Pernah merasa tidak ada seorangpun di dekatmu yang bisa memahami dan tertarik dengan apa yang sedang dipikirkan, lalu tiba-tiba bertemu dengan sebuah tulisan yang seakan-akan dapat membaca pikiranmu? Atau bertemu sebuah puisi dan lagu yang dapat memahami kegundahan hati yang awalnya sangat sulit untuk diekspresikan? Bukankah rasanya seperti berbicara dengan teman yang benar-benar memahami kita? Menurutku, kekuatan membaca bukanlah sebagai cara untuk mendapatkan pengetahuan ataupun informasi, namun sebagai cara untuk berkomunikasi dengan mereka yang entah dimana, namun merasakan hal yang serupa. Layaknya pendengar cerita yang baik yang perlu mempunyai kepekaan untuk berusaha memahami lawan bicaranya, begitu juga dengan pembaca yang baik. Kepekaanlah yang sangat dibutuhkan oleh pembaca ketika berkomunikasi hanya melalui perantara.
Berkomunikasi melalui & dengan ‘teks’
Kita sedang berusaha berkomunikasi dengan seseorang yang tidak bisa kita temui dan tidak bisa ditanya-tanya secara langsung. Artinya, baik si penulis maupun si pembaca hanya bisa menerka-nerka siapa orang yang ada di balik buku tersebut. Bagi pembaca, kita perlu menerka apa yang ada di pikiran penulis saat merangkai kata-kata itu. Apa yang mereka alami sampai mereka berpikir seperti itu? Seperti apa situasi di lingkungannya yang membuatnya terdorong untuk menulis? Sama seperti ketika berkomunikasi secara langsung, menurutku, membaca itu lebih seru dan menarik ketika kita lebih peka terhadap hal-hal tersebut. Lewat tulisan, kita jadi mampu mengenali pribadi si penulis, dunia di dalam pikirannya, serta dunia di luarnya.
Tidak ada yang namanya benar dan salah dalam menerka-nerka apa yang dimaksud oleh tulisan itu. Sama seperti ketika berkomunikasi langsung pun, mungkin sekali omongan seseorang diartikan secara berbeda oleh dua pendengar yang berbeda. Perbedaan itu jelas wajar, karena si pendengar adalah dua orang dengan pribadi yang berbeda. Namanya berkomunikasi, artinya kan dua arah. Jadi, kita berhak untuk berpendapat dan menafsirkan apa yang dimaksud oleh tulisan itu dan memikirkan apa hubungannya dengan kita. Contohnya ya tulisan ini sendiri. Pasti yang saya maksud dengan yang tertangkap oleh pembaca tidak 100% sesuai, namun bukanlah kesesuaian yang paling penting. Keberanian untuk mengkritisi dan mengolah tulisan-lah yang lebih penting dibanding memahami dan sekedar mengikuti.
Buat mereka yang merasa lebih peka lagi, seperti orang berpacaran yang paham bahwa pasangannya marah tanpa harus menerima pesan singkat terlebih dahulu, hal yang bisa dibaca bukan hanya sekedar tulisan. Mengetahui pasangan yang ngambek itu bukan cuman sekedar firasat, namun ada hal yang ‘dibaca’, tentunya gerak tubuh, kebiasaan, dan berbagai petunjuk nonverbal lainnya. Maksudnya, pembaca yang peka bukan hanya membaca ‘tulisan’ berbentuk huruf, namun bisa membaca yang bentuknya bukan huruf sekalipun. Gambar, foto, pemandangan, jalanan, tata ruang, apapun itu (sebelum saya makin ngelantur) adalah hal-hal yang juga bisa dibaca oleh orang yang peka. Di balik semua itu, ada cerita, pikiran, cara pandang, harapan, dan lain sebagainya. Dibanding buku berisi huruf yang mungkin kita temui beberapa jam selama kita bangun, atau membaca pesan di hp, kita akan lebih sering dihadapkan dengan banyak bacaan yang bentuknya berbeda-beda sepanjang kita hidup sehari-hari.
Bagaimana dengan anak-anak?
Sepenting itukah kita mengenal huruf, kata-kata, dan paragraf-paragraf yang mungkin hanya mengisi sebagian kecil dari komunikasi yang kita lakukan di hidup ini? Apakah tanpa menguasai itu semua, seorang anak belum bisa membaca konteks dan makna tersirat dari sebuah peristiwa? Tentu tidak.
Misalnya, mereka bisa memahami ketika orang tuanya marah, hal itu dilakukan mungkin untuk menyuruh kita melakukan sesuatu. Atau memahami konteks, misalnya mereka sudah memahami kapan marah yang bercanda dan kapan marah yang beneran marah. Terakhir, dari kecil pun anak-anak paham bahwa situasi yang ia ‘baca’ pun perlu direspon, entah dengan caranya sendiri, seperti marah, menangis, tertawa, atau tanda-tanda nonverbal apapun itu.
Memaksa untuk cepat-cepat mengenal dan menguasai huruf dan kata-kata menurut saya bukanlah hal yang semendesak itu. Coba kita sandingkan, misalnya ada seorang anak yang sedari kecil mampu membaca buku yang tidak ada ilustrasi gambarnya dan dapat mengartikan semua kata yang ada di buku tersebut. Akan tetapi, saking bangganya ia dapat menguasai sebuah kemampuan yang dipuji oleh orang-orang dewasa, ia menekuni membaca dan mengabaikan situasi-situasi yang terjadi di sekitarnya. Di sisi lain, ada seorang anak yang meskipun tidak bisa membaca huruf, namun ia bisa mengetahui bahwa ada temannya yang biasanya berlari kesana-kemari malah duduk saja di pojokan sambil memegangi perutnya adalah tanda bahwa ia merasa sakit atau lapar yang berlebihan. Namun ia juga menebak bahwa anak tersebut tidak mau mencemaskan orang-orang sekitar dan memilih diam saja. Oleh karena itu, ia diam-diam menarik salah satu orang dewasa ke tempat anak yang lapar itu, bukannya berteriak bahwa ada yang sakit perut.
Siapa yang bisa disebut sebagai ‘pembaca’ yang baik? Jawabannya tentu tidak pasti. Alangkah baiknya memang ketika seorang anak bisa melakukan kedua hal itu, bukan? Karena sebenarnya kedua hal itu tidak bertolak belakang. Akan tetapi, yang ingin saya sampaikan hanya sebatas: tidak perlu sepanik itu ketika seorang anak tidak bisa membaca huruf dan kata-kata; di sisi lain, jangan mudah berbangga ketika seorang anak bisa mengetahui huruf dan kata karena mungkin saja ia belum peka terhadap makna dan konteksnya.
Pada akhirnya, menurut saya membaca itu bukan masalah mengetahui huruf dan kata-kata atau tidak, melainkan membaca itu adalah soal kepekaan. Kepekaan untuk berkomunikasi dengan sesuatu yang tidak bisa berbicara sendiri. Kepekaan untuk memahami bukan hanya arti yang tersurat dari teks apapun itu, namun memahami banyaknya hal yang tersirat dan memahami posisi diri kita sebagai seseorang yang diajak bicara oleh mereka.[]
Relawan SALAM
Leave a Reply