Blog

LINGKUNGAN TERKEMBANG JADI BUKU

“Keingintahuan bertemu serangkaian proses penelitian mampu menghasilkan novelet. Kendati usianya belum genap sepuluh tahun, anak ini membuktikan betapa ekosistem belajar di SALAM sungguh memerdekakan kreativitas”

Moderator Eko Winardi membacakan nukilan Misteri Penculikan Aktor Teater

SastraLiman, Kadipiro – Satu, dua, dan tiga anak bermain kejar-kejaran. Berlari dari ujung satu ke ujung yang lain dengan begitu girang. Anak lain yang sebelumnya merunduk dan menyapu pandangan di layar sontak ikutan. Sementara itu, anak lain tampak menatap tembok di sebelah selatan. Ia memandang pigura dan sesekali mengekspresikan wajah antusias.

Puluhan foto bertemakan Obah itu berjejer rapi memenuhi dinding Pendopo Maiyah. Bersandingan dengan lukisan karya Nevi Budianto, hasil jepretan Pedrosa Oscar, siswa tingkat SMA di Sanggar Anak Alam (SALAM) tersebut, turut memeriahkan acara rutin bulanan SastraLiman tadi malam (05/12).

Acara utamanya adalah diskusi novelet karya anak kelas empat tingkat sekolah dasar SALAM. Nawang Rat Satiti, novelis berusia sembilan tahun, menulis Misteri Penculikan Seorang Aktor Teater. Novelet ini sebenarnya bagian dari tugas Bulan Presentasi, memungkasi semester ganjil tahun 2022 di SALAM. Bulan Presentasi adalah momen “panen pengetahuan” hasil karya riset siswa yang ditekuni semenjak awal semester.

 Novelet ini mengisahkan hilangnya seorang aktor teater di tengah pertunjukan. Peristiwa ini menghebohkan jamak pihak. Dua anak perempuan bergerak mencari di mana gerangan perginya aktor tersebut. Setiap jengkal pencarian menuai misteri susulan. Rangkaian alur penceritaan mengalir jernih.

Ibarat cerita investigatif, setiap latar membersitkan jejak-jejak yang mengantarkan tokoh utama memperoleh jawaban. Pembaca seperti mengenakan kacamata tokoh utama dalam menemukan aktor teater. Nawang lihai meringkus tokoh berikut karakternya, alur beserta kesinambungan logisnya.

 

Kelihaian ini diperkuatnya melalui pemilihan kalimat pendek. Menghindari bentuk kalimat majemuk tipe bertingkat, setara, atau campuran yang kerap mengalihkan fokus pembaca. Novelet ini tak membuat napas pembaca tersengal-sengal.

Ekosistem Bertumbuh

Dimulai pada pukul 19.30, SastraLiman menghadirkan Mbah Nun, Budi Sardjono, Tri Wahyuningsih (Fasilitator SALAM), dan Kurniawan Adisaputro (orang tua Nawang). “Acara ini harapannya tidak hanya membahas novelet karya Nawang. Melainkan juga mendiskusikan ide dan proses penciptaan serta pendampingannya,” buka moderator, Eko Winardi.

 

“Nawang ini ibarat pohon. Berbuah jadi buku. Sebab, ada ekosistem yang mendukung. Ibarat tanaman itu kita harapkan kepada Mbah Nun. Mbah Nun ibarat matahari yang memberikan sinar mentari pagi yang sangat berguna bagi taman dan tanaman,” Eko menambahkan.

Menurut Mbah Nun, bakat Nawang merekah di usia muda. Selain karena lingkungan belajar yang tumbuh subur, bakatnya itu diberikan langsung oleh Tuhan. Ekosistem pendidikan di SALAM memungkinkan pertumbuhan bakat anak.

Metode belajar di SALAM berangkat dari aktivitas penelitian. Pemilihan metode ini berkebalikan dengan sekolah kebanyakan yang acap memulai dari mata pelajaran. “Jadi, anak itu jangan diwulang. Anak itu punya sel sendiri. Anak itu harusnya dirangsang untuk bertumbuh. Metodenya bukan mulang. Wajar saja pendidikan kita salah karena seneng mulang,” ucap Mbah Nun.

SALAM, bagi Mbah Nun, sudah tepat memberikan kesempatan bagi bakat anak untuk tumbuh berkembang. Pendekatan pendidikan di SALAM cenderung dialogis. Anak dipandang bukan sebagai objek, melainkan subjek yang senantiasa punya minat dan karakteristik khusus. Mbah Nun melanjutkan, bakat dan minat anak itu kemudian oleh fasilitator dipertimbangkan lebih lanjut.

“Sanggar itu lebih amaliah, kultural, dan alami,” Mbah Nun menjelaskan, “sehingga SALAM itu mengajak kita untuk sinau kepada alam.” Belajar kepada alam berarti mengembalikan relasi esensial manusia. “Wong kuwi kang mas e. Kalau menentang alam berarti manusia akan merusaknya,” imbuhnya. Hubungan antara alam dan manusia, menurut Mbah Nun, hendaknya bersifat memberi dan menerima.

Hemat Mbah Nun, SALAM setemali dengan spirit ketamansiswaan. Pada Taman Siswa era Ki Hadjar Dewantara, nomor satu bukan soal pengajaran. Namun, bagi Mbah Nun, “Taman Siswa itu siswa berada di alam. Bukan sekolah untuk merampok alam.”

Praktik eksploitasi manusia terhadap alam mencapai titik nadir. Mbah Nun berpendapat, praktik pengerukan tersebut sama dengan cara penjajahan baru. Pandangan ini menunjukkan analogi lebih lanjut. Betapa SALAM menghargai alam sebagaimana penghargaan lebih tinggi atas kemerdekaan anak. Memfasilitasi anak untuk merdeka mengembangkan bakat dan minatnya sendiri.

 

Karena novelet adalah bagian dari jagat kesusastraan, Mbah Nun mengimbau supaya Nawang tak dibebani dengan istilah sastra dalam pengertian jagat literer. “Merdekakan dia dulu. Biar benihnya tumbuh. Dan kalau sudah tumbuh, anak itu kita ajak untuk mempertimbangkan,” ujar Mbah Nun.

 

Mengajak anak untuk mempertimbangkan hal-ihwal, baik urusan pengamatan atas lingkungan maupun refleksi keseharian, membuat makna sastra melampaui dunia tekstual. Mbah Nun menekankan esensi sastra sebagai pemaknaan atas hidup.

“Nawang dan anak-anakku semua, teruskan risetmu. Pokoknya punya target. Setahun gawe loro [novelet]. Bar penculikan aktor teater, besok bikin bedanya angkringan dan indomaret itu gimana to,” pesan Mbah Nun kepada anak-anak SALAM yang malam tadi turut menyimak.

Indonesia, kata Mbah Nun, merupakan tempat paling kaya untuk melahirkan novel atau karya kreatif. Beliau mengharapkan semoga karya kreatif anak SALAM dapat dialihwahanakan ke dalam layar lebar. Penyiapan ini membutuhkan target berkelanjutan. Mbah Nun berpesan agar mentor atau fasilitator yang mendampingi proses belajar anak lebih memberikan pertimbangan.

“Mentor yang memberikan pertimbangan tidak untuk mengkritik. Bocah kuwi tidak untuk diwulang. Ini menekankan pada proses sinaune. Jadi, Nawang harus rajin bertanya dan rajin untuk mempertimbangkan bareng-bareng,” ungkap Mbah Nun.

Selain menguak masalah mikro pendidikan melalui kasus SALAM, Mbah Nun juga menarik persoalan pada tataran makro mengenai praktik pendidikan nasional. “Mainstream pendidikan di Indonesia itu gragas. Pendidikan tidak untuk menemani kehidupan atau keindahan hidup,” kritik Mbah Nun. Di tengah sengkarut dunia kependidikan itu, SALAM adalah satu titik dari benang merah Nusantara. Mbah Nun menilai: benang merah ini paling substansial.

“Gambar besarnya itu kita harus bersyukur karena ada SALAM. Harusnya pendidikan itu ya kayak SALAM itu. Meskipun, [apa yang dilakukan] SALAM tidak bisa diterapkan secara nasional, tetapi setidaknya ada unsur yang dilakukan SALAM. Tuhan selalu memunculkan benang merah di tengah kerusakan-kerusakan,” tegas Mbah Nun.

Kebo Nusu Gudel

Budi Sardjono menganggap helatan SastraLiman akhir tahun ini merupakan tonggak sejarah. Sebab, selama ini SastraLiman sekadar mendatangkan atau mendiskusikan karya orang tua. “Tapi sekarang tidak. Ketika tema acara ini saya sampaikan ke Pasbuja (Paguyuban Sastra Budaya Jawa) mereka kaget. ‘Benar kelas empat Pak Budi’ tanya salah satu penggiat. Iyo bener, kata saya,” ungkapnya membuka paparan.

Sepengetahuan Budi, manakala ia mengisi acara penulisan novel atau cerita pendek di hadapan sejumlah guru, kualitas tulisan mereka masih berantakan. Menurutnya, novelet Nawang membuktikan bahwa anak kecil saja bisa menulis secara apik, runtut, dan bernas.

Mosok wong tuwo ra belajar? Sekarang kita belajar kepada dik Nawang. Usia segitu sudah bisa menulis buku. Bahasa Nawang pendek-pendek kalimatnya. Setiap kali saya ngisi workshop, ketentuan-ketentuan teknis penulisan yang disampaikan, ternyata praktis sudah dilakukan dik Nawang,” lanjut Budi.

Budi mengamati hasil tulisan Nawang yang menurut penilaiannya “enak banget”. Ia menunjuk pada bab enam di novelet itu. Pada bagian itu Nawang mendeskripsikan adegan tokoh dalam mewawancarai saksi mata. Konstruk kalimat deskriptif seperti itu, imbuh Budi, “Tidak mudah!”

“Pengalaman saya saat membaca tulisan-tulisan guru yang panjang-panjang itu, kok nggak ada isinya. [Sebaliknya] logika dik Nawang sudah jalan. Bagaimana membuat kalimat itu terkesan runtut. Enak dibaca,” katanya. Budi menyarankan kepada audiens supaya tidak membuat kalimat lebih dari 14 kata. Pendeknya sebuah kalimat memperlihatkan penguasaan penulis terhadap penuangan gagasan.

Deskripsi dan detail penceritaan novelet besutan Nawang seperti menggambar dengan kalimat. Budi mencontohkan satu alinea di noveletnya itu. “Nawang bisa menguraikan gimana ‘mengibas-ibaskan buntut’ pada seekor hewan. Cerita ini bukan cerita yang ngoyoworo. Dan daripada cerita terjemahan, saya lebih memberikan nilai tinggi pada cerita dik Nawang ini,” papar Budi.

Bakat imajinasi kreatif Nawang, kata Budi, melebihi penulis berusia 30-an. Potensi ini Budi harapkan supaya ada pendampingan kreativitas lebih lanjut. Ia berharap kepada orang tua atau fasilitator supaya mengajak Nawang safari ke situs purbakala. “Coba suatu ketika dia diajak ke candi-candi. Lalu ada candi yang mengisahkan sosok Roro Jonggrang. Nah, ajaklah dia untuk menafsirkan kisah tersebut. Kisah misteri yang disukai dik Nawang akan semakin gila,” paparnya.

Kegilaan yang dimaksud berkonotasi positif. Rangsangan visual yang terdapat di situs purbakala dapat memperkaya imajinasi Nawang. Budi memprediksi, bila kunjungan tersebut dilakoni secara intensif, dirinya optimis kalau Nawang dapat menelurkan “setahun tiga novel”. Kuncinya ada pada pendampingan.

“Untuk [anak] ibu-ibu yang lain [orang tua SALAM], tidak harus seperti Nawang. Saya yakin Sanggar Anak Alam bisa melahirkan novelis-novelis cilik untuk masa depan,” harap Budi.

Proses Kreatif

Menghasilkan karya kreatif membutuhkan ketekunan. Ketekunan yang terjadwal akan mencapai progres. Nawang bercerita bahwa ketertarikannya terhadap cerita misteri sudah berkembang sejak semester sebelumnya. “Aku menggunakan cerita sebelumnya untuk membantu riset sekarang. Riset kelas tiga di semester kedua kemarin. Awalnya, aku baca cerita misteri untuk mengetahui polanya cerita misteri,” ucap Nawang.

Nawang adalah pribadi yang cerita dan runtut menuturkan dapur proses kreatif penulisannya. Dengan sesekali meringis tanda malu, ia mengatakan bahwa noveletnya itu hasil dari peluangan waktu di akhir pekan. Nawang menulis di hari Sabtu dan Minggu. Walaupun, katanya, kadang seminggu sekadar menuntaskan satu bab.

Kurniawan Adisaputro, ayah Nawang, bilang pertama kali anaknya belajar menulis berawal dari struktur penceritaan. “Ini dari pelajaran. Dia belajar cerita itu apa. Lalu [dari situ] belajar membuat struktur-strukturnya. Itu satu semester sendiri. Nah, semester berikutnya dia senang membaca cerita misteri. Baru kemudian meriset tentang itu,” ucapnya.

“Di akhir semester kemarin dia bilang saya pengen nulis cerita misteri. Aku mau bikin cerita penculikan,” kata Kurniawan. Ayahnya gayung bersambut. Ia mendampingi anaknya untuk mengumpulkan bahan penulisan. Sempat berpikir siapa kiranya yang punya kisah penculikan, Kurniawan lalu teringat Bu Feri, kawannya, yang juga seorang aktor teater. Kawan itulah yang menjadi sumber data penelitian Nawang sebelum menggodok noveletnya.

“Apakah ada pemain teater yang diculik? Mungkin tidak? Ya mungkin saja. Sebabnya apa? Misalnya, mengkritik pemerintah,” terang Kurniawan menirukan dialog antara anaknya dan Bu Feri. Selain menemani Nawang melakukan wawancara terhadap narasumber, Kurniawan juga mengajak anaknya menonton pertunjukan teater.

Novelet hasil tangan kreatif Nawang ini merupakan hasil “indie”—disusun sendiri oleh ayahnya yang kebetulan pernah berkecimpung di dunia penerbitan. Ibu Nawang juga turut membantu menyisipkan ilustrasi di sela-sela halaman novelet.

 

Sementara itu, Bu Wahyu, panggilan akrab Tri Wahyuningsih, fasilitatornya Nawang di SALAM, mengaku kalau di kelasnya menerapkan sistem mentoring. Ia sendiri memfasilitasi empat orang anak. Menurutnya, bakat penulisan Nawang telah tumbuh sejak kelas tiga.

“[Saya] tidak terlalu banyak mencampuri risetnya Nawang. Dia tipe siswa yang terstruktur dan terjadwal. Dia sudah memberi tahu apa yang harus dilakukan. Dia melakukan setahap demi setahap,” tutur Bu Wahyu. Menurut pantauannya di kelas, Nawang cenderung tipe siswa yang gemar melakukan sesuatu dengan dasar yang kuat. Ia menceritakan bagaimana geliat Nawang di SALAM. Pernah suatu hari Nawang ditanya Bu Wahyu, “Pernah pentas belum? Nawang menjawab pernah meski cuma sekali dan sudah lama sekali.”

Bu Wahyu pun berdiskusi dengan Nawang, memintanya untuk membaca teks pembukaan UUD 1945 tatkala upacara 17 Agustus. Nawang mengangguk. Setelah itu, Nawang ditanya Bu Wahyu. “Gimana rasanya sebelum membaca? Saya tanya ke Nawang. Dia njawab kalau awalnya deg-degan tapi setelah membaca enggak,” tiru Bu Wahyu memperagakan.

Penuturan Bu Wahyu selama memfasilitasi proses belajar di SALAM menunjukkan adanya relasi kesetaraan antara siswa dan fasilitator. Siswa kerap ditanya demi membuka kemungkinan keberanian dan kreativitas tanpa batas.

Sri Wahyaningsih, pendiri SALAM, menjelaskan proses belajar di Nitirapayan lebih pada upaya pemfasilitasi merdeka belajar anak. “Anak adalah maha guru bagi sumber belajar. Bahwa setiap anak itu punya fitrah dan talena masing-masing,” kata Bu Wahya, panggilan akrab anak-anak kepadanya.

Bu Wahya memberikan cara mendeteksi bakat anak. Menurutnya, sejak bangun sampai tidur lagi merupakan dunia bermain bagi anak. Mengamati aktivitas itu, orang tua seyogianya mengamati dan memahami tindak-tanduk anak. Bu Wahya mengatakan, dunia belajar dan bermain jangan dipisahkan. “Dari bermain iu ada belajar. Anak itu mendidik sendiri, membuat tantangan sendiri,” ucapnya.

Anak selalu punya cara sendiri untuk menyelesaikan masalah. Justru keberadaan orang dewasa acap kali memperkeruh. Maka, Bu Wahya mengimbuhkan, anak membutuhkan Tut Wuri Handayani. Seturut dengan tiga tahapan tumbuh kembang anak menurut Ki Hadjar Dewantara, Bu Wahya mengindentifikasi satu persatu.

Windu pertama adalah masa wiraga. Masa ini anak cenderung gemar bergerak, bertanya, dan bereksplorasi. “Lalu berikutnya windu kedua masa wirama kisaran 9-16 tahun, yakni masa intelektual. Anak sedang berada di masa pencarian karenanya senang menambah pengetahuan,” jelasnya. Windu berikutnya, ia melanjutkan, merupakan masa wirasa yang berada pada rentang usia 17-24 tahun. “Masa yang sudah mapan. Anak sudah menemukan potensinya,” tambah Bu Wahya.

Tiga tahapan untuk menengok penemuan bakat itu bisa dilakukan anak secara mandiri. Bakat memang seharusnya adalah hak anak tanpa obsesi orang tua. Masalahnya, orang tua sering kali turut mengintervensi, bahkan justru melakukan penyeragaman terhadap standar bakat anak lain.

Bu Wahya juga menegaskan, presentasi di SALAM ini menampilkan aneka ragam karya. Selain novelet dan fotografi, anak-anak juga ada yang meneliti antara lain soal proses memasak, membuat komik, kerajinan, musik, dan koreografi.

“Sekolah kami berbasis kehidupan. Tidak menggunakan mata pelajaran sebagai proses belajar. Kami memberikan kemerdekaan. Proses belajarnya pakai riset sesuai kesenangan masing-masing. Nah, kalau belajar melalui ketertarikan itu maka bisa senang dan terpacu untuk berkembang,” terang Bu Wahya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *