Asa memasuki proses risetnya dengan sebuah keinginan yang telah lama ia simpan—keinginan kecil yang lahir dari momen masa lalu, ketika ia masih duduk di TA dan menyaksikan kakaknya memimpin kelas kreasi di bawah bimbingan narasumber Asih. Saat itu, gelang manik-manik bukan sekadar benda mungil berwarna, melainkan simbol dari sesuatu yang ingin ia tiru: kemampuan mencipta, merangkai, dan memimpin. Namun ia hanya menjadi penonton; belum ada panggung baginya.

Memasuki kelas 1, Asa akhirnya menemukan “moment”-nya sendiri. Ketika sekolah memberi kesempatan untuk memilih topik riset, ia tidak ragu. Gelang manik-manik kembali muncul, bukan sebagai nostalgia, tetapi sebagai keinginan yang matang—sebuah proyek yang kini ingin ia jalani sendiri.
Ruang belajarnya terbentuk dari dua figur perempuan yang dekat dengannya. Bu Debby hadir sebagai pendamping yang menyediakan ruang aman untuk bereksperimen dan bertanya. Sementara narasumber utama, Bu Shita—mamanya sendiri—membentuk jembatan antara rumah dan sekolah. Dalam proses belajar itu, batas antara aktivitas keluarga dan penelitian kelas seakan mengabur: obrolan kecil tentang warna, pemilihan pola, hingga teknik merangkai menjadi pengetahuan yang mengalir secara natural dalam keseharian mereka.
Di tangan Asa, riset gelang manik-manik tidak hanya menjadi proyek kerajinan. Ia berubah menjadi perjalanan kecil tentang menunggu momen, mengingat inspirasi lama, dan akhirnya berlatih mencipta dari sesuatu yang dulu hanya ia lihat dari kejauhan. Dengan demikian, gelang-gelang itu bukan hanya rangkaian manik, tetapi juga rangkaian memori, keinginan, dan keberanian Asa untuk mengambil giliran.
Memulai risetnya, Asa masuk ke dunia manik-manik dengan caranya yang khas: memilih perlahan, menyentuh satu per satu, dan memastikan ia memiliki bahan yang tepat sebelum berani memulai. Sebagian manik-manik ia warisi dari kakaknya—jejak riset keluarga yang masih tersisa di kotak kecil plastik. Namun sebagian lain ia pilih sendiri, dengan ketegasan preferensi yang membuat orang dewasa pun tersenyum. Manik-manik berbentuk dadu hitam dan emoji menjadi syarat mutlaknya; tanpa keduanya, Asa belum mau memulai proses merangkai. Bagi Asa, riset bukan sekadar kegiatan, tetapi juga perkara rasa dan kecocokan.
Peralatan yang ia butuhkan sebenarnya sederhana, hampir semuanya sudah tersedia di rumah. Namun kesederhanaan itu tidak membuat prosesnya mudah. Beberapa kali Asa mengalami momen yang membuat napasnya tercekat: ketika rangkaian manik sudah tersusun di tali senar, tetapi tiba-tiba genggamannya lepas. Manik-manik itu pun memantul dan berhamburan di lantai—momen kecil yang bagi peneliti cilik bisa terasa seperti kegagalan besar. Tetapi Asa tidak menyerah. Berjongkok, mengumpulkan kembali yang berserakan, lalu mulai merangkai ulang. Dalam tindakan sederhana itu ia seperti menunjukkan keteguhan yang jarang disebut tetapi nyata: keteguhan belajar dari ulang.
Kesulitan terbesar Asa bukan pada memilih warna atau menyusun pola, melainkan mengikat tali senar. Tangan kecilnya belum cukup kuat untuk membuat simpul yang rapi dan kokoh. Di titik ini peran Bu Shita—mamanya, sekaligus narasumber—menjadi sangat tampak. Ikatan simpul itu bukan hanya soal teknik, tetapi juga simbol ikatan pengetahuan yang diturunkan perlahan melalui gestur sehari-hari.
Pada hari gelar karya, Asa tidak hanya membawa gelang-gelangnya, tetapi juga keberanian yang tumbuh seiring proses risetnya. Saat wawancara, ia maju sendiri menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Kalimatnya kadang tersendat, namun rasa percaya dirinya tampak utuh. Ia menyiapkan sebelas gelang, bukan untuk dijual, tetapi untuk dibagikan. Ada logika sosial kecil dalam caranya memilih warna: gelang berwarna gelap ia buat lebih banyak untuk teman-teman laki-laki, sementara gelang bernuansa pink dan ungu ia siapkan untuk teman-teman perempuan.
Dalam riset ini, gelang yang dihasilkan bukan hanya benda kerajinan, tetapi jejak proses belajar Asa. Di setiap simpul, setiap manik yang kembali dipungut dari lantai, dan setiap jawaban yang ia sampaikan dengan suara kecil namun mantap, tampak seorang anak yang sedang merangkai bukan hanya warna, tetapi juga dirinya sendiri.
Bagi Asa, proses membuat gelang manik-manik berkembang menjadi ruang belajar yang lebih luas daripada yang ia bayangkan. Setiap rangkaian manik bukan hanya kerja tangan, tetapi juga latihan berhitung. Ia menghitung jumlah manik yang dibutuhkan agar pola tetap seimbang, sekaligus memastikan panjang gelang cukup untuk melingkar di pergelangan tangan teman-temannya. Hitungan sederhana itu berubah menjadi pengalaman matematis yang hadir secara natural.
Dari proses merangkai yang memakan waktu dan membutuhkan kesabaran, Asa juga mulai memahami bahwa membuat sesuatu—dalam hal ini sebuah karya—menghadirkan rasa lelah. Ada capek yang muncul dari konsentrasi, dari mengulang langkah yang gagal, dari memungut manik-manik yang terjatuh. Tetapi rasa capek itu tidak menyurutkan minatnya; justru menjadi bagian dari perjalanan mengenali diri sebagai seseorang yang mampu menyelesaikan apa yang ia mulai.
Paling menarik adalah bagaimana Asa memahami makna berbagi. Dari sebelas gelang yang ia buat, tidak ada satu pun yang ia niatkan untuk dijual. Baginya, karya lebih bermakna ketika bisa berpindah tangan. Ketika teman, fasi, atau siapa pun yang berminat memakainya, Asa merasa cukup. Dalam logika anak kecil yang jujur, nilai sebuah benda bukan diukur dari harga, tetapi dari berbagi kesenangan.
Dalam sesi tanya jawab di gelar karya, Asa menunjukkan keberanian yang tumbuh perlahan. Kadang wajahnya masih menyimpan rasa malu, tetapi ia mencoba menjawab setiap pertanyaan secara mandiri. Ketika ditanya apakah gelang-gelang itu akan dijual, jawabannya tegas: tidak. “Untuk dibagi-bagikan saja.” Jawaban sederhana itu menyingkap posisi Asa sebagai pembuat kecil yang tidak ingin menukar kreativitasnya dengan transaksi.
Refleksi Fasilitator
Dari sudut pandang fasilitator, Asa tampak masih pemalu. Ketika menghadapi pertanyaan yang menurutnya asing atau sulit, ia lebih memilih menjawab “tidak tahu” daripada menebak-nebak. Namun di balik sikap itu ada kecenderungan kemandirian yang kuat. Saat sesi tanya jawab berlangsung, ia tidak sekalipun menoleh kepada orang tuanya untuk meminta bantuan. Ia berdiri sebagai dirinya sendiri, dengan jawaban yang mungkin pendek, mungkin ragu-ragu, tetapi tetap miliknya sendiri.
Dalam keseluruhan proses ini, penelitian kecil tentang gelang manik-manik berubah menjadi catatan tentang seorang anak yang belajar menghitung, belajar merangkai, belajar kecewa, belajar berbagi, dan akhirnya belajar mengutarakan diri—meski dengan suara yang masih pelan. Asa merangkai gelang, tetapi sebenarnya ia sedang merangkai kepercayaan dirinya lapis demi lapis.[]
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply