Setiap Rabu sore, setelah riuh rendah pelajaran usai, anak-anak SALAM berjalan beriringan menuju Joglo Elang. Seolah ada garis tak kasatmata yang menarik langkah mereka ke rumah kayu bernafas tua itu. Joglo Elang, dengan pilar-pilar jati yang menyimpan bisik angin masa lalu, telah menjadi ruang sakral bagi kelas minat memasak. Ada semacam keajaiban yang tidak pernah benar-benar terucap: meskipun anak-anak Mimi dan Ako tak lagi bersekolah di Salam—yang satu kini menyelami dunia kuliah, yang lain sudah menjejak bangku SMA umum—pintu Joglo Elang tetap terbuka. Seperti seorang ibu yang selalu menyiapkan tempat pulang, meski anak-anaknya telah pergi jauh.
Di dalam joglo itu, sejarah dan masa kini bertaut. Aroma bawang putih yang digerus di cobek batu seakan menyambung pada mitos-mitos kuno tentang api pertama yang ditemukan manusia. Dapur menjadi panggung di mana tangan-tangan kecil belajar menjinakkan unsur paling purba: api, air, tanah, dan angin yang berdesir lewat jendela.
Joglo Elang sendiri serupa tokoh dalam kisah, tidak sekadar ruang. Ia menyimpan ingatan tentang malam-malam ketika gamelan pernah ditabuh, atau pagi-pagi ketika percakapan rahasia orang dewasa menetes seperti embun di daun jati. Kini, ia kembali dipenuhi tawa anak-anak yang menimbang garam, menebak rasa, atau sekadar berebut giliran mengaduk wajan.
Di sinilah, kelas memasak bukan sekadar pelajaran keterampilan. Ia adalah ritual—pertemuan antara mitologi api yang abadi dengan pengalaman personal tentang kebersamaan, tentang bagaimana sebuah rumah yang “ditinggalkan” tetap menjadi tempat tumbuh bagi mereka yang datang kemudian.
Rabu, 3 September 2025. Angin sore di Joglo Elang seolah membawa kabar dari jauh, dari sebuah pulau yang kadang hanya hadir dalam peta sekolah dasar atau ingatan perjalanan para leluhur pelaut: Timor. Anak-anak Salam, yang biasanya menyiapkan bawang, cabai, dan sayur-sayuran dengan riang, sore itu menyambut empat tamu istimewa.
Mereka datang dari desa Oebo dan Kie Kabupaten Timor Tengah Selatan. Debora, Esy, dan Jian—tiga fasilitator rumah belajar yang menyalakan api kecil pengetahuan di tanah kering berbatu, bersama Maria Stephanie, seorang pendamping program. Mereka adalah bagian dari Yayasan Mentari Menerangi Indonesia, sebuah nama yang seolah memang dilahirkan dari doa: cahaya yang tidak hanya jatuh, tapi juga menghangatkan.
Beberapa tahun terakhir, cahaya itu menyusup ke desa Oebo dan Kie menumbuhkan ruang belajar yang sederhana, namun penuh daya hidup. Dan entah bagaimana, garis halus takdir mempertemukan mereka dengan Sanggar Anak Alam. Hubungan itu seperti benang tenun Timor: warna-warnanya berbeda, tetapi bila dijalin dengan sabar, akan menjadi kain yang kuat dan indah.
Di bawah atap Joglo Elang, percakapan berlangsung seperti sebuah jamuan: anak-anak Salam membuka pintu, sementara para tamu membawa cerita jauh. Mereka bukan sekadar membawa kisah perjalanan lintas laut dan darat, tetapi juga membawa aroma tanah kering, nyanyian angin padang, serta matahari Timor yang keras namun penuh kehidupan.
Di ruang itu, sejarah kecil terjadi. Sebuah pertemuan antara dapur yang penuh dengan bahan masakan Jawa dengan tamu dari Timor. Antara cobek batu dan anyaman lontar. Antara anak-anak yang belajar menakar garam, dengan para fasilitator yang tiap hari menakar harapan di desa mereka.
Joglo Elang kembali menjadi saksi bahwa rumah bukan sekadar dinding kayu atau genteng tua. Rumah bisa menjelma ruang lintas waktu, lintas pulau, lintas takdir. Di sinilah, di meja kayu yang sederhana, anak-anak belajar bahwa memasak dan belajar sejatinya sama: meracik kehidupan dengan kesabaran, keberanian, dan sedikit rasa ingin tahu.
Kami di Salam memandang kehadiran Yayasan Mentari Menerangi Indonesia bukan sekadar kerja sama, melainkan sebuah persenyawaan niat. Ada sesuatu yang tulus dalam upaya mereka: memberdayakan masyarakat setempat agar cahaya pendidikan tidak sekadar datang dari luar, tetapi tumbuh dari tanah mereka sendiri.
Program magang di Salam kini memasuki angkatan kedua. Sebelumnya, para pendamping program sudah pernah ikut dalam workshop merancang sekolah merdeka—sebuah forum di mana cita-cita tentang ruang belajar yang bebas dan kontekstual digariskan seperti peta masa depan. Mereka yang magang di angkatan pertama kini telah kembali ke kampung masing-masing, menyalakan api kecil yang perlahan membesar. Sedangkan Debora, Jian, dan Esy adalah wajah baru—bukti bahwa lingkaran cahaya itu semakin luas, menjangkau wilayah dan layanan yang lebih banyak.
Tahun ini mereka bahkan membuka PAUD, dengan jam belajar yang berbeda dari anak-anak SD. Pagi hari diisi anak-anak usia dini, sementara sore hari adalah giliran teman-teman yang sudah pulang dari sekolah formal. Seolah hari-hari di desa Oebo dan Kie kini memiliki denyut baru: pagi dengan tawa balita, sore dengan rasa ingin tahu anak-anak SD yang pulang dengan seragam penuh debu jalanan.
Magang mereka di Salam berlangsung dari 1 hingga 5 September 2025. Pagi mereka duduk di kelas, mengamati bagaimana proses belajar dibangun. Siang, mereka berdiskusi—membentangkan catatan, menimbang, bertanya, mencari solusi atas tantangan di tanah mereka sendiri. Ada kesungguhan yang tajam: bagaimana agar pembelajaran tidak jatuh sebagai beban, tetapi menjadi cermin kehidupan yang kontekstual.
Pengalaman kakak-kakak mereka yang magang lebih dulu menjadi rujukan. Awalnya, mereka mencoba mengajar dengan buku teks—dan mendapati jalan buntu. Anak-anak tidak tertarik, huruf-huruf terasa asing. Namun ketika mereka mengganti cara: riset berbasis kehidupan sehari-hari, dunia pun terbuka. Anak-anak tiba-tiba bisa membaca nama-nama tanaman di kebun mereka, bisa menulis cerita tentang jagung, ubi, atau daun yang mereka kenal sejak kecil.
Dari riset sederhana itu, lahirlah sebuah buku: Em He Taha—“mari kita makan.” Buku itu bukan sekadar kumpulan catatan, tetapi juga tafsir tentang tanah, tubuh, dan kehidupan yang mereka hidupi. Kini, mereka bahkan sudah menerbitkan buku kedua: Em He Taha Ten—“mari kita makan lagi.” Judul yang terdengar seperti undangan abadi, sebuah jamuan pengetahuan yang terus bertambah.
Di titik ini, terasa jelas bahwa proses belajar bukanlah sekadar transfer ilmu, tetapi perayaan kehidupan. Bahwa membaca dan menulis bisa lahir dari mengenali pohon di pekarangan, daun di ladang, atau buah yang jatuh dari pohon. Dan bahwa pendidikan yang sejati adalah yang membuat anak-anak kembali menjejak tanah mereka sendiri dengan mata yang lebih terang.
Hari itu, kelas minat masak di Joglo Elang berubah menjadi semacam panggung lintas pulau. Di meja panjang yang biasanya penuh dengan sayur dan bumbu Jawa, kini tersaji bahan-bahan yang didatangkan dari cerita jauh: jagung kering, daun kelor yang hijau pekat, kacang tolo, labu kuning.
Debora, Jian, dan Esy membuka halaman buku Em He Taha Ten—buku yang lahir dari tanah Oebo—dan mengajak anak-anak Salam untuk menapaki resep yang tak sekadar ditulis, tetapi juga ditanam, dipanen, dan diwariskan. Jagung Katemak adalah hidangan pertama: jagung yang direbus bersama daun kelor, kacang tolo, dan labu kuning. Aromanya sederhana, tetapi menyimpan rasa kenyang yang dalam—sebuah makanan yang lahir dari keakraban dengan tanah.
Kemudian hadir sambal-sambal yang asing bagi lidah Yogya, tetapi segera disambut penasaran: sambal kecipir yang renyah, sambal daun jinten atau Olbai yang harum, dengan sengatan cabai rawit kecil—capai pari—yang pedasnya seperti bara api kecil. Tak ketinggalan tempe dari kacang tunggak, bukan kedelai: seakan-akan tubuh tempe itu sendiri sedang bercerita bahwa fermentasi bisa terjadi di mana saja, dengan bahan apa saja yang ditumbuhkan bumi.
Anak-anak terbelalak ketika mendengar kisah tentang jagung di NTT. Ada jagung yang keras, bukan untuk camilan manis, tetapi untuk nasi sehari-hari. Ada jagung yang lebih ringan, cocok untuk dijadikan popcorn. Dan perbandingan harga itu seolah menjadi satire kecil: di NTT, setengah kilo jagung bisa dijual lima ribu rupiah dan menghasilkan bertoples-tooples popcorn, sementara di mall, segenggam kecil popcorn dihargai empat puluh ribu.
Dapur sore itu menjadi ruang belajar yang tak terbayangkan di dalam buku teks. Anak-anak Salam mulai memahami bahwa pangan di Indonesia tidak pernah tunggal. Tuhan, dalam kebijaksanaan yang sederhana sekaligus kompleks, menanamkan makanan pokok sesuai dengan tanah dan cuaca tiap wilayah. Tidak ada keharusan bahwa semua orang harus makan nasi putih.
Tawa terdengar ketika beberapa anak meringis kepedasan karena capai pari. Tetapi di balik tawa itu, ada rasa hormat yang pelan-pelan tumbuh: bahwa makanan bukan hanya soal rasa, melainkan soal identitas, soal kebudayaan, soal keberlanjutan hidup. Bahwa makan bisa menjadi doa, bisa menjadi pengetahuan, bisa menjadi jembatan antara Yogyakarta dan Oebo & Kie.
Di meja kayu Joglo Elang itu, nasi jagung, sambal kecipir, tempe kacang tolo, dan tawa anak-anak berbaur. Makanan pun menjelma narasi: tentang betapa kaya negeri ini, tentang bagaimana keragaman seharusnya dinikmati, bukan diseragamkan. Dan di wajah anak-anak yang menyuapkan katemak pertama kali, terselip kesadaran baru—bahwa setiap butir jagung, setiap lembar daun kelor, adalah bagian dari kekayaan budaya yang patut dirayakan.
Bagi siapa saja yang ingin melanjutkan jejak rasa, buku Em He Taha dan Em He Taha Ten menunggu untuk dibuka. Di sana, resep-resep bukan hanya rangkaian bahan dan takaran, melainkan juga peta kecil kehidupan: tumbuhan apa yang tumbuh subur di tanah Oebo, bagaimana mereka diberi nama, dan kisah apa yang menyertai kehadirannya di dapur maupun di ladang. Membaca buku itu adalah menelusuri kebun dan pekarangan orang lain, tetapi pada akhirnya kita sedang belajar menyapa saudara kita sendiri.
Tak kenal maka tak sayang—ungkapan itu menemukan maknanya kembali. Sebab semakin kita mengenal makanan dan budaya mereka, semakin terasa bahwa persaudaraan itu nyata, tak perlu dicari, hanya perlu dihidupkan.
Debora, Jian, dan Esy tidak hanya membawa masakan, tetapi juga tradisi penyambutan. Ada jamuan pinang sirih—ritual sederhana yang meluruhkan jarak, meneguhkan bahwa tamu bukan orang asing, melainkan kerabat. Lalu ada pengalungan selendang, benang-benang yang mereka pintal dan tenun dengan kesabaran, yang ketika menyentuh bahu menjadi lambang ucapan syukur dan persaudaraan.
Maka terima kasih, Kakak Debora, Jian, dan Esy. Semoga persahabatan ini tak berhenti di meja makan Joglo Elang, tetapi tumbuh menjadi jalinan yang lestari—seperti tenunan kain yang semakin indah bila benangnya semakin banyak. Salam hangat kami untuk teman-teman di NTT. Terima kasih.[]

pendiri Sanggar Anak Alam
Leave a Reply