Blog

Rekonstruksi Pembelajaran

Ketika bicara pendidikan, selalu identik dengan sekolah. Sekolah adalah pengajaran yang diselenggarakan di suatu tempat bernama lembaga untuk mendidik atau mengajar.

illustrasi Jawa dari sebuah buku kuno yang tersimpan di museum Inggris.

Jadi, perspektif sempit ini membatasi proses pendidikan berdasarkan waktu atau masa pendidikan, lingkungan pendidikan maupun bentuk pendidikan, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Lalu, bagaimanakah tindakan efektif menjadikan manusia sebagaimana mestinya manusia? Apakah dengan adanya sekolah kita bisa mewujudkan hal tersebut.

Inilah yang menyebabkan, semakin modernnya zaman sehingga pendidikan diturunkan ke dalam bentuk formal sekolah dan pengajaran, sebenarnya ia telah meninggalkan komprehensifannya sebagai proses kemanusiaan. Ketika pendidikan telah direduksi menjadi sekolah dan terinstitusionalisasi serta terspesikasi dalam bidang-bidang dan jurusan-jurusan, maka hal ini menyulitkan para murid dan insan pendidikan agar dapat memahami masalah-masalah kemanusiaan secara holistis.

Sebagaimana sejarah pendidikan, yaitu suatu proses yang dilakukan diwaktu luang. Tapi saat ini pendidikan bukanlah proses yang dilakukan di waktu luang, dalam sejarahnya, pendidikan juga telah menghilangkan aspek pengetahuan holistik. sehingga ilmu pun dipecah-pecah, menjadi mata pelajaran, menjadi SKS, dan lain-lain. Hal ini menghasilkan efek yang menanangkan tuntutan kapitalisme bahwa ilmu harus dipecah-pecah seiring dibutuhkannya tenaga kerja yang terdirensiasi agar baut-baut dan onderdil mesin kapitalisme berjalan.

Inilah yang menyebabkan, semakin modernnya zaman sehingga pendidikan diturunkan ke dalam bentuk formal sekolah dan pengajaran, sebenarnya ia telah meninggalkan komprehensifannya sebagai proses kemanusiaan. Ketika pendidikan telah direduksi menjadi sekolah dan terinstitusionalisasi serta terspesikasi dalam bidang-bidang dan jurusan-jurusan, maka hal ini menyulitkan para murid dan insan pendidikan agar dapat memahami masalah-masalah kemanusiaan secara holistis.

Hal ini diperkuat oleh pernyataan Ivan Illich dalam konsep karyanya, Deschooling Society (Masyarakat Tanpa Sekolah) bisa dipandang sebagai penolakan komprehensif terhadap sekolah formal yang memasung kebebasan dan perkembangan manusia. Sekolah dianggapnya sama sekali tidak memadai bagi perkembangan anak-anak dan kaum muda. Illich sangat yakin tujuan penolakan sekolah dalam masyarakat akan menjadikan siswa dapat memperoleh kebebasan dalam belajar tanpa harus memperjuangkan untuk memperolehnya dari masyarakat. Setiap orang harus dijamin kepribadiannya dalam belajar, dengan harapan dia akan menerima kewajiban membantu orang lain untuk tumbuh sesuai kepribadiannya.

Illich mengolok-olok kaum yang mengatakan bahwa hanya dari sekolahlah pengetahuan dan keterampilan didapat, pada kenyataanya sekolah bukanlah satu-satunya lembaga modern dengan tujuan utama membentuk pandangan manusia mengenai realita. Kurikulum terselubung (Hidden curriculum) dalam kehidupan keluarga, wajib militer, pelayanan kesehatan dan apa yang disebut profesionalisme ataupun media, memainkan peranan penting dalam manipulasi institusional dunia manusia, visi, bahasa-bahasa, dan kebutuhannya.

Illich pun menegaskan kembali bahwa “sekolah jauh lebih memperbudak orang dengan cara yang lebih sistematis, karena hanya sekolah yang dianggap mampu untuk melaksanakan tugas utama, anehnya sekolah melakukan tugas tersebut dengan cara membuat pemahaman tentang diri sendiri, tentang orang lain dan tentang alam, menjadi tergantung pada proses yang sudah dibentuk terlebih dahulu. Begitu dahsyat pengaruh sekolah atas diri kita sehingga tidak seorang pun diantara kita dapat berharap bahwa ia dapat dibebaskan dari padanya oleh sesuatu yang lain”.

Tampaknya pendidikan justru bermakna jika konsepsi Ivan Illich terwujudkan. Bayangkan jika ada masyarakat yang setiap hari, tanpa adanya sekolah yang kaku dan formal, setiap orang yang pengetahuannya lebih matang bisa menjadi guru. Setiap orang bisa belajar setiap waktu dan dimanapun tempatnya. Seperti halnya membicarakan dunia kehidupannya, alam yang terjadi dengan kontradiksinya, masalah sosial dan masalah politik yang tengah terjadi. Tentunya, akan ada banyak guru bagi anak-anak, dengan mendapatkan pengetahuan dan keteladanan kapanpun dan dimanapun berada. Sehingga Insan pendidikan akan menghadapi kawan-kawan yang menantangnya untuk bernalar, bersaing tanpa distandarisasi dengan adanya rapor, bekerja sama dan sebagainya.

Perspektif sempit inilah, yang menyebabkan terbatasnya proses pendidikan. Sehingga akan membawa dampak-dampak buruk pendidikan tersendiri; Pertama, karena hampir semua orang menganggap pendidikan dipahami melalui lembaga sekolah, maka cara berfikir formalistik merasuk dalam pemikiran orang. Pada akhirnya para orang tua melihat pendidikan anaknya hanya dapat diandalkan dari sekolah. Mereka melihat di sekolahlah tempat satu-satunya bagi anak-anaknya untuk memperoleh pengetahuan dan pembentukan mental dan karakter. Hal buruknya adalah orangtua tidak mau mendidik anaknya karena sudah mendapatkan pendidikan di sekolah dan tidak mempedulikan pendidikannya diluar sekolah. Kedua, sekolah dijadikan satu-satunya lembaga yang sah bagi masyarakat sebagai jalan mobiltas sosial. Seakan-akan sudah baku bahwa jika ingin mendapatkan pekerjaan harus masuk dan lulus sekolah terlebih dahulu, syarat formalnya adalah mendapatkan ijazah. Jadi, tidak heran ketika banyak bisnis ijazah atau bisnis pendidikan tanpa melibatkan si terdidik dalam proses belajar mengajar. Padahal formalitas bukanlah esensi.

Oleh karena itu, ijazah ataupun output sekolah tidak menunjukkan adanya mutu. Tidak jarang pula, orang yang bersekolah tingkatan tinggi, tetapi kecerdasannya rendah, mentalnya rusak, karakternya kerdil, dan jiwanya koruptif. Sehingga sekolah akan melahirkan manusia-manusia “dehuman” yang akan merampok potensi kemanusiaan manusia.

Pandangan ekstrem seperti ini, yang tidak membutuhkan sekolah tentunya tidak dapat dilihat sebagai pasimisme, tetapi harus dipandang sebagai “kritik” pada dunia pendidikan. Artinya, semua orang harus dapat mengenyam pendidikan dan dapat mengekspresikan kepentingannya dalam dunia pendidikan. Pendidikan haruslah menjadi milik masyarakat, tanpa adanya batas-batas kelas, ras, agama, maupun bentuk fisik education for all. 

(Moh. Ziyadul Haq Annajih)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *