Sering saya dibilang banyak ide dan kreatif dalam membuat kegiatan bersama anak, sepertinya selalu saja ada yang lucu-lucu dan menyenangkan. Hmm padahal itu hanya yang saya tampilkan di media sosial. Kenyataannya, saya juga seorang ibu yang mumet, heboh, kewalahan dan tidak sabaran saat menghadapi anak. Seperti pengalaman “ngamuk” saya waktu itu, yang meningkat frekuensinya karena sedang ada yang tidak beres dalam diri saya. Anak saya, Gara, ikut menjadi korban amukan saya. Apa pula penyebab ngamuk tak berfaedah ini? Akan saya ceritakan pelan-pelan, agar kemarahan yang pernah terluapkan menjadi sedikit berfaedah dalam bentuk tulisan yang direfleksikan. Jangan dulu tercengang!
Berhari-hari di bulan Juni, waktu nonton TV Gara di rumah tak terkendali. Saya diam-diamkan eh kok malah makin jadi. Dari pagi sampai malam, anak itu hampir selalu di depan tv. Saya coba ingatkan sekali dua kali tidak mempan. Saya sarankan main yang lain atau di luar bersama teman, dia tidak mau. Saya mulai naik pitam. Saya pun mulai “cemarah” alias ceramah dengan marah-marah. Puanjaaaang dan luamaaaaaa! Dari fakta-fakta kesehatan sampai masalah moral saya angkat-angkat. Bagaimana hasilnya? Sudah barang tentu nihil hasilnya. Gara pun ikut marah-marah, bahkan menyalahkan ibunya karena tidak menyempatkan diri bermain bersamanya. Ada rasa kesepian dan bosan yang terungkap dari kemarahan Gara. Ayahnya yang lebih jarang di rumah ketika tahu kebiasaan nonton TV Gara pun ikutan tren marah-marah. Rumah jadi terasa panas sekali. Saatnya menyiram kepala saya dengan air, kalau tidak mau rumah “terbakar” karena kemarahan yang memuncak. Kasihan juga anak kedua saya yang masih balita jika terus mendengar kata-kata dalam nada melengking setiap waktu.
Saya pun berdiam diri dan merenung, juga tidak ingin diajak bicara. Hingga suatu pagi tepatnya tanggal 2 Juli 2021, saya membuat tulisan di buku catatan pribadi. Saya mengajak Gara ngobrol tentang kebiasaannya nonton tv.
Pertama, saya tanyakan dulu acara TV favorit Gara. Ada 6 film kartun yaitu Boboi Boy Galaxy, Spongebob, Doraemon, Shinbi’s House, Kiko dan Power Ranger. Sambil berbincang, saya terus menulis dan membuat tabel-tabel. Di dalam tabel saya tuliskan jumlah waktu yang digunakan Gara untuk menonton sesuai jam tayang kartun di TV. Gara pun dengan lancar menyebutkan. Jam berapa tayangnya, kapan saja tayang di TV dalam seminggu, dan berapa lama durasi setiap kartun. Saya pindahkan obrolan ke dalam 2 tabel. Saat menghitung total durasi nonton TV, Gara tercengang! Apalagi saya, mosok total waktu menonton TV selama seminggu bisa 52 jam. Ini yang edan TV-nya atau ibunya Gara. Kok bisa-bisanya anak nonton TV lama sekali. Berarti kan rata-rata per hari Gara nonton TV selama 7 atau 8 jam. Itu baru acara yang disukai lho tidak termasuk acara yang ditonton bersama orang tua seperti berita dan film lainnya. Rasa-rasanya kok saya tidak pantas marah-marah kemarin sekalipun saya sedang merasa berat menghadapi hari-hari.
Setelah sejenak tercengang dan mengamati tabel pertama dan kedua yang saya buat tadi, ternyata saya memang tidak marah, nalar saya yang lebih jalan saat itu. Saya harus meneruskan diskusi saat itu demi memperbaiki situasi dan menjadi bahan pembelajaran bagi kami selanjutnya.
Saya kemudian mencari berapa waktu normal atau maksimal yang bisa digunakan anak untuk menonton tv setiap harinya. Dari berbagai sumber mengatakan, menurut kesehatan, waktu menonton TV untuk anak-anak seusia Gara maksimal 2-3 jam per hari. Artinya dalam seminggu anak menonton TV selama 14-21 jam. Saya sekaligus mengajak Gara belajar berhitung dengan menjumlahkan waktu nonton yang ideal ini.
Saya juga mengajak Gara membaca artikel kesehatan. Karena tidak punya buku yang khusus membahas kebiasaan nonton TV, saya pilih shortcut cari artikel di internet, yang saya temukan ada beberapa, salah satunya dari hellosehat.com. “Laporan KPI menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia menempati urutan teratas dalam urusan menonton siaran televisi terlama di antara negara-negara ASEAN. Anak Indonesia rata-rata menonton TV hingga 5-7 jam setiap hari, sementara anak-anak di negara ASEAN lainnya hanya menghabiskan waktu di depan TV sekitar 2-3 jam per hari.”
Dari artikel tersebut juga diungkapkan bahwa menurut sebuah penelitian terbitan Archives of Disease in Childhood tahun 2017, anak-anak yang terbiasa menonton televisi lebih dari 3 jam setiap hari berisiko tinggi untuk mengalami diabetes tipe 2 dan penyakit jantung, serta berisiko mengalami obesitas pada usia 30 tahun menurut sebuah studi lain asal Inggris.
Itu baru dampak secara fisiknya lho, belum terkait dengan tumbuh kembang atau perkembangan sifat sosiopatik saat anak beranjak dewasa, yang tentunya juga banyak dibahas dalam berbagai penelitian.
Untuk menjawab berapa waktu ideal menonton TV bagi anak seusia Gara, saya minta Gara membacanya lagi, sekalian saja belajar membaca pikir saya. Gara pun untungnya mau. Di dalam artikel tertulis: untuk anak-anak yang berusia lebih dari 6 tahun, American Academy of Pediatrics menganjurkan durasi menonton TV harus kurang dari 2 jam setiap hari. Lalu untuk penggunaan media sosial, para ahli kesehatan anak dari seluruh dunia sepakat harus dibatasi hanya 1,5 hingga dua jam sehari untuk anak yang sudah ABG dan remaja.
Nah setelah kami selesai membaca artikel (artikelnya panjang jadi hanya beberapa bagian penting saja yang saya pilih), Gara saya ajak membandingkan antara kebiasaannya akhir-akhir ini dengan waktu ideal yang dianjurkan tadi.
52 jam waktu nonton Gara seminggu. 14 jam waktu yang ideal. Bagaimana? Selanjutnya yang muncul secara spontan adalah pertanyaan refleksi, apakah kebiasaannya ini baik? Apakah sesuai dengan prinsip “jaga diri, jaga teman, jaga lingkungan” yang sudah ditanamkan sejak Gara masih di Taman Anak Salam? Apakah Gara masih akan melanjutkan kebiasaannya? Jika ya atau tidak, mengapa? Apa yang perlu kita lakukan setelah ini?
Awalnya Gara menjawab dengan cengengesan, mengatakan akan melanjutkan kebiasaan nonton TV-nya yang sangat tidak sehat itu. Tapi…Gara hanya mau menggoda saya, apakah saya marah lagi atau sudah “jinak”. Berikutnya kami sadar bahwa kemarahan sebelumnya membuat kami sekeluarga tidak nyaman satu sama lain. Kami perlu membangun kesepakatan dan mencari alternatif pengganti kegiatan nonton TV. Ya lagi-lagi tidak mudah bagi saya. Karena adik Gara masih balita dan sedang aktif-aktifnya berjalan, naik-naik ke berbagai tempat yang lebih tinggi, mengambil dan melempar benda-benda, memasukkannya ke mulut dan berbagai tingkah polah lainnya yang menuntut perhatian lebih dari saya, tentunya agak sulit membagi waktu bersama Gara di siang hari karena saya sendiri, sementara ayahnya bekerja. Jadi, masih boleh lah nonton TV di waktu siang, 2 jam saja. Gara memilih film yang mau ditonton. Tapi kalau di siang hari hanya terpakai 1 jam, sorenya boleh nonton lagi. Gara juga saya beri pemahaman agar bisa mengerti saat adiknya sedang minta perhatian khusus seperti saat mau tidur, makan, pup dan minta ASI. Saya juga harus menyediakan diri berkegiatan bersama Gara jika adiknya sudah tidur dan bisa ditinggal. Saya perlu cari ide-ide kegiatan lagi karena Gara suka bermain bersama atau membuat sesuatu yang menarik, di samping hobinya menggambar dan bermain lego.
Sampai hari ini, kami masih mengupayakan waktu ideal nonton TV ini, namun belumlah sempurna benar-benar 2 jam per hari, apalagi di masa PPKM yang diperpanjangggg terus oleh pemerintah, hingga menimbulkan sedih pedih perih bagi banyak pihak termasuk keluarga kami. Hiburan aman daripada pergi-pergi ke luar rumah salah satunya memang nonton TV. Paling tidak, kebiasaan nonton TV Gara sudah tidak seperti dulu. Jika diminta berhenti atau saya ingatkan tetap nonton TV, maka pilihannya: “Mau dimatikan sendiri TV-nya atau ibu cabut kabelnya dan waktu main game Sabtu Minggu ditiadakan?” Biasanya Gara akan memilih matikan sendiri. Mungkin itu pilihan yang lebih terhormat baginya, kontrol ada dalam dirinya. Dari acara yang ditonton pun dijadikan bahan obrolan kami. Gara bisa menceritakannya atau saya yang bertanya-tanya, minimal Gara tahu apa saja plus minus dari film yang ditontonnya. Lalu saya sendiri juga sudah kembali bisa berpikir jernih untuk berkegiatan bersama.
Saya mendiskusikan minat belajar Gara pada hal apa saja, lalu saya tuliskan di buku catatan. Dari situ, saya cocokkan dengan tujuan belajar di kelas 2, saya gathuk-gathukkan sedemikian rupa, dan ketemulah kurikulum manasuka. Anak suka ibu suka semua suka. Untuk dokumentasi kegiatan kami, saya juga memakai 4 buah map khusus yang dapat diisi langsung oleh Gara: Map Riset, Map Kegiatan Kelas, Map Kegiatan Bebas dan Map Kegiatan Bersama Ibu atau Ayah.
Nonton TV berlebihan tidak boleh diabadikan sebagai sebuah masalah besar yang menggemparkan. Masalah jangan terus diperpanjang macam PPKM saja, itu janji saya pada diri sendiri. Yang selalu terngiang saat saya sedang cerah maupun gundah, sejak memutuskan masuk ke Salam adalah “mari kita belajar memaknai setiap peristiwa”. Pendiri maupun para fasilitator Salam serta sesama orang tua, selalu mengingatkan hal itu dalam berbagai kesempatan.
Itu saja dulu cerita saya. Lain waktu kita akan membicarakan masalah yang lain, semoga bisa tercapai tulisan yang berfaedah sebelum ada pesan WA masuk dari Pak Toto : ” Ayo nulis lagi!”

Orang Tua Siswa SALAM
Leave a Reply