Partisipasi telah menjadi istilah yang umum didengar oleh hampir semua orang, mengintegrasikan dirinya ke dalam dunia pembangunan, meskipun praktiknya tidak selalu seindah janji retorika. Namun, di tengah-tengah masyarakat, ada kelompok-kelompok sosial yang sering kali dianggap marjinal atau terpinggirkan. Paradoksalnya, kelompok-kelompok inilah yang sebenarnya memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya partisipasi sebagai hal yang mendasar dan prioritas. Kelompok ini terdiri dari perempuan, orang miskin, etnis atau agama minoritas, pengungsi, orang dengan disabilitas, dan lansia. Selain itu, kita juga perlu mengakui bahwa anak-anak hingga saat ini sering kali dianggap sebagai “kategorinya sendiri” dalam komunitas manusia. Meskipun kesehatan, gizi, dan pendidikan anak telah menjadi fokus perhatian sejak lama, partisipasi aktif mereka sebagai mitra dalam perubahan sosial masih jarang diakui.
Dalam masyarakat kita, masih banyak guru dan “orang dewasa” yang berinteraksi langsung dengan anak-anak dan remaja yang masih menganggap mereka sebagai golongan yang bodoh dan perlu diajar; tidak bertanggung jawab dan perlu didisiplinkan; belum cukup matang hidupnya sehingga perlu dididik; tidak mampu sehingga perlu dilindungi; atau dianggap menyusahkan sehingga pandangan mereka diabaikan. Ironisnya, walaupun dianggap tidak berdaya, anak-anak sering kali dimanfaatkan sebagai sumber daya. Pola pikir seperti ini terus memperkuat ketidakberdayaan anak-anak, terutama anak perempuan dan anak-anak dari kelompok sosial bawah yang sering kali dipinggirkan dan dianggap rendah.
Hal ini adalah suatu tantangan serius yang harus kita hadapi sebagai masyarakat. Kita harus mengakui bahwa anak-anak adalah pilar masa depan dan mereka memiliki kapasitas untuk berkontribusi dalam pembangunan dan perubahan sosial. Partisipasi anak-anak bukan hanya sekadar memberi mereka kesempatan untuk berbicara atau mendengarkan mereka dengan penuh kesabaran, melainkan juga memberdayakan mereka untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan yang berpengaruh pada kehidupan mereka. Partisipasi anak-anak harus dilihat sebagai hak asasi mereka, bukan hanya sebagai pemberian (hadiah) dari pihak orang dewasa belaka.
Agar partisipasi anak-anak menjadi lebih efektif dan berdampak positif, diperlukan lingkungan yang mendukung dan inklusif. Guru dan orang dewasa harus melibatkan anak-anak secara aktif, mendengarkan pandangan mereka, dan mempertimbangkan aspirasi mereka dalam setiap kebijakan dan program yang mempengaruhi kehidupan anak-anak, juga remaja. Selain itu, perlunya menghapus pandangan stereotip tentang anak-anak sebagai golongan yang rentan dan tidak berdaya harus menjadi agenda utama. Mengedepankan pendekatan yang berbasis hak asasi manusia, kita harus memastikan bahwa setiap anak, remaja memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, kesehatan, dan perlindungan, tanpa diskriminasi.
Tak ada waktu untuk menunggu. Saat ini, kita harus memperkuat upaya untuk mewujudkan partisipasi anak-anak yang lebih signifikan dalam masyarakat. Melibatkan mereka dalam proses perubahan sosial bukan hanya menghormati hak mereka sebagai individu, tetapi juga memberi kita peluang untuk menciptakan dunia yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan. Anak-anak dan remaja bukan hanya objek, melainkan juga subjek dari perubahan positif yang akan membawa dampak jauh ke masa depan. Dengan memberikan mereka suara yang lebih kuat dan mendengarkan aspirasi mereka, kita menciptakan fondasi yang kokoh untuk masyarakat yang lebih maju dan berdaya.[]
pembelajar, pejalan sunyi
Leave a Reply