Blog

Refleksi Sarasehan : Alumni SALAM Berdampak

Sarasehan : Alumni SALAM Berdampak adalah bagian dari rangkaian acara ulang tahun SALAM ke 25. Sebagai alumni dan narasumber pada sarasehan ini aku mencoba merefleksikan makna belajar di SALAM.

Tyas, Rere, Nane

Daur Belajar di SALAM

Ada satu hal penting yang aku sadari sejak SMA : pembelajaran selalu bisa ditemukan di mana saja, sepanjang kita menyadari bahwa kita sedang belajar. Kesadaran ini muncul dari sebuah obrolan dengan teman sekelas yang merasa stagnan dan tidak belajar banyak selama di Sekolah. Sementara, yang aku lihat, temanku sedang mengalami proses belajar yang sangat dalam, meski tidak ia sadari. 

Pengalaman di SALAM semakin memperkuat itu. SALAM hadir bukan hanya menjadi ruang sekolah, tapi menjadi pengingat juga dari mana aku berasal, dan masalah apa yang melekat di tanah itu. Aku ingat, saat SMA kami diminta untuk riset silsilah keluarga. Menyebalkan buatku, karena aku sampai harus bertanya pada anggota keluarga lain dan ga mengerti apa tujuan dari riset silsilah keluarga? Beranjak besar, aku menyadari riset silsilah keluarga ternyata mengajakku untuk mengingat kembali Bantargebang, gunung sampah di Bekasi, tempat aku tumbuh dan besar. Bantargebang ternyata bukan hanya latar belakang bagiku, tapi jadi sumber pertanyaan di hidupku. 

Di SMA SALAM, riset tidak lahir dari sekadar minat. Riset lahir dari keprihatinan. Aku ingat pernah ada diskusi dengan Bu Wahya, saat aku sering nongkrong bersama para fasilitator. Bu Wahya berkata bahwa pilihan riset seharusnya tidak hanya soal tema yang disukai, tapi tentang masalah yang kita temukan, dan bagaimana kita mencari kemungkinan solusinya. Misalnya, Sekar riset tentang pewarna alami karena prihatin pada limbah pewarna sintetis. Vena membuat make-up dari bahan alami karena gelisah dengan harga make-up yang mahal dan tidak ramah kulit. Bahkan riset Rahman tentang motor custom sempat menjadi bahan diskusi: keprihatinan apa yang ia temukan, dan apa solusi yang ditawarkannya?

Begitu pula aku. Dari keprihatinan terhadap sampah plastik,  aku terus menemukan dan mengembangkan kesimpulan baru. Saat SMA, aku pernah menyimpulkan bahwa daur ulang bukan penyelesaian masalah sampah, karena daur ulang hanya memperpanjang umur sampah. Solusinya adalah mengurangi penggunaan plastik. Tapi sekarang aku tahu, masalah sampah bukan sekadar isu lingkungan. Ia adalah persoalan lintas sektor, pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, bahkan keadilan. Maka solusinya tidak bisa diseragamkan. Harus kontekstual, sesuai tempat dan waktu.

“Keikutsertaan orangtua yang seperti apa?”

Ada pertanyaan di sarasehan kemarin tentang kontribusi orangtua, pertanyaan ini muncul dari renunganku yang aku diskusikan dengan moderator. Setelah mendengar diskusi di forum Srawung Orang SALAM. Banyak orangtua mengeluh bahwa orangtua lain kurang aktif berkontribusi di SALAM. Tapi jujur saja, aku merasa ini pembahasan yang berulang dan membosankan. Kenapa?

Karena diskusinya selalu dari sudut pandang orangtua. Orangtua bicara tentang partisipasi orangtua. Padahal yang sedang kita upayakan adalah pendidikan untuk anak-anak kita. Tapi kita ga pernah bertanya pada anak, bagaimana mereka melihat keikutsertaan orangtuanya?

Beberapa waktu lalu aku sempat ngobrol dengan beberapa anak SALAM. Misalnya, Nane. Dia merasa kehadiran orangtuanya dalam proses belajarnya sangat membantu. Bahkan Nane menyebut peran orangtua sebagai bagian dari fasilitator belajar di rumah.

Tapi tidak semua anak merasa begitu. Ada anak lain yang justru mengeluh. Katanya, kehadiran orangtua sering kali malah mengganggu proses berpikir dan menyelesaikan masalah. Mereka merasa tidak diberi ruang untuk mengambil keputusan sendiri.

Dari sinilah aku mulai bertanya:

“Keikutsertaan orangtua yang seperti apa sih yang sebenarnya dibutuhkan oleh anak?”

Ini menurutku adalah pertanyaan penting yang selama ini terabaikan. Karena terlalu sering, keaktifan orangtua diukur dari jumlah rapat yang dihadiri, kegiatan yang diikuti, atau panitia yang dibentuk. Padahal, mungkin yang lebih penting adalah cara hadir yang tepat dan kontekstual bagi setiap anak, tidak melulu soal hadir sebanyak-banyaknya.

Jadi mungkin, sebelum kita kembali membahas bagaimana cara melibatkan orangtua di SALAM, kita perlu menyepakati dulu kenapa orangtua perlu dilibatkan? dan lebih jauh lagi, apa yang dirasakan anak ketika kita hadir. Karena jika kita melibatkan diri tanpa mendengarkan kebutuhan anak, partisipasi itu bisa saja berubah menjadi intervensi.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *