Semasa mahasiswa, entah bermula dari situasi apa, saya menemukan alamat website sebuah sekolah. Penggunaan media sosial sebagai branding institusi saat itu belum semarak hari ini. Apa yang terpampang di website itu amat memikat saya. Bahkan hingga beberapa tahun kemudian, setelah menikah dan punya anak, gambaran sekolah yang ditunjukkan di website itu masih menjadi rujukan sekolah yang ideal di benak saya.

Lima tahun setelah menikah, takdir membawa saya dan keluarga pindah ke Yogyakarta, empat jam perjalanan dari Purwokerto yang kecil dan nyaman. Saya kembali teringat pada SALAM, sekolah yang saya kenal dari website. Tapi website kini kalah tenar dibanding sosial media. Dari facebook dan instagram saya tahu apa, bagaimana dan dimana sekolah itu.
Melihat interaksi di sosial media, saya membayangkan SALAM sebagai sekolah dengan papan identitas besar (plang), gerbang dan pagar tinggi. Bayangan itu sirna setelah kami menemukan papan tulisan SALAM. Ya, menemukan adalah kata yang tepat karena plang itu panjangnya mungkin hanya 30cm dengan tinggi sekitar 50cm, menancap dengan agak miring di atas tanah persawahan. Perlu beberapa kali berjalan mondar-mandir di depan sawah, sebelum akhirnya kami menyadari sekolah yang kami cari berada 200m berjalan kaki melewati pematang sawah. Saya yang konservatif menelan ludah, segera menyiapkan diri pada kekecewaan.
Nantinya, setelah mengamati dan merasakan kegembiraan belajar para warga belajar, saya baru menyadari rasa nyaman dan bahagia jauh lebih besar dari sekadar kenyamanan akses masuk dan fasilitas bangunan fisiknya.
Saya kira waktu itu kami datang di saat istirahat, karena banyak anak yang sedang bermain bola, berlarian, berjongkok di atas tanah atau sekadar mondar-mandir di halaman sekolah. Lama sekali waktu istirahatnya, pikir saya. Kelak saya tahu bahwa itu bukan waktu istirahat, melainkan cara belajar ala SALAM yang tidak terbatas pada duduk dalam ruangan.
Kunjungan kedua kami tujukan untuk mendaftar di Taman Anak (preschool). SALAM menerapkan kuota warga belajar, sebutan bagi murid. Di TA, kuotanya 15 anak dengan 5 fasilitator, sebutan bagi guru. Perbandingan tersebut semakin memantapkan niat saya untuk memasukkan anak di SALAM. Namun ketika hendak mengisi formulir pendaftaran, saya tertegun melihat pernyataan terakhir sebelum kolom tanda tangan. Kurang lebih yang tertulis di sana adalah: meskipun Bapak/Ibu merasa yakin, namun yang akan menjalani adalah anak. Pastikan anak Bapak/Ibu memang ingin bersekolah di sini, bukan hanya karena kemauan orangtua. Saya lalu bertanya ulang pada anak saya, yang untungnya dijawab dengan anggukan kepala.
Tiga tahun menjadi bagian warga SALAM, saya bisa bilang tugas orangtua di sekolah ini jauh lebih besar dari sekadar antar jemput anak. Kunjungan rumah (homevisit), kelas luar ruang (outing class) dan kelas orangtua adalah sedikit dari kegiatan yang membutuhkan peran orangtua di dalamnya. Saya bukan orangtua yang aktif di semua kegiatan SALAM, saya hanya pernah ikut bantu-bantu pada event yang dimotori oleh para orangtua. Mengamati bagaimana para orangtua saling mengikat diri dalam komunitas, membuat saya menyadari kenapa SALAM menamakan dirinya sebagai sekolah keluarga.
Yang menarik selain mengamati para orangtua adalah mengamati para fasi. Melihat cara fasi menghadapi anak, seringkali menjadi hiburan edukatif bagi saya. Saya jadi belajar menghadapi anak, melembutkan suara dan bernegosiasi dengan anak. Yang paling sulit adalah meniru cara fasi memancing gagasan dan mengajak anak menyusun kerangka-kerangka gagasannya hingga menjadi suatu hubungan sebab akibat yang utuh, tanpa kesan menggurui apalagi mendikte. Saya kerap merasa gagal mempraktikkannya di rumah.
Pengamatan-pengamatan kecil itu tidak saya sangka kini justru menjadi bekal yang berharga. Ketika sekolah harus dilaksanakan di rumah karena pandemi, mau tidak mau orangtua harus menjadi guru dadakan bagi anak-anaknya. Meski masih terbata-bata, mengamati bagaimana Salam menyediakan ekosistem belajar yang nyaman memberi saya gambaran kasar untuk pembelajaran di rumah.
Hari ini, empat tahun sudah berlalu sejak pertama kali menginjakkan kaki di halaman berdebu itu. Selamat ulang tahun, SALAM. Tetaplah jadi ekosistem belajar yang mendukung tumbuh kembang semua warganya.
Saya tidak tahu apa saja yang sudah dipelajari anak saya selama bersekolah di sana. Yang saya tahu, dia memiliki teman-teman yang menghargai pendapatnya dan memperlakukannya dengan baik. Yang saya tahu dia mengingat SALAM dengan perasaan riang dan gembira. Saya tidak tahu apa yang sudah dipelajarinya selama jadi anak kelas 1 di sana, tapi saya tahu dia bahagia.[]

Orang Tua SALAM
Leave a Reply