Minggu lalu, secara mendadak sekolah Vadin memberikan pengumuman terkait adanya sekolah tatap muka. Kata Bu wali kelasnya, Dinas Pendidikan di kota kami mendorong beberapa sekolah untuk memulai sekolah tatap muka. Sekolah Vadin yang beberapa waktu sebelumnya tengah sibuk menyelesaikan urusan akreditasi, tentu tampak cukup kelabakan mendapat kabar Dinas tersebut. Para Ortu diberikan informasi melalui jalur WhatsApp terkait kabar tersebut. Sebagian besar orang tua menyambut dengan gembira dengan adanya kabar dimulainya sekolah tatap muka. Sebagian orang tua lain tampak cemas mengenai masalah prosedur kesehatan yang___setelah sejak Rabu minggu lalu sekolah mulai aktif kembali __dirasa kurang sesuai prosedur, terciptanya kerumunan itu sudah pasti.
Untuk pertama kalinya Vadin merasakan Sekolah Dasar formal, setelah kurang lebih satu tahun sekolah di rumah. Sebagai anak kelas dua tapi rasa siswa baru, tentu kecemasan dan gugup dialami oleh sebagian para siswa dan orang tuanya eh atau mungkin hanya kami saja yang deg-degan, mengingat sejatinya kami ini tidak terlalu menyukai model sekolah formal.
Dalam satu minggu Vadin harus masuk sekolah sebanyak tiga kali. Setiap kali masuk, selama dua jam proses belajar dalam kelas berlangsung.
Sepulang sekolah saya bertanya kepada Vadin hari ini belajar apa? Bagaimana sekolahnya? Dan pertanyaan-pertanyaan lain mengenai perasaan dan kondisi di sekolah yang baru. Sejujurnya, dari raut mukanya saja saya sudah bisa menebak bahwa sekolahnya cukup membuatnya bosan.
Ada satu hal yang membuat saya tergelitik dan merasa harus memberikan komentar. Mengenai tugas pertama hari ini di sekolah yaitu belajar menulis halus atau menulis tegak bersambung. Ingin rasanya saya sambat ke bu gurunya, tapi tentu saya pikir itu bukan ide yang bagus, karena bu guru, toh saya yakin hanya menjalankan rencana pembelajaran sesuai dengan pencapaian kurikulum yang ada. Jadilah saya rasan-rasan di sosial media saja. Meski sebetulnya ini juga bukan ide yang lebih baik.
Sekolah Vadin saat ini adalah tempat yang sama dengan saya bersekolah 28 tahun silam. Sungguh menarik ketika melihat kenyataan bahwa bangunan sekolah dan guru-guru pengajarnya sudah berganti rupa, tapi metode dan isian pembelajarnya tidak banyak berubah dari saat saya bersekolah di sana, 28 tahun yang lalu. Rasanya kok sungguh terlalu kalau yang dikejar akreditasi melulu. Kurikulum belajar mungkin sudah berulangkali mengalami perombakan. Tapi metode pengajarannya tetap tidaklah berganti. Ini kan ngeri!
Saya kembali melihat coretan tulisan Vadin di dalam lembaran buku tulisnya. Tampak ada tulisan bu guru di atasnya untuk memberikan contoh. Lalu diikuti di bawahnya tulisan Vadin.
Saya hanya tergeli, wong anak usia kelas dua Sekolah Dasar masih ada yang menulis kalimat demi kalimatnya saja belum sempurna, ini sudah harus mencoba gaya menulis baru; menulis huruf tegak bersambung. Kenapa tidak disempurnakan dulu saja cara menulis huruf yang biasa, baru kemudian kalau memang dirasa perlu barulah memulai lagi dengan hal lain. Meski saya rasa tidak ada urgensi dalam hal tulis menulis latin ini.
Saya kembali teringat, menulis huruf latin ini pernah keluar pada soal Penilaian Tengah Semester (PTS) Vadin beberapa waktu lalu dalam mata pelajaran Bahasa Jawa dan memang belum pernah (baca: belum sempat) diajarkan oleh bu guru wali kelas saat itu, hampir semua anak tidak ada yang sanggup mengerjakan. Ini sungguh mencengangkan, pelajaran Bahasa Jawa tapi yang diajarkan adalah menulis latin. Sungguh dunia pendidikan di negara ini rasanya kok makin lucu.
Vadin lantas berkata lirih pada saya, dia bertanya apakah masalah jika dia tidak mendapatkan nilai menulis yang baik dalam setiap pelajaran menulis? Tentu, tidak masalah. Sepanjang perjalanan kami pulang, saya mendongeng tentang sejarah tulisan, bagaimana tulisan itu dulu berupa gambar-gambar yang digunakan oleh manusia dalam suatu kelompok sebagai sarana berkomunikasi. Tidak ada gambar yang dinilai bagus atau buruk, orang bisa menuangkan apa saja yang ada di dalam pikiran melalui simbol, gambar atau tulisan. Tergantung apakah seseorang memiliki keinginan tulisan atau simbol itu bisa dipahami oleh orang lain.
“Kenapa tidak mengetik saja pakai kibor? Kan lebih cepet, hasil bisa di-print.” Tiba-tiba Vadin menyeletuk lagi.
Ah, tentu, ada hal yang harus saya ingat bahwa anak generasi Vadin ini adalah anak generasi 4.0 yang sedang bersiap menuju generasi 5.0 dimana segala macam teknologi mulai merambat makin cepat. Semua orang tua yang terlahir di era 90-an tentu harus mulai menyamakan langkah anak generasi saat ini agar bisa menjadi teman berdiskusi yang asyik dan tidak ketinggalan zaman. Ya, tanggung jawab orang tua di era ini memang memiliki tantangan tersendiri pun bagi para pengajar. Idealnya pengajar yang konon katanya adalah pengganti orang tua di sekolah sudah barang tentu pekerjaannya juga menjadi lebih banyak. Pengajar pun dituntut untuk mampu mengikuti perkembangan zaman, tren, dan juga teknologi. Akan tetapi, apakah semua sudah berjalan secara ideal? Sayangnya, kalau dipikir-pikir lagi kemajuan ini belumlah berjalan beriringan dengan kesiapan sumber daya manusianya.
Soal menulis halus ini contohnya. Saya sejak dulu sampai sekarang bertanya-tanya kenapa ada pelajaran menulis latin, mungkin, mugkin ya ini, dulu menulis latin masih bisa berfungsi untuk menambah khasanah gaya penulisan karena tren masa itu adalah menulis surat. Mungkin, kita masih ingat kala itu kita punya satu atau beberapa sahabat pena untuk saling berkirim surat. Ketika sepucuk surat datang, kita lantas buru-buru merobek sampul suratnya dan lekas menuliskan surat balasan, bahkan kadang kita menjajal gaya penulisan baru dengan meliuk-liukan huruf demi huruf agar tampak bergaya. Tapi, itu mungkin hanya ada satu diantara sebagian anak yang menggunakan huruf tegak bersambung sebagai pilihan gaya menulisnya. Namun, minimal sedikitnya masih ada alasan yang cukup logis (jika itu bisa dikategorikan sebagai alasan) kenapa menulis tangan dengan tegak bersambung itu perlu. Ada romantisme yang mungkin tertanam ketika kita menuliskan sebuah surat untuk sahabat kesayangan. Tapi, itu era 90-an dan sebelumnya. Sementara saat ini, kalaupun menulis halus itu memang perlu dikenalkan, apa urgensinya diajarkan pada level pembelajar sekolah dasar awal yang masih mempunyai kebutuhan untuk membaca dan menulis kalimat demi kalimat dengan baik? Terlebih saat ini dominasi perangkat teknologi dalam kehidupan bagai makanan sehari-hari.
Beberapa teman guru ada yang mengatakan bahwa menulis halus ini salah satunya adalah melatih kesabaran dan motorik halus anak?
Kenapa menulis halus? Saya pengen nangis saja.
Di negeri Sakura anak-anak sekolah dasar belajar untuk terampil dan mandiri dengan belajar menjahit, melipat baju, mengikatkan tali sepatu, dan hal dasar lain yang menurut saya itu juga bisa melatih anak untuk belajar sabar dan melatih kemampuan motorik halusnya. Sementara di negeri kita, setelah 76 tahun merdeka dari kekuasaan asing, anak sekolah dasar awal masih disibukkan dengan menulis huruf tegak bersambung untuk melatih kesabaran dan motorik halus.
Saya tidak bilang bahwa menulis huruf tegak bersambung itu tidak penting. Tentu, itu juga penting apabila anak tersebut memiliki kebutuhan di masa depan untuk menjadi doodle writing artist misalnya. Atau jikalau memang anak tersebut memang mempunyai ketertarikan khusus dalam dunia seni menulis. Mungkin kegiatan menulis tegak bersambung ini perlu untuk ditelateni.
Justru, rasanya ketika mengingat bahwa anak usia sekolah dasar awal itu sangat mudah menyerap kode, lambang atau simbol kenapa malah justru tidak diajarkan saja menulis dan membaca aksara jawa jika memang menulis huruf tegak sambung masuk ke dalam mata pelajaran Bahasa Jawa. Bukankah belajar mengenali budaya sendiri sejak dini itu jauh lebih penting dan perlu di masa transisi generasi 4.0 yang saat ini mulai pelan-pelan kehilangan sentuhan kedaerahan?
Orang Tua SALAM
Leave a Reply