Foto: Yanuar Surya.
Blog

Sekolah Mempersulit

Pak Joko, sebut saja begitu, datang tergopoh pada suatu siang. Tak seperti biasa, siang ini ia tampak rapi. Berkemeja batik dan bercelana panjang. Busananya rapi. Namun tidak dengan raut wajahnya. Dengan gugup dia berujar “Mbak, anakku ngamuk di sekolah.”

Foto: Yanuar Surya.
Foto: Yanuar Surya.

Rupanya siang itu ia baru saja mengambil rapot putranya. Benar. Laporan hasil belajar anaknya buruk adanya. Hampir semua mata pelajaran nilainya di bawah rata-rata. Bahkan di salah satu mata pelajaran, nilainya nol. Yang paling menarik, di kolom kehadiran, rapot melaporkan si anak tidak hadir di sekolah tanpa keterangan (biasa kita sebut bolos) sebanyak 35 hari. Dengan ringan, sekolah memutuskan si anak tidak naik kelas. Itulah penyebab amuk yang memakan korban 2 unit sepeda motor.

Pak Joko, selaku orangtua siswa, diundang ke sekolah dengan kabar buruk bertubi-tubi. Selain tak naik kelas, pak Joko juga diminta mengganti rugi sekian juta rupiah atas kerusakan yang disebabkan amukan anaknya. Yang membuat pak Joko makin tak paham, kenapa sekolah tak pernah mengkomunikasikan tentang hal ini sebelumnya. 35 hari, setara dengan satu bulan lebih satu minggu, adalah sebuah ruang alpha yang cukup lama. Begitu juga dengan nilai nol di sebuah mata pelajaran. Namun tak ada usaha sedikitpun dari sekolah untuk melaporkan hal ini sebelumnya padanya.

Cerita macam ini sudah pasti berbuah stigma ‘mbeling’ untuk si anak. Dari cerita pak Joko, saya juga menduga anaknya akan kesulitan mencari sekolah lain. Namun yang luput dari cermat kita, adalah ketidakhadiran sekolah dalam perannya yang utama di pendidikan. Nilai nol pada rapot adalah bukti bahwa hanya siswa saja yang dituntut untuk paham. Sementara guru yang mengajar mata pelajaran tersebut tidak berkewajiban untuk ‘memahamkan’. Begitu juga dengan 35 hari ketidakhadiran. Bukankah sekolah seharusnya bisa melacak di hari apa saja 35 hari itu terjadi? Lalu apa pula penyebabnya? Lagipula, bukankah setiap sekolah pasti punya data nomor telepon dan alamat rumah setiap siswa? Apakah sesulit itu mengirim kabar perihal perkembangan belajar siswa pada orangtuanya?

Jika ada yang harus mengganti rugi, saya pikir satu-satunya yang harus melakukan hal itu adalah pihak sekolah. Minimal, sejumlah Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) yang sudah dibayarkan. Karena terbukti, ‘sumbangan’ pak Joko tak berbalas apa-apa. Bahkan yang terjadi justru mempersulit putranya dalam belajar.

Saya tidak tahu apakah di baliho yang terpasang di depan sekolah anak pak Joko tercantum tulisan semacam ‘sekolah pendidikan karakter’ dan sebagainya. Jika ada, tidakkah itu ironis?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *