Blog

KEDAULATAN SELERA MAKAN HARUS DIMULAI DARI KELUARGA

Mencoba meramu pangan untuk keluarga adalah kemampuan yang ternyata penting dimiliki orangtua, tidak disangka pada prakteknya cukup menantang untuk dijalani. Lihat saja betapa ramai sosial media seorang dokter ahli gizi yang mengkampanyekan MPASI (Makanan Pendamping ASI) sehat dan menggunakan bahan pangan lokal. Ramai sekali ibu-ibu yang mencari ilmu ke dokter itu menanyakan hal-hal sederhana seperti “Minyak apa yang sehat ?” “Anak saya tidak suka nasi, lalu bagaimana?”. Saya jadi bertanya-tanya, ke mana saja kita sebagai orangtua, apakah seumur hidup kita ini tidak pernah belajar memahami gizi dan pangan lokal kita. Selama ini, yang diasup oleh para orangtua itu apakah dikonsumsi secara tidak sadar, asal telan entah mengikuti anjuran siapa. Saya pribadi, saya curiga secara tidak sadar mengkonsumsi pangan akibat pengaruh iklan di media arus utama. Di era 90-an zaman saya kecil, siapa sih yang tidak konsumsi susu kental manis yang padahal baru belakangan ini saya tahu bahwa di dalamnya tidak ada kandungan susu. Kemana saja saya, selama ini tidak sadar tanpa dosa mengkonsumsinya dan sempat memberikannya pada anak saya sebagai penyedap rasa. Memasuki era sosial media, bukan semakin terinformasi, urusan pangan rumah tangga ini malah semakin kabur. Kabur bukan karena minim informasi tapi kabur karena terlalu banyak informasi sehingga sulit bagi awam untuk memilah informasi. Dokter, ahli gizi, influencer semua punya mazhab masing-masing yang kadang saling berlawanan. Ada metode diet keto, diet vegan, food combining dan berbagai macam aliran lainnya.

 

Melihat kegelisahan ibu-ibu dan simpang siur aliran diet, seakan negeri kita tercinta ini tidak penuh berlimpah dengan sumber pangan sehat yang dulu membuat orang-orang Barat betah berlama-lama menikmatinya di sini dan merampasnya. Bagaimana sebuah negeri kaya yang ditanami apa saja tumbuh subur bisa kebingungan mencari dan mengelola produksi pangan sehat malah lebih mudah mengakses makanan kemasan. Presiden pertama kita Soekarno, dulu sebetulnya sangat perhatian sekali pada urusan perut rakyat, menurut beliau urusan perut ini adalah landasan utama dalam revolusi. Sukarno tahu betul bahwa negerinya pasca kemerdekaan menghadapi ancaman krisis pangan dan gizi buruk. Maka ia menyatukan kekuatan memanggil menteri-menterinya untuk melakukan riset mengumpulkan berbagai sumber pangan dan cara pengolahan produksi pangan dari berbagai daerah di Indonesia. Dari hasil riset tersebut maka lahirlah sebuah buku setebal seribu halaman lebih berjudul Mustikarasa. Ini adalah sebuah artefak sejarah yang menjadi bukti bahwa persoalan pangan ini sudah menjadi perhatian sejak negeri ini dibangun pasca kemerdekaan. Soekarno percaya bahwa bangsa yang kuat adalah bangsa yang memiliki kedaulatan pangan, maka lewat Mustikarasa Soekarno menjabarkan berbagai jenis pangan daerah yang dapat dibudidayakan serta diolah sendiri sesuai dengan konteks daerah masing-masing. Tidak ada haram atau halal, tidak ada diet vegan atau karnivora, resep yang ditawarkan di Mustikarasa sangat beragam sesuai dengan budaya dan kondisi geografis masing-masing daerah. Di daerah Timur yang tidak biasa makan nasi, tentunya tidak perlu repot menanam padi dan memasak nasi, di sana bisa mengandalkan kekuatan pangan sendiri seperti jagung sebagai sumber karbohidrat. Soekarno tahu, semua berawal dari pangan, maka penting bagi suatu negara berdaulat pangan apalagi negeri ini sungguh subur dan kaya.

Sayangnya pesan Mustikarasa Soekarno menghilang ditelan bumi selama masa Orde Baru, negara ini mulai mengimpor beras. Makanan cepat saji Barat mulai masuk ke Indonesia. Gempuran susu formula merasuki anak Indonesia bahkan saya ingat dulu di tahun 90-an promosi susu kemasan dibagikan gratis di sekolah. Saya juga ingat bahwa di sekolah dulu tidak pernah ada suatu ilmu yang ditularkan ke murid bagaimana bercocok-tanam, bagaimana memelihara ayam petelur, bagaimana cara meramban. Yang ada dan masih menempel di kepala adalah slogan 4 sehat 5 sempurna yang sekarang juga sudah diubah. Maka tidak heran kalau generasi saya yang sekarang menjadi orangtua kebingungan membersamai anak-anaknya memasuki masa MPASI, masa di mana anak pertama kali memakan makanan selain ASI. Lalu, dituangkanlah kebingungan itu pada berbagai dokter, ahli gizi dan influencer yang bertebaran di media sosial. Seandainya pendidikan pada masa orde baru menaruh perhatian pada kedaulatan pangan, generasi 90-an mungkin tidak terlalu tersesat pada saat mereka dewasa dan menjadi nahkoda bagi keluarganya. Sekarang bukan saja bingung belajar gizi anak, orangtua juga galau memilih mazhab diet yang ditawarkan era demokrasi media untuk dirinya sendiri, maka semakin rapuhlah kesehatan fisik orangtua karena terlambat belajar gizi dan pangan.

 

Di keluarga kami, anak-anak tidak ada yang pergi menuntut ilmu ke sekolah umum. Maka, menjadi tugas orangtua untuk mengenalkan kedaulatan pangan ke anak-anak. Orangtua harus ngotot karena lawannya adalah raksasa, perusahaan retail yang setiap mata anak memandang yang dilihat adalah produk-produk mereka. Sebagai usaha memberi “imunisasi” pada anak di sekolah rumah kami yang dipelajari adalah membedakan telur, menanam sayur, mengulik resep di buku-buku seperti Mustikarasa. Setiap pergi ke supermarket , anak-anak juga dibiasakan membaca kandungan yang ada pada kemasan makanan. Dari berbagai nama-nama aneh di kemasan, anak-anak lanjut riset tentang nama kandungan tersebut. Upaya yang bagi saya masih terlalu kecil, belum sampai pada memiliki peternakan sendiri. Namun, upaya apapun penting dilakukan orangtua untuk membuka mata anak sejak dini soal pangan sehat. Kalau belum bisa mengolah, bertani atau berternak. Setidaknya yang bisa dilakukan adalah edukasi tentang apa yang mereka masukan ke tubuh mereka sehari-hari. Mulailah dari yang terdekat dari keluarga kita masing-masing, sekecil apapun yang bisa kita lakukan, coba saja. Membayangkan masa kini yang sudah mulai muncul tren daging buatan lab, telur palsu pengganti telur asli, bagaimana masa depan pangan kita ? Setelah dulu kita rela dimasukan perusahaan cepat saji, akankah kita rela masa depan kita disusupi makanan GMO, daging buatan lab ?. Sudah saatnya persoalan pangan negeri ini masuk menjadi materi belajar anak, baik secara teori dan praktik. Kalau tidak tersalurkan di lembaga pendidikan formal, tak perlu menunggu, lakukan saja semuanya di keluarga kecil kita. Tidak perlu juga terlalu lama protes dan menunggu pemerintah, mulai saja membangun ketahanan pangan dari lingkaran terkecil kita yaitu keluarga. Kita teruskan cita-cita Soekarno yang tercantum pada Mustikarasa. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *