Blog

Pengembangan Bisnis yang Sudah Ditekuni: Ahmad Junaid, Gabriel, dan Citralekha

Hari pertama presentasi kelas 12 berlangsung di lapangan SALAM, tepat pukul 13.30, pada siang yang hangat tanggal 24 November 2025. Lapangan yang biasanya dipakai anak-anak untuk berlari dan bermain berubah fungsi menjadi ruang cerita, tempat para siswa menautkan pengalaman belajar dengan dunia nyata. Pada sesi pertama, tiga anak maju bergiliran, masing-masing membawa kisah tentang usaha yang sedang mereka rintis atau tekuni. Citralekha—dipanggil Lekha oleh teman-temannya—menceritakan perjalanannya mengembangkan Pakpung, sebuah produk perawatan tubuh natural yang sudah ia geluti hampir setahun terakhir. Dari cara ia meraba botol produknya sendiri, tampak bahwa proyek ini bukan sekadar tugas sekolah, tetapi bagian dari pencarian diri dan relasi dengan bahan-bahan alami.

Junaid, dengan gaya bicaranya yang tenang namun mantap, berkisah tentang upayanya menghidupkan kembali usaha es teh Jumbo miliknya. Ia merefleksikan kegagalan, peluang, dan bagaimana ia mencoba memaknai kembali usaha kecilnya sebagai proses belajar yang terus bergerak.

Sementara itu, Gabriel berbagi cerita dari pengalaman magangnya di sebuah usaha roasting kopi rumahan. Di balik suara mesin sangrai yang ia gambarkan, tersirat langkah- langkah awalnya mempersiapkan diri untuk merintis bisnis roasting kopi sendiri—sebuah proses yang baginya bukan hanya teknis, tetapi juga perjalanan meraba dunia kerja orang dewasa.

Ketiga presentasi ini tidak hanya menggambarkan proyek bisnis, tetapi juga memperlihatkan bagaimana anak-anak kelas 12 SALAM sedang belajar menegosiasikan ruang antara mimpi, keterampilan, dan realitas.

Acara ini dihadiri oleh teman-teman kelas 12, fasilitator kelas, Bu Wahya, orang tua Gabriel dan Lekha, serta beberapa tamu yang tengah mengikuti workshop merancang PAUD kontekstual. Kehadiran mereka menciptakan suasana lintas generasi yang akrab: para remaja, para pendidik, orang tua, dan pegiat pendidikan duduk dalam ruang yang sama, berbagi perhatian pada proses belajar yang hidup.

Ketiga pebisnis cilik itu duduk melingkar, posisi yang sering dipilih di SALAM untuk menandai bahwa setiap suara memiliki ruang yang setara. Andre bertindak sebagai pemandu, mengarahkan alur talkshow dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuka jalan bagi cerita-cerita mereka muncul lebih jernih.

Atmosfer diskusi sengaja dijaga cair. Penonton—baik teman sekelas, orang tua, maupun para tamu—dipersilakan mengajukan pertanyaan kapan saja. Tidak ada batasan formal; percakapan mengalir seperti obrolan komunitas yang sedang bersama-sama mengamati perjalanan tiga anak yang sedang belajar menapaki dunia usaha dari pijakan kecil mereka.

Junaid: Menguji Daya Tahan di Musim Hujan dengan Teh Jumbo

Junaid mengisahkan usahanya menjual teh jumbo—sebuah bisnis kecil yang ia bangun bersama keluarganya. Ritme kerjanya sederhana namun teratur: ia mencari bahan baku teh di pasar, ibunya menyiapkan adonan, dan Junaid mengambil peran di garis depan, menjual langsung kepada para pembeli. Dalam penjelasannya, tampak jelas bagaimana bisnis kecil ini menjadi ruang belajar yang terikat erat dengan dinamika kehidupan rumah dan komunitasnya.

Dari pengalaman berjualan, Junaid mulai memahami bagaimana kondisi eksternal dapat mengubah jalannya usaha. Ia bercerita bahwa pada hari-hari cerah, ia pernah menjual hingga 20 gelas per hari. Namun memasuki musim hujan, penjualan menurun drastis. “Sekarang bisnisku sedang nggak ramai. Harian berjualnya lebih sering tutup, karena musim hujan,” ujarnya, tanpa keluhan berlebih—lebih seperti seseorang yang sedang mengamati pola.

Alih-alih patah semangat, Junaid melihat hambatan ini sebagai bagian dari eksperimen berkelanjutan. Ia menyebut bisnisnya sebagai laboratorium pembelajaran, tempat ia menguji bukan hanya rasa teh, tetapi juga strategi, ketahanan, dan sistem kerja. Salah satu rencana perbaikan yang ia sampaikan adalah memisahkan gula dari teh agar pembeli dapat mengatur sendiri tingkat kemanisan. Ide ini muncul dari komentar beberapa pelanggan yang memiliki preferensi berbeda soal rasa manis.

Selama sesi, Junaid menceritakan pengalamannya dengan percaya diri. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan singkat dan lugas—ciri seorang pembelajar yang lebih fokus pada proses ketimbang pencitraan. Bagi Junaid, bisnis teh jumbo ini bukan sekadar soal untung-rugi; ia sedang menapak sebuah proses panjang yang penuh uji coba, dan ia tidak merasa perlu malu meskipun usahanya belum seramai dulu.

Gabriel: Mencari Karakter Diri di Tengah Kompetisi Kopi yang Sengit

Gabriel—atau Gabby, begitu ia akrab disapa—tengah menapaki dunia kopi melalui pekerjaannya di PT Premium Bean Indonesia. Dari ruang pengemasan tempat ia bekerja setiap hari, ia menyaksikan dinamika industri kopi dari lingkar terdalam: alur biji kopi lokal yang datang dari berbagai penjuru Nusantara, gerak rantai produksi, hingga tuntutan pasar yang terus berubah. Melalui perspektifnya, kopi bukan lagi sekadar minuman, melainkan komoditas yang penuh identitas dan karakter.

“Bisnis ini cukup berat karena banyak sekali kompetitornya, banyak variasi, sehingga kita harus bisa menunjukkan karakter kita seperti apa—mulai dari rasa, tampilan, dan banyak hal lagi,” ujarnya. Kalimat itu mencerminkan kesadarannya akan lanskap industri yang padat dan nyaris jenuh, tempat setiap produk harus berbicara tentang siapa pembuatnya.

Pelajaran tersulit bagi Gabriel justru tidak datang dari teknis kopi, melainkan dari lapisan-lapisan etika kerja dan manajemen yang rumit. Ia pernah mengalami kerugian akibat praktik “tikung-menikung” oleh pihak lain, yang berujung pada rusaknya produk dan dipotongnya gaji yang ia terima. Situasi ini makin pelik karena pelaku “penikungan” tersebut adalah teman dari pemilik tempat roasting kopi tempat ia bekerja. Dari pengalaman itu, Gabriel mulai memahami bahwa dalam dunia usaha, batas antara teman dan rekan bisnis tidak selalu jelas, dan kepercayaan perlu dikelola seteliti mungkin.

Meski menghadapi pengalaman pahit, Gabriel tidak surut langkah. Ia menyadari bahwa perjalanan membangun bisnis kopi membutuhkan proses panjang untuk menemukan karakter sendiri—baik dari segi rasa, metode roasting, maupun identitas produknya. “Aku juga akan terjun dari awal, terjun lebih jauh,” tekadnya, menunjukkan bahwa bagi Gabriel, industri kopi adalah ruang pencarian diri sekaligus lapangan untuk membangun integritas dan ketangguhan.

Lekha: Antara Passion Lingkungan, Eksplorasi Pasar Bali, dan “Asyiknya” Menagih Utang

Berbeda dengan Gabriel yang berkutat di industri kopi, Lekha menapaki jalur yang lebih personal: merintis produk perawatan diri alami di bawah nama @pakpung_sik. Ia membuat deodorant, hair oil, dan berbagai produk berbasis essential oil—pilihan yang sejalan dengan kepeduliannya pada isu lingkungan dan energinya yang, menurut pengakuannya sendiri, membuat “tangannya tidak bisa diam.”

Bagi Lekha, riset bukan kegiatan insidental; ia sudah menjadi ritme keseharian. Ia terbiasa menyusuri jalur pasokan bahan baku dari produsen kecil—misalnya minyak kelapa buatan ibu-ibu di seberang UMY—hingga essential oil yang ia dapatkan dari Bogor. Dari caranya bercerita, tampak bahwa proses mencari bahan, bereksperimen, dan mencoba ulang formula bukan sekadar urusan teknis, tetapi bagian dari permainan kreatif yang ia nikmati.

Dalam presentasi, Lekha membawa langsung beberapa produknya. Ia mengedarkannya dari tangan ke tangan, membuat lingkaran diskusi sejenak berubah menjadi ruang pameran kecil. Ayya tampak antusias—memegang, mencium aroma, dan menyimak penjelasan Lekha dengan perhatian khas calon pembeli yang serius. Di sela cerita, Lekha sempat mengiklankan hampers Natal yang sedang ia susun; momen ini memperlihatkan bagaimana bisnis dan keseharian sosial saling bertaut secara alami.

Menariknya, Lekha tidak bekerja sendirian. Ia mulai melibatkan teman-temannya di SALAM dalam proses produksi dan kreatif: Jo membantu produksi, Banyu mengerjakan desain, dan Mahdan mengambil foto produk. Meski kolaborasi ini baru ia bangun di akhir semester, ada nada bangga ketika ia menceritakan bahwa bisnis kecilnya dapat membuka ruang kerja bagi teman-temannya.

Di balik cerita tentang formulasi dan pemasaran, terselip pengalaman lain yang ia sebut “asyiknya menagih utang”—sebuah tantangan kecil dalam berbisnis yang ia ceritakan sambil tertawa. Detail seperti ini menunjukkan bagaimana Lekha sedang belajar bukan hanya membuat produk, tetapi juga menavigasi dinamika relasi, tanggung jawab, dan dunia usaha yang ia bangun pelan-pelan dari ruang kelasnya sendiri.

Pengalaman paling ekstrem dan penuh warna bagi Lekha muncul ketika ia mencoba memperluas pasar ke Bali. Setelah melakukan riset kecil-kecilan di kawasan Canggu—mengamati toko, berbicara dengan penjaga, dan mencatat kecenderungan selera pembeli—beberapa toko menunjukkan minat untuk bekerja sama. Namun dari peluang itu pula muncul tantangan: ia hampir tertipu oleh seseorang yang awalnya menawarkan program residensi, tetapi kemudian hanya meminta penitipan barang tanpa kejelasan komitmen.

Dari titik itulah Lekha mengalami pelajaran yang baginya terasa seperti “ritus kedewasaan pertama.” Ia menyebutnya dengan nada bercanda, “Adegan dewasa yang kulakukan pertama kali adalah nagih utang. Ternyata susah, asyik, dan seru.” Cerita itu membuat lingkaran diskusi sempat pecah menjadi tawa kecil—sebuah momen yang menunjukkan bagaimana pengalaman pahit bisa berubah menjadi bahan belajar bersama.

Yang menarik, strategi Lekha bukan marah atau memutus hubungan, melainkan mempraktikkan keikhlasan yang cerdas. “Dia menipu aku, tapi tiap kali aku gabut aku teleponin aja, akhirnya malah dibayar,” ujarnya. Kalimat itu, yang disampaikan dengan ringan, justru memperlihatkan kombinasi ketegasan dan kesabaran yang tidak banyak dimiliki pebisnis seusianya.

Dari eksplorasi pasar itu, Lekha juga membaca dinamika harga: hair oil yang di Yogyakarta ia jual seharga Rp60.000 dapat dihargai Rp120.000 di Bali. Pengetahuan ini memunculkan rencana ekspansi ke Jakarta dan Bandung, sambil perlahan mengurangi ketergantungan pada pasar Bali yang persaingannya sangat padat.

 

Ruang Refleksi Bersama: Komentar dan Saran

Pengalaman pahit manis para pebisnis muda ini disambut dengan refleksi dari Bu Endah dan Bu Wahya. Kehadiran kedua fasilitator senior ini memberi lapisan kedewasaan pada diskusi, seolah menghubungkan pengalaman lapangan dengan prinsip-prinsip fundamental berbisnis.

Bu Endah mengingatkan pentingnya memindahkan energi dari masalah ke peluang. “Kalau cuma mikir itu terus, mending mikir ke depan… peluang masih banyak. Daripada memegang persoalan itu terus, mending lupakan,” katanya. Saran ini tidak muncul sebagai teori, melainkan sebagai respons langsung atas apa yang dialami anak-anak.

Bu Wahya menambahkan lapisan praktis: pentingnya MoU dan batasan kerja yang jelas. Ia menyampaikan bahwa pengalaman seperti yang dialami Gabriel dan Lekha seharusnya menjadi pembelajaran, bukan penyesalan. “Kadang bukan niat menipu, tapi lalai. Sebaiknya mengantisipasi (ngawekani) supaya tidak menimbulkan kesalahan kedua belah pihak.”
Ia menegaskan bahwa perjanjian tertulis, terutama untuk urusan konsinyasi, adalah perlindungan minimal bagi pelaku usaha muda. Nasihat ini selaras dengan saran dari kakak Lekha yang mendorongnya untuk membuat MoU sederhana, sebagai jembatan antara profesionalitas dan rasa kekeluargaan dalam berbisnis.

Ketiganya sepakat bahwa meski mereka belum menuliskan pengalaman ini dalam sebuah “kitab bisnis,” langkah berikutnya adalah menyusun dan mempresentasikan business plan masing-masing. Proses ini menjadi ruang untuk menata ulang strategi sekaligus refleksi terhadap perjalanan yang telah ditempuh.

Kisah-kisah mereka mencerminkan karakter kewirausahaan generasi muda SALAM: penuh passion, cepat beradaptasi, dan berani menerima pelajaran keras dari lapangan. Mereka belajar bahwa bisnis bukan sekadar profit, tetapi juga pembentukan karakter—ketahanan mental, profesionalitas, hingga seni menagih utang.

Dari pengalaman kolektif mereka, tampak empat pelajaran mendasar bagi wirausahawan pemula:

Etika dan Profesionalitas: Bisnis, bahkan dengan teman, memerlukan MoU untuk mencegah kesalahpahaman atau praktik curang—sebagaimana dialami Gabriel dan Lekha.

Adaptasi Pasar: Mengetahui di mana produk dihargai lebih tinggi adalah kunci profit—contohnya temuan Lekha tentang perbedaan harga Yogyakarta–Bali.

Ketahanan Mental: Kemampuan melepaskan kerugian dan fokus pada peluang baru, seperti disampaikan Bu Endah, adalah fondasi kelangsungan usaha.

Inovasi dan Karakter Produk: Di pasar padat seperti kopi, karakter produk menjadi pembeda utama.

Ketiganya menunjukkan derajat keseriusan yang berbeda, tetapi sama-sama mengandung kedewasaan. Lekha dan Junaid tampak mantap dengan dunia usaha sebagai gaya hidup mereka. Gabriel justru mengungkapkan ketidakyakinannya—bukan karena lemah, tetapi karena ia semakin memahami kerumitan industri kopi dan merasa perlu belajar lebih dalam. Kerendahan hati seperti inilah yang menjadi fondasi penting dalam wirausaha jangka panjang.

Lekha dan Junaid pun memperlihatkan kemandirian dalam membaca situasi: Lekha yang tetap sabar menghadapi partner kerja yang bermasalah, dan Junaid yang cepat merespons preferensi pembeli.

Arah Riset Selanjutnya—Arah riset ketiganya kini makin jelas: Junaid perlu menguji berbagai percobaan dalam pengembangan produknya. Lekha berencana membawa Pakpung ke kota-kota besar, sehingga ia perlu melakukan riset pasar untuk produk artisan di Jakarta, Bandung, dan Bali. Gabriel akan menata risetnya dalam bentuk Business Plan komprehensif, yang kemungkinan akan ia presentasikan pada akhir semester depan sebagai penutup perjalanan belajarnya di SALAM.

Dengan demikian, pengalaman yang tampak kecil di lapangan ini sesungguhnya menjadi pondasi emas bagi masa depan mereka—bukan hanya sebagai pebisnis, tetapi sebagai manusia yang sedang belajar mengambil keputusan, membangun integritas, dan menapaki dunia dewasa dengan langkah-langkah pertama yang penuh makna.

Pertanyaan kemudian mengarah pada hal yang lebih reflektif: sebagai siswa kelas tiga SMA, apa yang kini mereka jalani—apakah sudah menjadi pegangan hidup, atau masih dalam proses mencari? Pengalaman-pengalaman ini dianggap berharga, fondasi yang jangan sampai dibiarkan lewat begitu saja. Fasilitator pun menutup dengan ajakan: suatu hari nanti, maukah mereka menulis “kitab bisnis” berdasarkan pengalaman-pengalaman itu? []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *