Beberapa hari yang lalu pembaca www.salamyogyakarta.com datang mewawancarai. Ada beberapa pertanyaan yang terekam di otak dan jawaban yang masih kuingat sebagai berikut.
Saya mendapat informasi yang merancang, mengkonsep proses belajar itu Bapak. Apa dasar yang digunakan untuk menyusun semacam kurikulum di SALAM?
Saya kan pernah sekolah sampai drop out Perguruan Tinggi, Saya juga punya tiga anak yang memiliki pengalaman juga—jadi ketika awal mula saya mengkonsep proses belajar SALAM, pertama-tama yang saya lakukan adalah review dan berusaha merekonstruksi pengalaman apa saja yang terutama tidak menyenangkan ketika saya sekolah. Dari hasil review dan rekonstruksi saya coba konfirmasi dengan orang-orang disekitar—jadi ada semacam riset kecil-kecilan terhadap kecenderungan hal-hal yang tidak menyenangkan ketika sekolah.
Mengapa Bapak menggunakan hal yang” tidak menyenangkan” penting untuk menjadi pijakan?
Untuk apa saya harus mereproduksi pengalaman yang tidak menyenangkan—bahkan bukan hanya pengalamanku sendiri, tetapi juga pengalaman banyak orang? Bagaimana orang mau belajar, kalau tidak menyenangkan—apalagi dengan rasa tertekan?.
Apa tidak menggunakan referensi Pak?
Referensi, saya mempelajari melalui dokumen-dokumen antara lain kurikulum di Zaman Belanda, Kurikulum di Zaman Orde lama, Kurikulum Zaman Orde Baru sampai sekarang. Saya juga mempelajari berbagai metode belajar dan berbagai teori pendidikan.
Apa yang diambil dari berbagai referensi itu Pak?
Yang saya ambil yakni inti sarinya, saya harus menstrukturkan dan menyederhanakan agar banyak orang paham dan dapat melaksanakan serta kontekstual.
Kenapa harus disederhanakan?
SALAM kan sejak awal digagas tumbuh menjadi Komunitas, maka konsep juga harus selaras dengan orang-orang yang ada, harus dapat mewadahi seluruh aspirasi orang-orang SALAM, tanpa melihat strata maupun jurusan pendidikan mereka.
Menurut informasi dari Fasilitator SALAM Bapak tidak suka dengan metode mengajar seperti yang dilakukan Guru-guru di sekolah pada umumnya?
Kalau SALAM memilih metode seperti guru-guru yang kita kenal selama ini, itu sama saja dengan tidak meyakini bahwa siswa bukan menjadi subyek atau pusat belajar pada pengalaman dirinya. Sama saja mengingkari adagium yang kami yakini, “Mendengar, saya lupa; Melihat, saya ingat; Melakukan, saya paham; Menemukan sendiri, saya kuasai”
Intinya apa pak?
Penguasaan atas pengetahuan yang hakiki dan sejati—secara langsung terkait dengan pengaruh kehidupan dan pengalaman (apa yang dilakukan dan apa yang dialami) keseharian. Dengan demikian apa yang dimaksud dengan pendidikan sebagai proses seumur hidup berarti berlangsung sepanjang umur kegiatan manusia yang dilakukan secara sadar. Proses seperti itu tidak bisa dihentikan hanya karena telah menyelesaikan atau telah menamatkan di bangku sekolah tertentu. Karena segala sesuatu yang dilakukan secara sadar oleh manusia selalu mengandung unsur belajar. Apa yang dipikirkan, apa yang dilakukan di masa lalu, apa yang dipikirkan, apa yang dilakukan pada saat ini serta apa yang direncanakan untuk masa mendatang—itu semua menunjukkan proses belajar serta sekaligus bagaimana cara melakukannya. Mungkin saja kita tidak mampu melihat hal seperti itu merupakan “pengalaman belajar”, bisa jadi karena pengetahuan kita tentang belajar selama ini sempit, terbatas—karena dikungkung oleh pemahaman bahwa pendidikan identik dengan sekolah.
Ada argumentasi yang lain pak?
Ada penelitian yang menemukan bahwa kesadaran serta pengetahuan seseorang yang tak mudah dilupakan antara lain berkisar; bila diperoleh; 20 % dari mendengar, 50 % dari melihat, 70 % dari melihat dan mendengar dan 90 % karena melakukan langsung atau mengalami sendiri.
Ini pertanyaan yang agak belok sedikit pak. Menurut bapak apakah tahun-tahun mendatang, ditambah lagi, akan ada pemilu—apa akan ada perubahan yang signifikan—terutama penyelenggaraan pendidikan di negeri ini pak?
Kalau di negeri SALAM perubahan sudah kami mulai, tidak perlu menunggu diperintah oleh negara.Memang setiap PEMILU, selalu ada gelora perubahan cukup seru.Tapi, kita harus belajar dari pengalaman bahwa apa yang kita sebut “Pesta Demokrasi” hanya melahirkan ilusi, fatamorgana perubahan—hasilnya sama saja, Kampanye memang urusannya sekadar dalam janji yang tidak harus ditepati setelah mereka jadi. PEMILU hanyalah kendaraan untuk mencapai tujuan mereka—bukan tujuan rakyat.
Nampaknya Bapak sangat pesimis?
Mungkin!!! karena pesimistis saya juga diajarkan oleh pengalaman. Pada dasarnya untuk era sekarang ini, mungkin juga masih dibutuhkan waktu yang teramat sangat lama, para elit politik siapapun saja—masih berkutat memikirkan keselamatan nasib mereka sendiri untuk lima tahun mendatang, rakyat tidak ada dalam pikiran dan hati mereka setelah PEMILU.
Kira-kira pendidikan nasibnya bagaimana Pak?
Pendidikan nasibnya sama dan sebangun dengan rakyat—sering disebut-sebut dengan kata-kata yang indah dan manis—namun senyatanya hanyalah bedak dan gincu, lebih tepatnya….pelengkap penderita bagi para petinggi-petinggi politik kita.
Jadi musti bagaimana Pak?
Kita jangan tenggelam dalam ilusi dan fatamorgana, walaupun kecil seperti SALAM, harus, suka tidak suka meyakini melalui berdikari itulah satu-satunya perubahan yang bisa menjawab harapan kita. []
Seorang otodidak, masa muda dihabiskan menjadi Fasilitator Pendidikan Popular di Jawa Tengah, DIY, NTT dan Papua. Pernah menjadi Ketua Dewan Pendidikan INSIST. Pendiri Akademi Kebudayaan Yogya (AKY). Pengarah INVOLPMENT. Pendiri KiaiKanjeng dan Pengarah Sekolah Alternatif SALAM Yogyakarta.
Leave a Reply