Blog

SMA TANPA JURUSAN, BISA !

Judul buku ‘Sekolah tanpa Jurusan’, karya Gernatatiti ini mengingatkan saya pada ungkapan yang dilontarkan Nadim Makarim, “Di dalam program SMA sekarang, tidak ada lagi program peminatan untuk yang memiliki Kurikulum Merdeka. Ya tidak ada lagi jurusan, kejuruan dan atau peminatan” (Kompas,11/2/2022). Pernyataan ini saya kira membuat berkerut jidat praktisi pendidikan pada umumnya. Ini perkara yang problematis, karena ungkapan ‘SMA tanpa jurusan’ terkait dengan paradigma pendidikan yang selama ini jarang sekali dibahas di tingkat pelaksana pendidikan, yang umumnya berkonsentrasi pada hal-hal teknis.

 

 

Namun sebelum ke sana, saya ingin terlebih dahulu memperkenalkan buku yang disusun dari catatan proses pembelajaran di jenjang SMA ala Sanggar Anak Alam (SALAM) tadi. Perkenalan dengan buku ini akan membuat kita yang pernah sekolah atau punya anak sekolah di Indonesia dapat menilai perbedaannya—Gambaran tentang model pembelajaran yang ‘khas’ ala SALAM ini dapat langsung kita peroleh dari daftar isi buku. Sebagaimana umumnya sebuah proses belajar, ada tahap perencanaan. Sangat menarik, bagian awal dimulai dengan membahas konsep diri pendidik yang memposisikan diri ‘bukan sebagai guru’. Sebutan guru dalam praktiknya dipahami sebagai seseorang yang menguasai proses pembelajaran, penguasa kelas yang memberi instruksi, yang memberi penghargaan bila seorang anak dinilai berhasil baik dan bisa memberi hukum bila anak diangap melanggar, penafsir tunggal kurikulum yang dibuat pusat untuk dilaksaakan di kelas. Tentu tidak semua pendidik demikian, namun secara umum para pendidik memiliki persepsi diri demikian.

Berbeda dengan konsep diri pendidik yang digambarkan Gerna, yaitu sebagai orang yang menyediakan diri bertransformasi menjadi pembelajar yang membersamai pembelajar muda atau peserta didiknya. Pendidik yang digambarkan lebih mendekati pengertian pamong, istilah bahasa Jawa yang dipopulerkan Ki Hadjar Dewantara dalam sebuah pidatonya tentang ‘Asas-asas Tamansiswa tahun 1922’, bahwa dengan konsep diri pendidik sebagai pamong—yaitu orang yang bertekad untuk ngemong—dalam rangka menghindari segala bentuk paksaan dari pendidik pada murid-murid’, sebagai perwujudan dari perhatian terhadap perkembangan anak dan memberi tuntunan untuk tumbuh subur dan selamat lahir batinnya’ .

Di SALAM, fasilitator ini yang menjalankan fungsi pamong. Maka proses pembelajaran dirancang dan disepakati bersama antara peserta didik, fasilitator dan orangtua.

Di lembaga pendidikan SALAM, orang tua juga menjadi bagian dari warga belajar. Bu Sri Wahyaningsih mengatakan, “Kami tidak ingin mencabut kewajiban orang tua untuk mendidik anak mereka. Anak adalah amanah bagi mereka, kami hanya membantu”. Pelibatan ini sudah dimulai sejak pedaftaran, orang tua turut diwawancara karena mereka akan terlibat aktif.

Hal yang disepakati oleh peserta didik, orang tua dan fasilitator adalah hal yang sangat mendasar yaitu tentang riset yang akan dilakukan sebagai basis utama dan pertama pembelajaran. Di lembaga pendidikan SALAM, pengetahuan tidak dikapling-kapling berdasarkan disiplin ilmu dan mata pelajaran tertentu. Peserta didik belajar bukan untuk terima jadi konstruksi pengetahuan yang telah dirancang-bentuk oleh ilmuwan dan hanya tinggal ‘memamah’nya, melainkan belajar adalah berproses, berdinamika untuk menemukan pengetahuan baru, ketrampilan baru dan nilai-nilai yang membuat hidup bermanfaat. Pembelajaran berbasis riset, sehingga di SALAM tidak ada mata pelajaran.

Riset yang dilakukan bukan semata-mata proses kognitif untuk membangun pengetahuan baru, melainkan menjadi proses yang melibatkan multidimensi dari pribadi peserta didik, yang bersama orangtua sungguh-sungguh berupaya mengenali apa yang menjadi minat sesuai bakat dengan berbagi potensi yang dimiliki, untuk menentukan tema yang menjadi fokus riset. Sebagaimana kerja-kerja keilmuan, riset oleh peserta didik SALAM dimulai dengan malakukan problematisasi, berproses merumuskan masalah penelitian.

Proses menemukan jawaban atas pertanyaan dalam masalah penelitian mengalir secara alami, namun tetap dalam bingkai perencanaan yang jelas. Fasilitator membantu membuat peta konsep yang akan dilalui sehingga ada kurikulum yang disepakti tiga pihak tadi, sebuah kurikulum yang sangat personal, unik, bukan kurikulum yang seragam untuk semua anak. Pada saat yang bersamaan fasilitator tetap memperhatikan kurikulum nasional sesuai jenjang diadaptasi dengan proses yang berjalan, sehingga kurikulum di SALAM tetap sangat ‘mengabdi’ pada dinamikan yang terjadi pada anak.

Model pembelajaran yang sejak awal tidak dikotak-kotakkan dalam disiplin ilmu dalam mata pelajaran, dalam praktiknya mengacu pada proses tumbuh kembang holistik peserta didik, memposisikan mereka sebagai subyek dalam pengertian yang sesungguhnya. Proses ini pun dilanjutkan pada jenjang SMA.

Berbeda dengan sekolah formal di jenjang SMA peserta didik harus memilih jurusan IPA atau IPS sebagai bagian dari persiapan untuk memasuki kuliah di perguruan tinggi dengan spesialisasi ilmu tertentu, di SALAM, pada jenjang SMA proses pembelajaran tetap berbasis riset. Mereka kembali ditemani untuk menemukan jawaban pertanyaan sebagai pengetahuan baru dan belajar dalam praktiknya adalah belajar mengkonstruksi pengetahuan sesuai kepentingan kemanfaatan yang dibutuhkan peserta didik sendiri, apakah akan melanjutkan minat sejak awal belajar di jenjang sebelumnya, merancang suatu usaha, atau menulis buku sesuai ‘keahlian’ yang diperoleh dari perjalanan riset panjang dan dari sana menjadi bekal untuk memilih jurusan dalam pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan SALAM konsisten dengan epistemologi yang memandang ilmu tidak secara segregatif.

Kembali pada ungkapan Nadim Makarim di atas, bagaimana akan memulai meniadakan jurusan dan peminatan di jenjang SMA, bila paradigma yang digunakan tidak selaras?

Tentang paradigma, saya meminjam istilah dari Ahimsa-Putra, (2009) adalah seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis, membentuk sebuah kerangka pemikiran, yang digunakan untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/ atau masalah yang dihadapi.

Listia Suprobo setelah mengikuti bedah buku

Bila dijabaran dalam konteks pendidikan konsep yang berisi tujuan pendidikan terkait dengan bagaimana cara pandang terhadap manusia peserta didik; apakah mereka dipandang sebagai manusia yang tidak tahu apa-apa yang bila dibiarkan tidak dapat mengatur dirinya sendiri sehingga harus dikontrol, atau mereka dipandang sebagai manusia yang memiliki semua potensi yang dibutuhkan untuk menjawab persoalan kehidupan diri dan lingkungannya dan hanya butuh dibantu untuk dikembangkan, dikembangkan kesadarannya tentang nilai-nilai kebaikan hidup bersama? Demikian halnya dengan konsep diri pendidik yang terkait langsung dengan peserta didik.

Lembaga pendikan formal, sejak adanya lembaga pendidikan sekolah, mempraktikan pembelajaran berdasarkan alam pikir modern, yang mana ilmu pengetahuan dan

teknologi di dalamnya dikembangkan atas dasar paradigma positivisme. Paradigma positivisme ini memiliki tiga asumsi utama. Pertama, asumsi tentang kenyataan (ontologis) yang materialistis karena hanya mengakui yang tertangkap indera dan reduksionis, melepaskan keterkaitan satu relaitas dengan yang lain. Dengan demikian, metode yang digunakan untuk memahami realitas dilakukan dengan ‘memecah’ realitas tersebut menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, kemudian dijelaskan secara kuantitatif dengan metode empirik. Pengamatan dan uji coba dilakukan untuk menemukan karakter umum dalam proses generalisasi agar dapat dijadikan hukum. Kedua, asumsi epistemologis, yaitu keyakinan dasar dalam proses mendapatkan pengetahuan, bahwa seorang pengamat dapat melakukan pengamatan tanpa memberi pengaruh pada apa yang diamati, dan tidak akan mempengaruhi hasil pengamatannya. Asumsi ini memunculkan keyakinan, anggapan adanya kepastian dalam setiap hasil pengamatan karena tidak ada interaksi antara pengamat dan yang diamati. Ketiga, asumsi aksiologi, yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus bebas nilai (Barbour, 1971).

 

Spesialisasi bidang keilmuwan dalam alam pikir modern ini yang melatarbelakangi adanya jurusan dan peminatan di jenjang SMA. Kira-kira dengan epistemologi dan paradigma pendidikan yang ada sekarang ini, apakah mungkin penjurusan akan ditiadakan? Atau makusdnya akan ada perubahan paradigma dalam pendidikan di Indonesia, atau bagaimana ya ?

Tentang buku ‘Sekolah tanpa Jurusan’ karya Mba Gerna, lebih jelasnya silakan kontak kontak langsung ke penerbit Buku Mojok atau ke SALAM. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *