Blog

SALAM Menyadari  resiko daripada pendidikan yang dipilihnya. 

Kemarin (tanggal 20 Juni 2023) dari pagi hingga menjelang sore saya menyaksikan kegiatan MILAD Sanggar Anak Alam (SALAM) ke 23 th, bagi saya sanggar itu lebih sebagai monumen hidup untuk menyuarakan bagaimana seharusnya negara ini memandang apa dan bagaimana seharusnya ekosistem dan proses Pendidikan itu dibangun.

Orang Tua, Anak, Fasilitator SALAM membaur. Foto: Bramasta

Sehari sebelumnya mas Toto Rahardjo WA  : “Besok mulai jam 9 ulang tahun SALAM, sedangkan bu Wahya di WA nya ada tambahan ada dhahar kembulnya lo pak. Seperti biasanya saya lebih banyak mojok dengan mas Toto ngobrol banyak hal terutama lagi-lagi ngrasani problema mendasar dunia pendidikan kita saat ini yang tak jua kunjung disadari oleh negara. Konon ide merdeka belajar salah satunya muncul saat mas mentri mendapat pencerahan tentang bagaimana filsafat pendidikan itu seharusnya yang berbeda dengan pandangan mainstream yang telah berlangsung—lahirlah konsep merdeka belajar. Meskipun kita tahu persis perbaikan (lebih tepatnya reform karena menyangkut tranformasi yang lbh bersifat struktural) itu tidak dapat semudah itu dipecahkan lewat ganti mentri (beserta paket ganti aturan yang biasanya menyertainya nya) .

Hal selain model pendidikan kontekstual (belajar tentang hal-hal yg relevan dengan kehidupan seseorang sehingga diharapkan yang bersangkutan mampu survive kelak di dalam lingkungan nya), self-driven learning serta belajar melalui mengalami (terlibat) langsung serta belajar ke mana dan ke siapa saja sebagaimana inspirasi model pendidikan yg lebih dari dua dasawarsa telah dipraktekkan di SALAM dan saat ini coba diadaptasi dalam konsep merdeka belajar ada satu hal lagi yang menurut saya masih tercecer (belum sempat terpikirkan).  Hikmah pengalaman anak anak selama belajar di SALAM ini menurut saya sangat relevan untuk dijadikan bahan renungan sehingga proses belajar beserta ekososistem nya memberikan kenangan yg sangat istimewa yang akan membentuk jatidiri menjadi manusia manusia dewasa kelak sebagai warga negara NKRI.

Setiap saya main ke sana bu Wahya selalu pamer banyak buku yang telah dihasilkan selama perjalanan mengawal SALAM, namun saya tiba-tiba ingin beli trilogi buku yg berisi tentang pengalaman tiap anak selama belajar. Wah kayak karya psikoanalisa yg sangat otentik ini pikirku

Buku Karya Kelas IV dan Buku kolaborasi Taman Anak dan ORTU

Tulisan ‘Anak anak romantis’ oleh salah satu fasilitator (mereka tidak menyebut sebagai guru) ini bagi saya sepertinya mampu menggambarkan salah satu sisi bagaimana bentuk masyarakat kita kelak.

Tentu saja sekelumit ini begitu kecilnya di tengah mainstream yang justru kontras sebagaimana yang digambarkan oleh sejarawan Peter Turchin dalam renungan saya kemarin bahwa chaos dalam society itu fenomena dalam peradaban manusia yang selalu terulang akibat over-supply kaum elite di dalam masyarakat sehingga mengakibatkan diantara merek saling berebut kuasa.

Lantas siapakah sesungguhnya institusi yg bertanggung jawab terjadinya over production kaum elite ini: Peter tidak ragu ragu menyebutkan bahwa itu adalah produk daripada kampus-kampus besar dunia (tidak segan-segan Peter menyebutkan reputasi kampus seperti Oxford, Harvard dan sejenisnya yang telah menjadi almamater banyak figur oligarki global). Juga tiap negara kita mengenal persis kampus-kampus mana saja gerangan yang menjadi sumber para politisi handal atau para oligarki.

SALAM nampaknya sejak awal telah menyadari  resiko daripada pendidikan yang dipilihnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *