Pagi itu saya bangun kesiangan dengan badan yang tidak terasa segar. Rasanya seperti habis berantem semalam. Setelah cukup sadar, saya baru ingat. Malam sebelumnya saya baru saya mengikuti hasil hitung cepat pemilu yang menunjukkan paslon 02, Prabowo-Gibran, kemungkinan besar melaju ke kursi kepresidenan hanya dalam satu putaran. Jujur, saya bukan pendukung paslon tersebut, terutama sejak saya mengikuti pemberitaan seputar cacat politik Gibran yang dilahirkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Sejak data yang masuk hitung cepat di hari berlangsungnya pemilu 14 Februari 2024 telah mencapai angka 85%, pikiran saya mendadak penuh dengan berbagai pertanyaan. Kok bisa ya? Apakah para pemilih sedang bersikap pragmatis saja dengan kondisi demokrasi di negeri ini? Atau memang pemimpin muda sedang benar-benar diidamkan? Atau, jangan-jangan, mereka tidak mendengar pemberitaan selama satu bulan terakhir? Jika memang seperti itu, berarti apakah memang kondisi literasi di Indonesia memang seburuk itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu saya diskusikan bersama suami sebelum akhirnya dia tidur duluan karena mumet mikir politik. Beberapa hari menjelang pemilu, dia sempat pulang ke kampung halamannya dan mendapati sebagian anak muda di desanya telah membulatkan tekad untuk memilih paslon 02. Ketika ditanya apa alasan memilih, jawaban mereka sederhana saja: karena senang dengan paslon ini dan terpapar informasi dari TikTok.
Saya memang pernah membaca berita tentang tim kampanye paslon 02 yang mengerahkan buzzer di TikTok. Tapi saya masih sulit percaya TikTok akan menjadi media yang efektif. Namun, melihat angka hasil hitung cepat, saya mendadak berkesimpulan jika literasi politik, terutamanya di arus digital, pun belum menjadi hal yang cukup dikuasai seorang warga negara meskipun di tangannya tergenggam handphone sepanjang hari. Tapi benarkah itu?
Setelah memantau hasil hitung cepat, saya menyempatkan menonton podcast di kanal tempodotco selama beberapa menit. Hanya sebagai bekal diskusi karena sudah pasti tema obrolan besok di kelas yang saya ampu, kelas 10 SMA di Sanggar Anak Alam (SALAM), tidak jauh-jauh dari pemilu yang baru saja berlangsung.
Survey Kecil-kecilan
Perkiraan saya benar. Begitu kami berkumpul, cerita-cerita seputar pemilu mulai mengalir. Kelas dibuka dengan cerita teman-teman tentang pantauan hasil perolehan suara pilpres di TPS-TPS yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Kemudian kami membahas tentang hasil perhitungan cepat. Saya bertanya dari mana teman-teman kelas 10 ini memantau hasil hitung cepat. Beberapa anak memantau dari siaran televisi. Sementara satu anak memantau dari live TikTok.
Saya kemudian bertanya tentang kesan yang dirasakan pada teman-teman tentang pemilu kali ini. Kebetulan, beberapa waktu yang lalu kami juga telah menyelenggarakan kelas literasi politik dengan mengikuti kuis yang dibuat oleh Kawula17.id, mengulik latar belakang paslon di bijakmemilih.id, dan nonton bareng separuh film dokumenter Dirty Vote, sehingga kelas kali ini cukup memiliki kesinambungan tema dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Satu anak merasa kemenangan paslon 02 di Jawa Tengah dan Bali cukup mencengangkan mengingat kedua propinsi tersebut adalah basis partai PDIP yang cukup besar.
Seorang siswa juga sempat bertanya, kira-kira kondisi politik berikutnya akan seperti apa? Untung saja saya menyempatkan menonton kanal tempodotco malam sebelumnya. Saya lantas mengutip opini Robertus Robert, sosiolog UNJ, dalam podcast yang dipandu wakil pemimpin redaksi Tempo, Bagja Hidayat, bahwa kondisi ini setidaknya memiliki secercah harapan tentang akan lahirnya oposisi. Saya kemudian menjelaskan secara singkat bagaimana oposisi akan bekerja dalam sebuah sistem tata negara.
Saat ada siswa yang menyebut TikTok, saya tiba-tiba teringat dengan kegundahan saya terkait literasi digital. Saya kemudian membuat survey kuantitatif kecil-kecilan dengan responden 9 siswa di kelas 10 dalam diskusi tersebut. Saya bertanya dari mana teman-teman kelas 10 ini terpapar berita-berita seputar politik. Hampir separuh kelas mengaku bahwa mereka terpapar saat sedang scrolling TikTok dan Instagram. Sementara satu-dua anak terpapar dari obrolan bersama orang tua di rumah.
Saya kemudian bertanya apakah mereka pernah menyaksikan podcast politik di YouTube? Tidak ada satu pun anak yang pernah. Namun, satu anak suka melihat cuplikan-cuplikan podcast politik di TikTok. Sayangnya, jika cuplikan itu menarik, dia tidak akan mencari versi utuhnya di YoutTube. Ketika saya tanya alasannya, “Lama dan bosen, Bu.”
“Jadi, berapa lama waktu yang kalian habiskan untuk scrolling di media sosial dalam sehari?” tanya saya. Sebagian besar menjawab bahwa durasi menggunakan media sosial dalam satu hari berkisar 2,5-3 jam. Tergantung ketersediaan kuota data atau ketersediaan wifi.
Saya kemudian bertanya, berapa lama mereka betah menyaksikan sebuah konten audio visual utuh yang sesuai minatnya? Satu anak menjawab jika konten tersebut menarik, dia akan tonton sampai tuntas. Rata-rata anak menjawab maksimal 30 menit. Sebagian kecil hanya sanggup menonton lima menit. Satu anak lebih suka membaca artikel yang bisa diselesaikan dalam satu kali duduk, mungkin sekitar 10-15 menit.
Dari jawaban-jawaban mereka saya mendapat sebuah gambaran kecil tentang relasi antara informasi di internet (yang membludak) dengan keterpaparan pengguna dengan informasi yang tepat. Tentu saja di dalamnya ada algoritma media sosial. Namun, algoritma hanya mampu membaca keinginan- bukan kebutuhan. Kemudian dari mana para remaja ini mendapat pendidikan politik?
Saya lantas bertanya pada teman-teman kelas 10, apakah diskusi-diskusi tentang politik terjadi di ruang-ruang keluarga mereka? Dari 9 anak, satu anak bercerita jika ibu dan ayahnya sering berdiskusi tentang politik secara terbuka di rumah. Empat anak juga bercerita jika bapaknya sering membahas soal politik saat berkumpul bersama keluarga. Dua di antaranya bahkan mampu mengindikasi bahwa eyangnya cukup fanatik dengan paslon capres-cawapres tertentu.
Terakhir saya bertanya, karena pemilu sudah usai, apakah mereka masih akan mengikuti perkembangan berita politik? Semuanya menjawab tidak. “Mungkin tiga-empat tahun lagi, tapi enggak sekarang,” begitu jawab salah satu anak.
Dari survey kecil-kecilan di kelas yang saya ampu ini, saya jadi sadar bahwa ada sebuah tantangan besar dalam pendidikan hari ini, yaitu bagaimana cara terbaik untuk membangkitkan kesadaran kritis dalam berbagai isu, tidak hanya politik. Karena di era digital yang banjir informasi ini, belum tentu informasi datang karena kata kunci di papan pencari. Dia bisa saja muncul di sela-sela rentetan konten di FYP tanpa diundang. Artinya, bahkan untuk membuat seseorang mengetikkan kata kunci di papan pencari pun menjadi sebuah PR yang tidak mudah.
Tentu saja kita tidak boleh berharap banyak dari sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Bahkan menurut saya, negara telah gagal menjalankan mandat mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah ada dua generasi yang kehilangan hak untuk memperoleh informasi sejarah yang benar terkait dua peristiwa besar yang terjadi di negara kita lewat mata pelajaran sejarah, yaitu terkait peristiwa politik di tahun 1965 dan 1998.
Maka, jika berharap pada negara sudah tidak ada gunanya, itu artinya keluarga, sebagai ruang pendidikan pertama dan utama, harus mampu membuka ruang-ruang di rumah menjadi ruang kelas dan ruang diskusi. Keluarga menjadi benteng pertahanan terakhir untuk mencegah lahirnya generasi yang apolitis dan miskin pemikiran kritis. (*)
Orang Tua Murid & Fasilitator SMA SALAM
Leave a Reply