Blog

Pengetahuan di Sekolah Milik dan Untuk Siapa?

Sekarang matahari, semakin tinggi

Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala

Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya:

Kita ini dididik untuk memihak yang mana?

Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini

akan menjadi alat pembebasan,

ataukah alat penindasan?

(WS Rendra, Sajak Pertemuan Mahasiswa)

 

Pengetahuan yang diajarkan di sekolah sejatinya tidak netral. Kenyataan ini sering tidak disadari oleh para pendidik. Kalangan pendidik, seperti juga masyarakat pada umumnya, mengasumsikan ilmu dan pengetahuan yang diajarkan di sekolah bersifat netral, cocok untuk setiap budaya, sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan terbaik untuk semua murid dari semua golongan. Ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah dan sistem pendidikan berorientasi kesetaraan dan keadilan sosial, menjanjikan sesuatu yang lebih baik bagi semua murid tanpa memandang status sosial ekonomi mereka. Namun  benarkah demikian?

Sering kita tidak menyadari bahwa pengetahuan atau bentuk pengetahuan tertentu lebih dihargai daripada pengetahuan atau bentuk pengetahuan yang lain. Ambil contoh, matematika dan sains lebih dihargai dari kesenian dan ilmu-ilmu budaya yang berimbas ke sekolah. Kita bisa juga melihat hal itu dari munculnya secara tiba-tiba keinginan penguasa agar coding diajarkan sejak usia SD dan pelajaran matematika untuk anak-anak TK.  Lalu,  ilmu ekonomi apa yang selama ini diajarkan untuk anak-anak SMP dan SLTA? Bila kita cermati, pengetahuan yang ditawarkan di sekolah ternyata lebih mencerminkan perspektif, kepentingan, dan selera kelompok dominan. Mereka yang berada di posisi kekuasaan kemudian menggunakan pengaruh mereka untuk mempertahankan dominasi tersebut dengan mempengaruhi konstruksi dan penyebaran pengetahuan di sekolah.

Banyak pendidik merasa bahwa pendidikan dan pengetahuan yang mereka ajarkan melayani kepentingan terbaik murit-murid, termasuk kelompok yang terpinggirkan, cocok untuk setiap budaya. Mereka percaya begitu saja bahwa kurikulum dan praktik pendidikan di sekolah bebas politik dan berorientasi kesetaraan dan keadilan sosial. Kenyataanya, di masyarakat dan di sekolah pengetahuan dan bentuk pengetahuan tertentu lebih dihargai daripada yang lain, sering kali mencerminkan perspektif kelompok dominan. Substansi dan metode pengajaran di sekolah tidak jarang mengesampingkan pengalaman dan pengetahuan kelompok-kelompok yang terpinggirkan, seperti kelompok masyarakat miskin, kaum disabilitas ataupun bias ras, etnis, dan gender. Suara dari kelompok-kelompok terpinggirkan itu cenderung dikeluarkan dari kancah pendidikan dan cenderung melanggengkan situasi ketidakadilan.

Para pendidik sering tidak menyadari perspektif dominan telah membentuk asumsi dan keyakinan pendidikan mereka. Asumsi yang bersifat ideologis itu lebih sering diterima begitu saja daripada diperiksa secara kritis. Di sinilah urgensi pendidik membuka diri, memeriksa secara kritis bias-bias sistem dan metode yang menjadi pijakan dalam mendidik serta mempertajam sensitivitas terhadap perbedaan-perbedaan kelas, budaya, gender, dan lain-lainnya yang bisa berpengaruh terhadap kualitas pendidikan yang diterima anak.

Pendidik sudah semestinya merefleksikan dan mendekonstruksi asumsi yang telah lama dipegang untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan adil, dan berpihak pada kelompok yang lemah. Mengubah budaya mendominasi menjadi budaya untuk membela mereka yang lebih lemah melalui pembiasaan pergaulan di sekolah. Guru perlu menyadari adanya ketidakadilan dalam pengetahuan sekolah yang disodorkan di sekolah dan berusaha untuk memasukkan suara dan perspektif kelompok yang terpinggirkan ke dalam diskursus utama pendidikan. Di sini letak pentingnya guru menggeluti diskursus sosial dan pemikiran kritis dalam mendorong lingkungan pendidikan yang lebih inklusif dan lebih adil.

Kita perlu secara kritis mengenali cara-cara pengetahuan yang diajarkan di sekolah menjadi milik kelompok dominan, di antaranya:

  • Pengecualian suara kelompok terpinggirkan: Suara orang-orang dari kelompok yang terpinggirkan, orang miskin, ras atau etnis tertentu, kaum disabilitas, dan kelompok dengan karakteristiik gender yang berbeda sering kali dikecualikan dari arena pendidikan. Pengecualian ini berarti bahwa pengetahuan dan pengalaman kelompok-kelompok ini tidak dihargai atau diwakili dalam kurikulum sekolah.
  • Ketimpangan sosial ekonomi: Ada perbedaan signifikan dalam sumber daya yang tersedia untuk sekolah-sekolah yang melayani kelompok sosial ekonomi yang berbeda. Misalnya, desain sekolah sebagai persiapan masuk perguruan tinggi dan sistem jalur sekolah lanjutan yang didasarkan pada nilai akademik condong menguntungkan kalangan menengah atas, sebagai akibatnya anak-anak dari latar belakang sosial ekonomi rendah berpotensi menerima kualitas pendidikan yang lebih rendah dan kurang bermanfaat bagi kehidupan mereka.
  • Pengujian dan kurikulum Standar: Standardisasi dan ujian kelulusan dengan standar yang ditetapkan (high stake test) mendasari pengetahuan yang diajarkan di sekolah sering kali merugikan kelompok yang terpinggirkan. Mata pelajaran seperti matematika, membaca, dan sains lebih diprioritaskan daripada ilmu sosial, seni, dan musik, mencerminkan nilai-nilai dan kepentingan kelompok dominan.
  • Substansi pengetahuan dalam buku teks: Buku ajar sering mengikuti standar nasional terten yang dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ekonomi. Buku teks ini, bias urban dan Jawa sentris, cenderung menguatkan bentuk pengetahuan tertentu sembari mengecualikan bentuk pengetahuan yang lain, yang semakin memperkuat dominasi kelompok dominan.
  • Bias Guru: Guru mungkin secara tidak sadar lebih menyukai murid yang sama kelas sosial, etnis, agama, atau kebangsaan mereka, yang mengarah pada ketidakadilan dalam praktik kelas. Bias ini dapat mengakibatkan lebih banyak perhatian dan sumber daya diarahkan kepada murid dengan previlese tertentu.

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan pendidik untuk membuat perbedaan dalam pendidikan dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan adil, dengan membalikkan situasi yang telah disebutkan di atas:

Pertama, pendidik perlu merefleksikan dan mendekonstruksi asumsi yang telah lama dipegang. Ini termasuk memeriksa keyakinan dan metode pengajaran mereka serta memahami perbedaan budaya, kelas, gender, dan linguistik siswa mereka.

Kedua, pendidik perlu membangun kesadaran kritis adanya ketidakadilan pengetahuan yang disodorkan sekolah dan berusaha untuk memasukkan suara dan perspektif kelompok terpinggirkan ke dalam praksis mendidik.

Ketiga, mendorong diskursus sosial dan pemikiran kritis khususnya di lingkungan sekolah untuk membantu menciptakan ruang di mana semua siswa, dari semua golongan dan latar belakang, merasa dihargai dan didengar.

Keempat, pendidik berani mengintegrasikan perspektif yang beragam ke dalam apa yang diajarkan, mendeferensisikan substansi dan metode pengajaran agar sesuai dengan karakteristik murid yang beragam. Semua murid diberi dan didorong untuk memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang.

Kelima, pendidik perlu berusaha menciptakan lingkungan belajar yang inklusif di mana semua siswa merasa dihargai dan didukung, termasuk dengan usaha memahami dan menghargai perbedaan budaya, kelas, gender, dan bahasa murid-murid.

Dengan mengambil langkah-langkah penting tersebut , pendidik dapat bekerja menuju praktik pendidikan yang lebih inklusif dan adil serta mengakui dan menghargai keragaman dan pengalaman semua siswa. Penyelidikan kritis terhadap asumsi-asumsi yang mendasari praksis dan implikasinya dalam pendidikan perlu untuk mendorong sistem pendidikan yang lebih adil dan inklusif. Dengan demikian pendidikan terlibat dalam tindakan transformasional yang menantang status quo dan mempromosikan kesetaraan dan keadilan sosial dalam pendidikan.

Dengan menguji kembali dan menantang asumsi-asumsi dasar pengetahuan dan praksis mendidik di sekolah, kita melawan upaya-upaya sistemik maupun tersembunyi untuk menjadikan pendidikan sebagai alat penindasan dan membalikkannya menjadi alat pembebasan.[]

(Bambang Wisudo, Visi Integritas-Satu Visi Utama)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *