Blog

Kacang Tolo dan Tantangan Memasak bagi Ayya

“Impianku tuh kalau ngga jadi pelukis, fashion designer, atau gitaris! Kalau masak, ngga deh. Aku sukanya makannya.”

Itu merupakan cuplikan dari percakapanku di bulan Januari dengan Ayya, ketika membahas tentang risetnya semester ini mengenai memasak kacang tolo. Tema ini masih berhubungan dengan risetnya semester lalu, yaitu menanam (dan memasak) di kebun sendiri. Saat itu, ia mendapatkan benih kacang tolo dan menanamnya, hingga akhirnya di semester ini dapat dipanen dan diolah menjadi berbagai jenis masakan. Tema ini sepertinya cukup menantang untuk Ayya yang minatnya bukanlah memasak. Namun, ia bertanggung jawab atas tema yang dipilihnya semester lalu dan tetap berusaha mengerjakan riset memasaknya ini meskipun ia harus berurusan dengan salah satu lawan terberatnya, yaitu bawang.

Setelah menyampaikan kalimat pembuka presentasi yang sepertinya sudah dilatih berkali-kali, Ayya menceritakan tujuannya dalam melakukan riset ini, yaitu untuk mengetahui jenis-jenis masakan tolo. Ia tidak membatasi untuk memasak sebuah resep tertentu, namun ia ingin mengeksplorasi jenis masakan tolo dari daerah yang berbeda-beda. Ia lalu mencari kenalannya yang lahir dan tinggal di kota yang berbeda-beda untuk menanyakan variasi masakan kacang tolo di kota-kota tersebut. Akhirnya Ayya berhasil menemukan narasumber dari lima kota, yaitu Bandung, Semarang, Sidoarjo, Depok, dan Yogyakarta.

 

Dari hasil wawancaranya dengan para narasumbernya, Ayya menemukan berbagai jenis olahan kacang tolo, seperti sambal goreng, rarawuan, ayung-ayung, lepet, bongko, mentho, dan lainnya lagi. Untuk praktik memasaknya, ia memilih untuk memasak lodeh, sambal goreng, brongkos, dan rarawuan. Ayya menceritakan proses memasaknya, dari membeli bahan di pasar, hingga beberapa hack memasak yang ia dapatkan dari bude Ida yang menemaninya memasak. Misalnya, kacang tolo yang lupa untuk direndam bisa diakali dengan cara menggorengnya. Hal ini ia pelajari ketika lupa untuk merendam tolo selama 8 jam untuk membuat brongkos, namun bude Ida menyarankan bahwa sebagai gantinya, tolo-nya bisa digoreng. Di hari presentasi ini, Ayya juga membawa brongkos, olahan tolo yang menurut Ayya paling enak, yang ia masak untuk dicoba oleh teman-teman sekelasnya.

Dari riset ini Ayya juga belajar tentang rempah-rempah dan berkomunikasi dengan narasumbernya dan penjual-penjual di pasar. Beberapa analisis dari pengalamannya juga menarik, misalnya ia menyimpulkan bahwa yang mengetahui resep tolo merupakan orang-orang berumur 50 tahun ke atas (namun ia mencantumkan juga sebuah pengecualian karena ada narasumbernya yang kurang tahu), atau mewajari apabila penjual di pasar tidak mau memberitahu asal bahan dan bumbu yang mereka jual karena informasi tersebut dapat membuat mereka rugi.

Salah satu tujuan Ayya, yaitu ingin membuat buku, juga tercapai di semester ini. Ia membawa dan menjual buku yang berisikan tentang wawancara ia bersama narasumber, pengalamannya praktik memasak, serta memberikan resep yang ia gunakan untuk praktiknya tersebut, tentunya dengan gaya penulisan yang sangat khas seperti cara Ayya bercerita. Ia juga menceritakan kesulitannya saat menulis sambil mendengarkan lagu karena ia akan terdistraksi, namun ia juga bingung karena tanpa lagu, suasana akan menjadi sangat sunyi.[]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *