Blog

Besok Mau Sekolah Dimana?

Pertanyaan itu sedang gencar beredar diantara ibu-ibu yang mengantar anak di sekolah anak saya. Terutama bagi orangtua yang anaknya menginjak usia 4-5 tahun di 2016 ini. Beberapa bulan yang lalu mungkin saya akan sedikit galau mendengar pertanyaan serupa itu. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Saya sudah menemukan chemistry dengan Sanggar Anak Alam (Salam) tempat anak saya ber”sekolah” saat ini.

“Sekolah”? Kok diberi tanda kutip?

Inilah yang ingin saya ceritakan. Karena sejak bertemu, bergaul dan bergeliat di Salam, saya menemukan sendiri, sebuah perspektif baru tentang sekolah. Saat saya SD hingga SMA dulu, sekolah itu adalah pertama, tentang seragam. Hari senin-selasa seragam merah putih, hari rabu-kamis seragam batik, hari jumat pakai pramuka. Lalu sabtu putih biru. Jika sampai suatu saat di hari Jumat, seragam pramuka saya berhalangan (kena tumpahan makanan misalnya) maka jika ingin tetap bersekolah, maka saya harus punya seragam pramuka cadangan atau memakai seragam lain dengan ujung dibully teman. Di Salam tidak ada seragam. Semua anak bebas memakai baju apapun dengan alas kaki apapun. Tanpa alas kaki pun tak apa.

20160518-mau-sekolah-dimana-01
Gerna dan Jalu.

Lalu setelah seragam, adalah jadwal pelajaran. Dulu, setiap malam sebelum tidur, saya sudah mengisi penuh tas saya dengan buku sesuai jadwal pelajaran untuk keesokan harinya. Di keluarga kami, istilahnya “noto buku”. Pertanyaan harian ibu saya setelah makan malam adalah “wis noto buku cah?”. Di Salam tidak ada “noto buku”. Jadwal pelajaran di Salam adalah:petualangan, home visit, berenang, pencak silat dan after school. Saya tidak pernah melihat anak SD dan SMP di Salam membawa tas terisi penuh oleh buku.

Saat SMU, saya cukup khawatir dengan seringnya saya dipanggil guru BP. Saya tidak begitu khawatir jika itu berkaitan dengan surat peringatan orangtua. Saya tahu pasti Bapak saya akan mendukung segala bentuk aksi “colud” a.k.a bolos karena beliau di masa mudanya juga piawai “colud”. Saya hanya khawatir jika panggilan itu terakumulasi dan berujung di vonis “nunggak” (tinggal kelas).Di Salam tidak ada guru BP. Tidak ada papan absensi. Tidak perlu surat ijin dokter jika sakit.

Lalu sekolah macam apa ini??

Itulah yang saya cari tahu. Sekolah macam apa yang setiap muridnya begitu bahagia, bahkan enggan sekali diajak bolos barang sehari dua hari karena sakit? Sekolah macam apa yang muridnya bebas melakukan apa saja di saat jam belajar mengajar sedang berlangsung?

Banyak orang yang saya temui dan tahu (sedikit) tentang Salam, mereka akan menjelaskan pada saya bahwa di Salam terlalu banyak pembiaran. Anak-anak dibiarkan saja melakukan apapun yang ingin mereka lakukan tanpa ada disiplin. Anak-anak dibiarkan liar.

Mungkin penjelasan itu akan bisa saya maklumi untuk sementara waktu.

Kemudian saya melihat anak SD yang berpapasan di parit dengan anak playgroup dan mereka memilih untuk melompat parit dan memberi jalan pada yang lebih kecil. Saya melihat lagi seorang anak kelas 1 membawa snack kelas dan tanpa sengaja anak itu jatuh dan semua snack tumpah ke tanah lalu semua teman sekelasnya beramai-ramai menolong, bukan mengejek. pernah pula sandal Jalu, anak saya, tercebur ke parit, lalu seorang anak TK tanpa banyak bicara melompat ke dalam parit mengambil sandal Jalu lalu meletakkannya persis di depan kaki Jalu. Saya bahkan tidak tahu nama anak itu. Bagaimana bisa begitu banyak karakter baik terbangun di sekolah tak ber BP?

Yang paling menarik adalah saya menyaksikan anak usia SD begitu antusias berlatih jimbe, begitu percaya diri berpantomim, begitu ceria membawakan sebuah acara, begitu bersemangat berdagang di pasar sekolah, begitu giat berlatih tari, begitu berbakat membidik foto, tanpa diwajibkan oleh sekolah, tanpa disuruh oleh orang tua, tanpa iming-iming nilai ekstra dan diatas itu semua, mereka semua begitu gembira, begitu bahagia. Jelas ini bukan hasil pembiaran. (saya sendiri tidak bisa mengingat kapan saat bahagia saya selama di sekolah dulu. Mungkin setelah bel pulang berbunyi).

Semua antusiasme dan semangat itu memiliki sebuah sumber. Menurut saya, sumber itu bernama: rasa ingin tahu. Ketika seorang bocah begitu ingin tahu tentang bagaimana cara bermain jimbe, maka dia akan berlatih dengan penuh antusias. Ketika seorang anak ingin tahu bagaimana cara menari, maka dia akan belajar bergerak dengan irama, dan sebagainya. Lalu bagaimana manusia semuda itu bisa memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar? Bagaimana melatih mereka untuk selalu ingin tahu? Orang yang (sedikit) tahu tentang Salam menyebutnya pembiaran. Saya menyebutnya: pembebasan. Baiklah, saya akan sedikit berkompromi. Mungkin memang itu adalah “pembiaran bahagia”. Anak-anak dibiarkan untuk bahagia.

20160518-mau-sekolah-dimana-02
Anak-anak dan “kalen”.

Lalu saya mendapat sebuah penemuan (meskipun banyak meme yang sudah memberitahu saya sebelumnya): ketika sebuah jiwa bebas dan bahagia, maka dia bisa menjadi apa saja…

Saya sendiri sebagai orang tua, menemukan diri saya sendiri begitu antusias. Di sekolah berbasis komunitas ini saya bertemu dengan beragam karakter yang berbaur bagai simphoni. Segala hal yang tak mungkin menjadi luar biasa mungkin.

Menurut saya, SALAM bukanlah “sekolah brosur”. Sekolah yang bisa dijelaskan dalam beberapa lembar profil sekolah, yang pendidiknya memiliki daftar panjang CV, yang kurikulumnya berbasis nasional, yang piala prestasi muridnya tidak muat disusun dalam sederet almari kaca, yang memastikan muridnya fasih beragam bahasa.

Salam adalah sekolah biasa saja. Tidak berpagar, tidak memiliki ruang BP, tidak mempunyai bufet kaca berisi piala. Tapi untuk mengerti tentang SALAM, selembar brosur tak akan cukup. Jika ingin berhitung, mungkin satu buku dan tiga ratus hari baru saya mengerti.

Maka jika ada lagi yang bertanya: mau TK dimana? Atau bahkan merasa kehabisan topik dan meneruskan bertanya: trus SD nya dimana? Saya sudah tidak perlu galau merumuskan jawabannya.

Salam, biasa saja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *