Setelah 17 tahun Sanggar Anak Alam (SALAM) berdiri dan masifnya publikasi yang menyorot ke sekolah ini, tak heran jika semakin banyak masyarakat mengetahui keberadaan sekolah yang berada tepat di tengah persawahan di Kampung Nitiprayan, Bantul.
Setiap kali saya menjawab pertanyaan teman tentang sekolah anak saya ini. Mereka langsung berkata, ooh SALAM yang sering ditayangin di TV ya?. Mereka pun lantas mengungkapkan kekaguman mereka dengan konsep yang diterapkan di SALAM. Bahwa SALAM itu begini, SALAM itu begitu.
Tapi benarkah mereka benar-benar paham dengan pola pendidikan yang ada di SALAM? Sebab, selain ungkapan kekaguman, sebagian dari teman saya ini menganggap bahwa SALAM itu sekolah tampungan bagi anak yang bermasalah. Sekolah yang pas buat anak yang malas belajar.
Bahkan statement ini terucap oleh saudara saya sendiri. Sedih rasanya. Karena saya, yang merupakan warga SALAM, ternyata belum bisa menjadi public relations (PR) yang baik.
”Pindah ke SALAM saja, kan anaknya malas belajar. Jadi pas kalau sekolah di SALAM!” ujarnya suatu kali.
Dengan pandangan lain, itu bisa diartikan, ooh orang malas belajar kalau sekolah ke SALAM bisa jadi pintar dan rajin belajar. Tapi saya cukup tahu kalau maksud dari saudara saya tersebut sama sekali bukan itu. Terus terang, percakapan yang awalnya santai itu langsung membuat saya muntap. Tahu apa mereka tentang SALAM, kok bisa-bisanya men-judge kalau SALAM itu sekolah untuk anak-anak yang malas. Pernah ke SALAM saja tidak.
Hanya karena melihat anak saya jarang pegang buku pelajaran, apakah itu menandakan anak saya malas belajar. Apakah belajar itu hanya terpathok pada buku saja?
Memang di SALAM, kami tidak mengenal buku pelajaran. Kami belajar ”semau” kami. Belajar tidak harus di kelas, belajar tidak harus dengan duduk manis sembari mendengarkan guru. Konsep pembelajaran yang menitikberatkan pada minat anak ini tetap memiliki koridornya sendiri. Ada capaian yang akan diraih di akhir semester.
Capaian ini bisa diraih dengan riset yang dilakukan oleh anak-anak. Di awal semester mereka diminta menentukan apa yang ingin dipelajari. Diskusi demi diskusi dengan orang tua dan fasilitator dilalui. Setelah itu, mereka membuat rencana yang akan dilakukan, praktek di mana, siapa yang akan menjadi pendamping, siapa yang akan menjadi narasumber, bahkan tempat mana saja yang memungkinkan didatangi untuk melengkapi riset mereka.
Belum selesai sampai di situ, anak-anak juga akan mencatat progress harian, mingguan, dan bulanan. Di akhir semester mereka akan melakukan presentasi, bisa dengan gelar karya, bisa pula dengan format forum diskusi.
Tak hanya itu, mereka juga tetap aware dengan riset teman sekelas mereka. Karena intinya adalah belajar bersama. Semua tahapan ini, yang kami sebut sebagai Daur Belajar, membutuhkan effort yang besar.
Lantas saya tanya sekali lagi, apakah anak-anak ini malas? Tidak. Mereka justru anak-anak yang rajin belajar. Mereka adalah anak-anak yang memiliki rasa penasaran tinggi. Semakin penasaran semakin semangat pula mereka mencari tahu. Bukankah mendengar, saya lupa; melihat, saya ingat; melakukan, saya paham; menemukan sendiri, saya kuasai.
Tidak ada anak yang malas. Tidak ada anak yang bermasalah. Menyitir kata-kata pendiri SALAM, Pak Toto Rahardjo ”Tidak ada anak yang bermasalah.Sik bermasalah ki wong tuwone.” Bahwa cara pandang orang tua, orang dewasa terhadap anaklah yang memunculkan penghakiman-penghakiman pada anak. Padahal ketidak sadaran orang dewasa yang diam-diam membunuh potensi anak, imajinasi anak, ekspresi daya kreasi anak menjadi perhatian penting di SALAM yang bisa jadi bukan hal penting bagi orang dewasa, orang tua pada umumnya.
ORTU SALAM, Jurnalis
Leave a Reply