinasi, tetapi seringkali mengabaikan keberagaman kondisi lokal. Desain seperti ini rentan terhadap kegagalan operasional di lapangan karena tidak mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan ekonomi di berbagai daerah. Pada akhirnya, bukannya memperkuat kemandirian masyarakat, program ini justru bisa menjadi beban tambahan bagi pemerintah pusat jika terus menerus bergantung pada dana APBN tanpa memberdayakan masyarakat lokal sebagai bagian dari solusinya.[]
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=A5hVh0XnhHM&feature=youtu.be

Seorang otodidak, masa muda dihabiskan menjadi Fasilitator Pendidikan Popular di Jawa Tengah, DIY, NTT dan Papua. Pernah menjadi Ketua Dewan Pendidikan INSIST. Pendiri Akademi Kebudayaan Yogya (AKY). Pengarah INVOLPMENT. Pendiri KiaiKanjeng dan Pengarah Sekolah Alternatif SALAM Yogyakarta.
Leave a Reply