Pasaran. Masih ingatkah dengan permainan masa kecil yang sering kita lakukan dulu? Kegiatan bermain dengan pura-pura memasak sesuatu dari pasir, batu-bata yang ditumbuk halus dan jika sedang beruntung dari ampas kelapa sisa memasak yang diberi bubuk pewarna. Alat yang digunakan pun sederhana, misal gelas plastik bekas wadah agar-agar, wajan gerabah hasil belanja di sekaten atau hanya sekedar guguran daun waru di halaman rumah yang dipincuk.
Karena permainan ini mengasyikkan, biasanya saya dan para sepupu sebaya bisa betah ber jam-jam bermain pasaran. Kegiatan pura-pura memasak yang awalnya hanya pura-pura untuk konsumsi sendiri berkembang menjadi pura-pura menjual hasil masakan kami. Tentu saja yang menjadi target konsumen adalah teman-teman lain yang tidak sedang bermain pasaran. Uangnya pun pura-pura.
Berangkat dari uang imajiner ini, kami sering membayangkan bagaimana jika uang ini ‘uang sungguhan’, yang bisa kami pakai untuk membeli krip-krip atau permen cicak di warung sebelah? Jika ingin uang sungguhan, berarti barang dagangannya juga harus sesuatu yang bisa benar-benar dikonsumsi. Daya kreatifitas kami pun menggelora. Kami mulai berpikir untuk memasak sesuatu dari petai cina (yang pohonnya banyak tumbuh di bantaran sungai belakang rumah kakek saya) dan bahan-bahan lainnya. Tujuannya jelas, untuk membuat sesuatu yang bisa diperdagangkan dengan uang sungguhan.
Petai cina masak saus tomat adalah dagangan sungguhan kami untuk kali pertama. Kami jual ke orangtua dan nenek dengan harga Rp. 25,- / satu sendok makan. Tentang cita rasa masakan itu jangan ditanya. Saya selalu sedih jika mengingatnya. Tapi sepertinya para orangtua dan nenek kami bangga dengan bakat berdagang yang tumbuh dini tersebut. Terbukti apapun yang kami jual selalu dibeli dengan gembira.
Menyadari kurangnya bakat memasak, kadang kami beralih ke jenis dagangan lain. Salah satunya kancing ‘jeglok’. Kancing jeglok adalah kancing yang dibuat manual dengan alat serupa besi bertuas, dari perca kain dan lempengan seng. Karena ukuran kancing beragam, kami menjualnya dengan harga yang beragam pula. Rp. 25,- untuk yang terkecil, dan Rp. 100,-untuk yang paling besar.
Lepas dari segala rupa seminar kewirausahaan dan bincang bisnis, pasaran adalah pintu masuk menuju pengalaman berwirausaha yang sesungguhnya. Melalui permainan sederhana ini kanak-kanak saya secara tidak langsung belajar tentang demand, supply, peluang dan karakter pasar. Pasaran secara tidak langsung melatih anak untuk bersikap adil, jujur, kreatif sekaligus ulet di saat yang bersamaan.
Lalu bagaimana dengan anak-anak masa kini yang tumbuh dalam buaian gadget? Yang bahkan sama sekali tidak pernah mengalami apa itu pasaran? Apakah mereka akan kehilangan proses bertumbuh dalam gagas berpikir dagang yang kerap muncul saat anak-anak bermain pasaran? Entahlah.
Yang jelas kami, para orangtua yang bersekolah bersama anak-anak kami di SALAM tidak ingin kehilangan kegembiraan pasaran tersebut. Selain dengan membiarkan anak-anak kami bermain tanah setiap hari, kami juga terlibat dalam pasaran ala Salam.
Ada dua pasar yang kerap digelar di SALAM: pasar Senin Legi dan pasar Ekspresi. Pasar Senin Legi adalah pasar yang digelar sekitar sebulan sekali, setiap hari Senin Legi dan berproses jual beli dengan mata uang SALAM. Di pasar ini para murid berbagi dalam beberapa tugas, seperti sebagai penjual, petugas kebersihan, petugas keamanan dan pegawai bank. Setiap anak yang ingin menjadi penjual akan mendapat meja dan kursi sebagai lapak tempat mereka memajang dagangan, seperti craft buatan sendiri atau makanan sehat hasil olahan ibu/ neneknya.
Siapapun bisa menjadi pembeli dengan syarat pembelian harus dengan uang SALAM. Untuk itu semua calon pembeli yang belum memiliki uang Salam harus rela antri di bank untuk menukar uang.
Sementara pasar Ekspresi adalah pasar hasil gagas orangtua murid beberapa waktu silam. Konsep awal penyelenggaraannya lebih sebagai kegiatan fundrising untuk mendukung kegiatan di ALAM. Berbeda dengan pasar Senin Legi, pasar Ekspresi tidak menggunakan mata uang SALAM dan tidak memiliki jadwal yang pasti. Dalam satu tahun bisa 1-3 kali diselenggarakan, tergantung kebutuhan. Di pasar Ekspresi selain pasar pangan sehat dan produk kreatif, umumnya juga terdapat panggung ekspresi tempat anak-anak berpentas. Materi pentas pun beragam, mulai jimbe, pantomim, mendongeng hingga tari.
Hingga kali ini, pasar Ekspresi sudah berlangsung 8 kali. Pasar Ekspresi ke 9 akan berlangsung Sabtu pagi, 17 September 2016 mendatang. Beberapa hal menarik selain panggung ekspresi dan lapak-lapak pasar, pasar Ekspresi #9 akan menyelenggarakan awul-awul dan lelang ‘barang bosan’. Ajang ini akan mempertemukan Anda dengan banyak benda secondhand yang masih layak pakai dengan harga terjangkau.
Selain itu Anda juga bisa membeli kupon doorprize seharga seribu rupiah sebanyak-banyaknya, sambil berharap keberuntungan menghampiri Anda lewat nomor-nomor kupon Anda yang bertukar beragam hadiah menarik. Selain itu Anda juga bisa membawa kaos atau tas polos untuk disablon logo pasar Ekspresi #9 di lapak sablon hanya dengan membayar di awal sebesar limaribu rupiah.
Pasar Ekspresi #9 ini memiliki tujuan fundrising spesifik yaitu menggalang dana untuk Pernas Anak Merdeka Oktober mendatang. Untuk itu segala penjualan awul, lelang, kontribusi lapak pasar, hingga penjualan tiket doorprize akan selalu berkaitan dalam fundrising tersebut.
Untuk segala kegembiraan itu, Anda cukup datang membawa tiket masuk berupa snack sehat sebanyak 5 biji: seperti klepon, pisang goreng, jadah bakar, dan sebagainya. Akhir kata, meski hemat tidak selalu pangkal kaya, bawalah uang sepunyanya. Mari berbagi, berbelanja dan berbahagia.
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply