Jogjakarta, 1983
Tidak begitu saja Sri Wahyaningsih, atau kerap dipanggil Wahya, memutuskan untuk hijrah ke Lawen, Banjarnegara dan merintis sanggar belajar di sana. Perempuan kelahiran 19 Desember 1961 ini tumbuh dalam kultur masyarakat agraris yang kental di Karangdowo, Klaten. Semenjak duduk di bangku SMA, keprihatinannya akan kehidupan wong cilik di perkotaan kerap mengusik batinnya. Keprihatinan inilah yang membuatnya tergerak untuk membantu Romo YB Mangunwijaya (Romo Mangun) dalam pelayanan masyarakat di Lembah Code, Yogyakarta di tahun 1983.
Tepat setelah ia menikah di medio 1987 Wahya mantap untuk hijrah ke desa suaminya. Romo Mangun secara pribadi juga sangat mendukung langkah yang dipilihnya ini. Pesannya kepada Wahya singkat: “ Kalau niatmu sudah bulat dan kamu percaya dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat disana, ya segeralah tidak usah ditunda-tunda. nanti aku nengok kesana.”
Lawen, 1988
Beberapa bulan setelah Wahya memulai kegiatannya di Desa Lawen, Banjarnegara tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya Romo Mangun datang berkunjung bersama beberapa kawan. Sajian masakan rumah yang khas dan suasana desa yang asri, tak ayal membuat Romo Mangun dan jatuh cinta. Rencana tinggal yang awalnya 1 minggu molor menjadi 10 hari. Lalu disambung kunjungan beberapa kali dikesempatan berikutnya.
Disela kunjungannya, Romo Mangun banyak berbincang dengan bapak mertua Wahya. Bahkan Romo Mangun sempat mengutarakan niat untuk membeli tanah dan membangun rumah agar ia bisa menghabiskan masa tuanya di Lawen. Romo Mangun juga berniat membangun instalasi pembangkit listrik bertenaga air melihat Lawen kaya akan potensi tersebut. Gayung bersambut. Bapak pun berniat untuk menghibahkan tanah untuk Romo Mangun sebanyak yang dibutuhkan. Rencana ini akan kembali dibicarakan sekembalinya Romo Mangun dari Belanda.
Namun, kabar buruk, kondisi kesehatan Romo Mangun menurun drastis sekembalinya ia dari Belanda. Beberapa kondisi, salah satunya jauhnya akses Lawen ke rumah sakit, menyebabkan niat Romo Mangun hijrah ke Lawen kandas.
Meskipun begitu, dukungan Romo Mangun terhadap Wahya dan sanggar belajar di Lawen tak pernah kandas. Salah satunya dengan mengirim sebuah sketsa rumah tinggal untuk Wahya. Sketsa rumah direspon cepat oleh Wahya dengan membawa beberapa tukang untuk bertemu langsung dengan Romo untuk berkonsultasi.
Pesan Romo Mangun singkat: jadilah kreatif dan manfaatkan yang ada di sekitar. Maka berbekal sketsa, Wahya membangun rumah pertamanya tepat berhadapan dengan ‘ruang kelas’ pendopo mertuanya. Rumah itu dibangun dengan dominasi material bambu, material yang sangat mudah didapat di Lawen.
Selain kerap mengirim tulisannya yang dimuat di media, bahan-bahan bacaan dan alat peraga, secara diam-diam Romo Mangun juga merekomendasikan Wahya sebagai fellow Ashoka. Maka di tahun 1991, tepat 3 tahun setelah aktifitas sanggar belajar di Lawen di rintis, Wahya menerima penghargaan fellow Ashoka untuk kriteria pendidikan rakyat.
Roda ekonomi pun bergerak. Begitu juga dengan agenda rembug warga yang diadakan berkala tiap malam Sabtu Wage. Berbagai permasalahan mulai ekonomi, pendidikan hingga mengkritisi gerak kerja pemerintah daerah kerap menjadi topik utama. Kepercayaan diri masyarakat desa Lawen meningkat. Sanggar belajar yang kemudian diberi nama Sanggar Anak Alam dan kerap disebut SALAM ini pun mengejawantahkan peran tidak hanya sebagai pusat kegiatan belajar, namun juga sebagai forum dimana masyarakat belajar memecahkan permasalahan yang mereka hadapi.
Selain masih sering berkunjung dengan di dampingi sopir (tadak lagi menyetir sendiri seperti saat pertama kali berkunjung), Romo Mangun juga menghadirkan banyak tamu dari mancanegara ke Lawen, yang tidak hanya sekedar berkunjung, namun juga berkarya di sana.
Yogyakarta, 2017
Apa yang dilakukan Sri Wahyaningsih di desa Lawen, Banjarnegara bersumber dari keyakinan Romo Mangun bahwa ”Anak adalah maha guru bagi dirinya dan sumber belajar bagi teman-temannya”. Anak-anak membutuhkan kepercayaan orang dewasa dan ruang merdeka untuk mengembangkan dirinya. Mereka akan melesat bagai anak panah begitu busur kepercayaan dan kesempatan itu melontarkan mereka.
Pengalaman Sri Wahyaningsih di Lawen pada kurun 1988 -1996 menjadi pondasi yang penting dalam membangun pendidikan SALAM hingga hari ini. Lawen membawanya menemukan empat pilar dalam pendidikan dasar yakni : Pangan, Kesehatan, Lingkungan hidup dan Sosial Budaya. Inilah sekolahnya yang sesungguhnya: sekolah kehidupan. Gerna).
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply