Talkshow Daulat Selera adalah bagian dari rangkaian kegiatan Wiwitan Tahun 2024. Talkshow yang berlangsung pada 24 Agustus 2024 itu, menghadirkan empat narasumber, yaitu Toto Rahardjo, Sri Wahyaningsih, Adi Didiet (ortu KB) dan Adhi Marutahara (kerabat SALAM). Diskusi dimoderatori oleh Gernata Titi, fasilitator SMA.
Talkshow di Ruang Terbuka nan Syahdu
Tak terlalu banyak peserta talkshow yang hadir siang itu. Talkshow yang semula direncanakan untuk digelar di ruang kelas TA, pindah ke lapangan. Dengan sedikit modifikasi, lapangan yang biasa dipakai untuk bermain itu berubah menjadi ruang diskusi yang teduh dan nyaman. Venue talkshow di ruang terbuka itu dilengkapi dengan set panggung minimalis yang nyaman untuk narasumber, karpet untuk duduk peserta, serta kain peneduh berwarna merah yang membujur di tengah lapangan. Syahdu dan akrab rasanya.
Satu persatu peserta datang dan meletakkan potluck di sebelah utara panggung. Di sebelah kudapan, terlihat beberapa jumbo berisi air minum yang disediakan oleh kelas-kelas. Tampak beberapa peserta saling bertegur sapa sebelum acara dimulai. Beberapa wajah yang belakangan jarang terlihat di sekolah, turut hadir membawa senyum siang itu. Peserta talkshow duduk di tengah lapangan beralaskan karpet dari kelas-kelas.
Anak-anak membaur dengan orang dewasa, mendengarkan paparan atau sekadar menikmati suasana bincang kekeluargaan tentang kedaulatan rasa. Gernata Titi membuka dengan santai dan mengatakan bahwa diskusi hari itu akan mengerucut pada kesepakatan bersama untuk komunitas.
Sesi Pertama yang Padat
Moderator membuka sesi pertama yang cukup padat dengan pertanyaan, apakah semua yang hadir sudah membaca artikel yang disarankan sebagai pijakan untuk hadir di talkshow. Beberapa orang malu-malu bilang sudah, beberapa lagi sibuk membuka ponselnya mencari artikel yang dimaksud. Artikel itu, dapat dibaca pada tautan ini. https://www.caknun.com/2024/ketika-kita-tak-punya-kedaulatan-selera-mata-telinga-hidung-dan-lidah-yang-dijajah/
Pada sesi awal, Didiet sebagai orang tua yang baru bergabung di kelas KB diminta untuk menceritakan bagaimana pengalamannya terkait penyediaan pangan sehat untuk snack kelas. Didiet rupanya punya concern soal kandungan gula dalam snack yang sering mereka jumpai di sekolah. Ia pun bercerita bagaimana kehebohan di rumah karena harus bangun lebih pagi untuk menyiapkan makan.
Ortu Elok dan Talu ini menceritakan bahwa di keluarganya anak-anak sudah terbiasa menikmati kudapan dengan rasa asli tanpa tambahan pemanis apalagi penyedap. Dalam paparannya, muncul kegelisahan terkait kandungan gula dalam snack. Tak jarang ketika terpapar dengan snack yang kandungan gulanya tinggi, anak-anak mengalami batuk.
Pada giliran selanjutnya, Adhi Marutahara yang dulu merupakan orang tua Salam sekaligus pernah menjadi relawan Dapur Salam sebagai koki, membagikan pengalaman dan nostalgianya terkait penyediaan makanan sehat di Salam. Lelaki dengan penampilan santai itu sesekali tersenyum saat bercerita. Mungkin ingatannya siang itu melompat pada rak-rak memori indah yang melekat saat ia melayani warga Salam dengan masakan-masakannya.
“Saya akan menceritakan praktik sajian makan bersama ala SALAM. Saya masuk SALAM karena menjauhi penjual yang selalu merubung di depan sekolah-sekolah. SALAM yang lokasinya jauh dari jalan besar, sepertinya tidak terdeteksi oleh penjual. Setelah masuk, ya, ternyata prinsip-prinsip soal makanan sejalan dengan yang sudah saya dan keluarga jalani.” ujarnya.
Adhi melanjutkan ceritanya terkait latar belakang jatuhnya pilihan sekolah pada Salam. “Anak saya ada beberapa alergi sejak kecil. Sampai 5 tahun saya berhati-hati sekali dengan makanannya. Saya nggak rela dong, saya sudah hati-hati terus di sekolahnya ada jajan sembarangan.”
Ia juga menambahkan cerita nostalgia ketika aktif bergabung di Dapur Salam bersama Mbak Turah, Mbak Ita, Mbak Rina, dan Bunda Wienarti. “Ada banyak dinamika di praktik makan siang bersama. Seperti antri, bawa kuah di jalan setapak, rebutan dulu-duluan dengan kelas lain, mengembalikan wadah dalam keadaan bersih. Dulu ada prinsip anakku anakmu, anakmu anakku. Itulah yang memudahkan saya menjalani menjadi relawan di dapur. ”
Pandangan Sri Wahyaningsih dan Toto Raharjo
Setelah mendengar cerita dari kedua narasumber, Gernata Titi melemparkan pertanyaan kepada Sri Wahyaningsih. “Menurut Bu Wahya, bagaimana pemahaman ortu terhadap 4 pilar ini, apakah sudah cukup atau gagal paham? Karena saya masih melihat ada makanan kemasan di snack potluck yang dibawa ortu.”
Benar apa yang dikatakan Gernata Titi, di antara kudapan buatan rumahan di meja potluck terlihat beberapa potluck kemasan pabrikan. Hal ini memantik pertanyaan sekaligus memberi kesempatan pada Sri Wahyaningsih untuk memberikan penilaian tentang bagaimana kesadaran ortu Salam belakangan ini tentang penyediaan makanan sehat yang sesuai dengan 4 pilar Salam.
Sri Wahyaningsih menjawab, “Waktu KB dan TA, snack masih dipegang ortu dengan harapan penyediaan snack, akan menjadi isu bersama. Bahwa soal makan tidak sekadar kecukupan gizi. Bagaimana ini menjadi ritme dan kebiasaan. Makanan yang disajikan membawa energi di situ, ada doa orang tua, ada kebanggaan, ada cinta yang diberikan supaya dapat dirasakan bersama. Menyajikan makan bersama awalnya mungkin dirasa kemrungsung, nanti lama-lama akan terasa menyenangkan bahkan dirindukan. Sampai tak jarang anak KB bertanya pada orang tuanya, ‘kapan ya giliranku menyediakan snack.”
Sri Wahyaningsih melanjutkan lagi, “Setelah SD, saat sebelum pandemi, sekolah memikirkan bagaimana menyediakan makan sehat dengan dana terbatas. Waktu itu makan dan snack sebesar 7rb. Namun, pandemi membuat makan dilarang dan mengubah banyak ritme.”
Ia menceritakan apa saja yang berubah semenjak pandemi. “Ada banyak pergeseran setelah pandemi, dan makin bergeser. Dulu itu orang ke SALAM bawa plastik itu ada rikuh-rikuhnya. Sekarang makin biasa melihat orang ke SALAM menenteng plastik, bahkan fasinya juga.” tambahnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga memberikan pandangan terkait tantangan yang semakin nyata. “Tantangan kita juga semakin banyak, karena dulu kan nggak ada orang jualan di sini. Kini banyak hal berubah, meski itu artinya juga usaha-usaha perekonomian buat lingkungan sekitar. Sayangnya, pemahaman kita juga belum menyatu. Orientasi kita lebih ke praktis, bukan memelihara bumi.”
Moderator menanggapi Sri Wahyaningsih perihal tantangan yang ada. “Salam kini dikepung oleh warung-warung. Tantangannya sekarang lebih sulit. Gagal ginjal di anak kini lebih banyak. Cerita dari anak sekolah lain, di kantin adanya teh kemasan botolan, karena harganya lebih murah.”
Toto Raharjo mendapat giliran selanjutnya. Ia berkata bahwa, “Untuk berdaulat itu kita butuh teman. Karena, mereka yang membuat kita tidak berdaulat itu juga banyak temannya. Daulat selera adalah hal yang paling menukik, karena semua dasarnya ada di panca indera kita. Panca indera kita dijadikan komoditi.”
“Prioritas jualan adalah kepraktisan, makanya namanya makanan cepat saji. Daulat rasa ini implikasinya akan ke politik dan budaya. Idealnya kita bisa mengatur sendiri tapi kan ternyata nggak bisa.“ lanjutnya.
Toto Raharjo pun bicara bagaimana kedaulatan selera bisa diterapkan secara komunal. “Komunitas harus bisa menghidupi komunitas itu sendiri. Urusan pangan jadi penting karena kita harus memastikan, komunitas kita bisa menyediakan pangan sendiri. Nah, pertanyaannya kita mau apa tidak, beralih ke hidup yang tidak praktis dan tidak instan?”
Pada akhir paparannya, Toto Raharjo memaparkan fakta yang mengusik terkait kenyataan bahwa panca indera kita sudah terjajah akibat dijadikan komoditi. “Kalau masak bareng, saya kira itu soal teknis. Namun soal selera, kita sudah terjajah dari mata telinga hidung akibat konsumerisme.”
Kemudian Gernata Titi melontarkan hal yang menggelitik. “Teman saya bertanya sebelum acara ini, Apakah suka drakor artinya juga kedaulatan visual kita sudah terjajah secara visual?” Tentu saja pertanyaan ini tak perlu dibahas dalam-dalam agar tak melebar. Gernata Titi pun melempar punch line yang apik sebagai penutup sesi, “Untuk soal selera musik, bolehlah kita suka k-pop, soal pakaian bolehlah kita suka crop top, tapi soal pangan marilah kembali berdaulat.”
Sesi paparan dari narasumber ditutup dengan jeda untuk menikmati potluck. Beberapa hadirin berpindah ke meja potluck dan mengambil kudapan dan minuman untuk dinikmati. Aroma teh sere, lemon tea, teh jahe, dan wedang rempah menguar lewat gelas-gelas yang dibawa hadirin. Anak-anak kecil tampak bercanda dengan teman sebaya dan teman orangtuanya. Sebagian bermain ponsel sambil bersandar pada orangtuanya.
Sesi Tanya Jawab dan Isu Seputar Pangan di Salam
Sesi tanya jawab dimulai setelah istirahat. Beberapa orang tua turut aktif menyuarakan kegelisahan mereka. Isu seputar pangan baik itu snack, bekal, hingga jajan menyeruak di sesi kedua. Seorang ortu KB kembali menyuarakan tentang kandungan gula dalam snack yang sering muncul di KB. Sementara ada juga ortu yang mengeluhkan tentang tantangan baru terkait munculnya kebiasaan jajan di warung-warung dekat Salam.
Toto Raharjo memberi tanggapan, “Jangan-jangan kita perlu bikin kesepakatan maksimal uang saku yang boleh dibawa anak setiap harinya.”
Gernata Titi turut memberikan pendapatnya, “Karena ada juga anak yang suka mentraktir anak lain. Atau mungkin bisa juga, ada hari boleh jajan, jajannya di mana, apa yang dibeli. Harus detail mungkin memang, ya.”
Syera, ortu kelas 2 dan TA turut berbagai pengalamannya. “Di kelas 2 sudah mulai menyiapkan sayur untuk anak-anak. Dua minggu lalu, fasi bilang pada Hara. Sekarang Hara snacknya real food terus ya. Dari perkataan real food itu, Hara jadi bertanya, dan membuka diskusi juga di rumah. Hara juga pernah kepengin snack seperti teman-teman lainnya.”
Sambil memangku anak balitanya, Syera melanjutkan, “Yang saya harapkan, tidak hanya menu makan siang yang jadi concern (untuk kelas SD), tapi juga tentang snack. Sedangkan sebagai ortu, saya banyak sungkan karena yang bertanggungjawab untuk penyiapan snack kan ortu. Di SD ini saya perhatikan lebih kompleks dibanding TA.”
“Untuk snack, ada juga yang menyajikan jajanan yang penting tidak berkemasan, ga berplastik, dibuka plastiknya lalu jajannya dimasukkan ke wadah. Kandungan snack tidak diperhatikan. Itu kadang saya juga masih melakukannya.” tambahnya.
Tak hanya soal snack dan makanan sehat, Syera juga memberikan pandangannya terkait riset hingga kue ulang tahun. “Untuk riset anak tentang makanan minuman, saya mengamati prosesnya masih ke teknis tapi belum banyak concern-nya ke kandungan. Sempet ada juga celetukan: Hara paling sehat sendiri. Lalu untuk kue ulang tahun, tart atau fondan, itu kan gulanya sangat tinggi. Harapan saya, kita membuat trend kue ulang tahun yang sehat.”
Sri Wahyaningsih memberikan tanggapan. “Itu hidden agendanya sebenarnya seperti itu, bagaimana memantik anak untuk berbagi dengan teman lain di masa anak fokus ke dirinya sendiri. Soal kue yang sehat, kita pernah mengampanyekan anti terigu, pernah beberapa tahun bebas terigu. Tetapi, kita terjebak pada yang praktis dan cepat. Dulu ada yg risetnya bikin kue non gluten. Ini perlu kita kembalikan lagi, lewat Pasar Senin Legi misalnya. Temanya polo kependem. Mungkin perlu kita wacanakan lagi. Juga bisa pada Pasar Ekspresi.”
Sekali lagi Sri Wahyaningsih menceritakan perbedaan sebelum dan sesudah pandemi. “Titik balik itu sejak pandemi, nilai-nilai di SALAM jadi semakin luntur. Sekali pun memulai kembali itu berat, sekali waktu bisa kita coba lagi. Karena di sini pakar-pakar masaknya, kan banyak. Lalu soal makanan kemasan yang dimasukkan ke dalam wadah, hanya dibuka bungkusnya. Itu kan sama saja kita sedang membohongi diri sendiri.”
Aktivasi Forum Kedaulatan Pangan
Kemudian Toto Raharjo memberikan pemantik untuk melandasi aktivasi ruang diskusi dan gerakan daulat selera di Salam. “Setiap kelas putar lagi film yang jadi pijakan. Judulnya ‘Dilarang Makan Kerupuk’. Penting juga kita membahasakan istilah² kita sendiri. Junk food misalnya, ya sebut saja makanan sampah. Lalu, tradisi ultah, ya, bikin makanan dewe. Biasanya kan pake kemasan² semua. Problemnya kan tidak ada penegak hukumnya. Sedangkan yang menguasai isu takut speak up.”
Moderator memberi kesempatan lagi untuk hadirin bertanya. Selanjutnya, Among, orang tua dari Ayya kelas 5 SD, memaparkan kegelisahan dan usulannya siang itu.
“Kami punya ide tentang anak kami, kenapa kami pindahkan Ayya di sekolah ini. Bagi kami, ini sebagai bagian dari gerakan kita.
Untuk soal pangan, pemerintah di satu sisi mendorong kita utk makan prohe. Sementara itu di desa, jagung hibrida digunakan untuk pakan ternak. Bahkan protein nabati yang disebut berkelanjutan itu pun sudah tidak berdaulat.
Di Gunungkidul, polong-polong itu digunakan untuk rumah tangga. Kita yang dekat seakan tidak tahu, bahwa potensi polong²an di sekitar kita sangat besar.
Saya usul agar kita perlu membuka lebih banyak forum untuk mengisi informasi yang sama dan seimbang. Karena resistensi antibiotik dari prohe itu ada. Harapannya dari forum seperti itu, muncul kesepakatan dengan landasan pengetahuan lewat berbagai sumber yang dipunya Salam.”
Moderator menimpali, “Forumnya sudah banyak, tapi yang datang ini yang masih segini-segini aja. Nah, kalau ada forum lagi, datang ya teman-teman.”
Toto Raharjo turut memberikan tanggapan,”China itu kan jelas terpusat. Kita ini pilihannya bukan menjadikan sekolah jadi penguasa untuk peraturan. Setiap gagasan yang berkelindan disampaikan, sehingga setiap orang punya kesempatan untuk mempengaruhi orang lain. Pengorganisasian pikiran dilakukan hingga tercapai kesepakatan.”
Toto Raharjo juga mengemukakan harapannya, “Selama ini yang dilakukan SALAM kan mempublikasikan proses belajar yang ada. Sekarang sudah saatnya memotret tentang komunitas SALAM ini. Sehingga orang datang ke sini tidak hanya yang dipelajari tentang anak SALAM belajar kayak apa. Saya ingin mulai ada yang menampilkan SALAM ini gaya hidupnya seperti apa.”
Gernata Titi menimpali, “Mungkin bisa lahir sebuah buku tentang anak dan orang tua yang memotret sosial budayanya Salam. Dinamika tentang gaya hidup di SALAM.”
Aktivasi Pasar Simbok dan Ruang-Ruang Diskusi
Karena tak ada lagi hadirin yang ingin menyuarakan pendapatnya. Diskusi siang itu pun ditutup dengan informasi dari moderator. “Tanggal 7 September 2024 nanti, akan dirilis Pasar Simbok. Bebarengan dengan Pasar Pangan. Jadi ini pasar after school yang diinisiasi ibu-ibu Salam. Dulu, konsepnya setiap Kamis Ortu Salam bisa berjualan makanan minuman sehat atau produk kesehatan. Nah, Pasar Pangan 2024 ini, nantinya akan melibatkan anak dan ortu dari tiap kelas.”
Meski acara sudah selesai, hadirin tak lantas beranjak. Sebagian masih duduk dan mendiskusikan dinamika terkait pangan sehat di kelas masing-masing. Perihal makanan pabrikan untuk bekal, plastik kemasan, snack yang terbungkus plastik, jajan dan konsumerisme, hingga kesepakatan menu menjadi isu-isu yang masih underground dan belum sempat diangkat ke forum. Ah, semoga lain kali lebih banyak yang hadir di forum-forum kita, ya. Bolehlah kita meminjam tagline komunitas sebelah, “Hidup hidupilah Salam.” untuk sebuah sekolah biasa yang isinya sungguh tidak biasa.[]
Orang Tua SALAM
Leave a Reply