Manusia modern kehilangan kemampuan membedakan antara denotasi dan konotasi. Apa yang sebelumnya merupakan konotasi sekarang dianggap sebagai denotasi tanpa tahu ‘sangkan paran’ bahasa. Ketidakmampuan manusia memahami bahasa menyebabkan kesimpangsiuran makna, ketidaktepatan cara pandang, kesesatan pikir, kekacauan budaya, ketidakadilan sosial, ekonomi, dan hukum. Koruptor bukannya malu malah tertawa seolah bangga, aparat negara tak henti-henti menyengsarakan rakyatnya melalui kertas yang ditandatanganinya tanpa sempat baca, hakim membenarkan pembakaran hutan dengan dalih alam mampu menumbuhkan pepohonan lagi. Alih-alih mendatangi orang-orang berilmu, negarawan, guru-guru bangsa yang makin langka untuk meminta petuah, pemimpin negara justru mendatangkan para pelawak untuk menghiburnya di istana. Intinya Bahasa juga akan menjadi penyebab kekacauan, karena tidak mampu dipahami bagi manusia yang jiwanya “jahat” namun memiliki otoritas kekuasaan.
Menyaksikan tanda-tanda yang demikian menggiring kita pada bayangan akan kiamat, kehancuran akhir zaman, yang semakin dekat. Sebagaimana dikabarkan oleh para pujangga waskita tanah Jawa ratusan tahun lalu tentang kondisi Sungsang Bawana Walik menjelang hari akhir. Sungsang Bawana Walik adalah zaman ketika tatanan dunia serba terbalik.
Melalui wawancara khusus untuk Sabana edisi 9 ini, Toto Rahardjo menyampaikan pendapatnya tentang kondisi sosial masyarakat yang serba sungsang, serba terbolak-balik sebagai kiamat itu sendiri. Bermula dari ketidaktepatan cara pandang antara nilai/prinsip, metode, dan tujuan. Ketidaktepatan cara pandang terhadap manusia dan alam melahirkan ketidakadilan yang bersumber dari perbedaan kelas, jenis kelamin, kepemilikan akses sumber daya alam, dan pengetahuan hingga berujung pada kehancuran ekologi kehidupan manusia.
Apa itu Kiamat, Apa itu Kemanusiaan?
Kiamat ini menurut saya berasal dari penangkapan, pencernaan tentang fenomena, hal-hal yang terjadi tiap hari yang kita lihat, bukan kiamat sebagaimana dipahami oleh masyarakat umum dalam konteks agama yang selama ini dipahami. Misalnya ketidakadilan, ketidakpatutan, ketidaksesuaian dalam berbagai hal, yang mestinya dibanggakan malah tidak dibanggakan, yang mestinya dikagumi malah tidak, yang mestinya diyakini malah tidak, yang mestinya dipatuhi malah tidak, begitu pula sebaliknya.
Kiamat sebenarnya bisa dimaknai sebagai keadaan menjauhi nilai hakiki, sesuatu yang paling fundamental. Nilai itu harus fundamental. Sebagai contoh dalam kebanggaan, sekarang apa yang dibanggakan? Hal-hal material. Dan itu sudah menjadi umum, kebanggaan atas materi yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Ini kaitannya dengan kemanusiaan.
Bagi saya kemanusiaan itu nilai yang paling tinggi dalam kehidupan. Bahkan kemanusiaan adalah visi dan misi Tuhan menciptakan manusia. Kemanusiaan tidak sebatas relasi antarmanusia. Lebih jauh lagi relasi manusia dengan alam semesta. Kiamat adalah perubahan yang destruktif terhadap ekologi kehidupan manusia.
Pertanyaannya kemudian apa ciri-ciri untuk menyebut sesuatu itu manusiawi atau tidak. Bisa jadi sekarang orang mengalami kesulitan, tidak lagi memiliki parameter nilai kemanusiaan. Ini kembali lagi ke urusan cara pandang. Cara pandang melahirkan ideologi, yang menuntun pilihan sikap, dan tindakan.
Kiamat kemanusiaan terjadi karena segala ketidaktepatan sudah tidak dipermasalahkan lagi. Ini sudah berjalan lama dan malah menjadi sebuah kewajaran. Kalau orang kaya sombong dianggap wajar. Sama seperti yang terjadi di jalan raya, kendaraan besar boleh semena-mena. Bis bisa semena-mena terhadap mobil, mobil semena-mena terhadap sepeda motor, rombongan moge bisa semena-mena minta pengawalan polisi, dan seterusnya.
Indikasi kiamat kemanusiaan itu sangat tampak misalnya dari ucapan Ramli Mansur, Bupati Aceh Barat, yang mengatakan bahwa perempuan yang tidak memakai pakaian sesuai syariat Islam sama dengan meminta diperkosa (Jakarta Globe: They are asking to get raped) seiring kebijakan penerapan syariat Islam di wilayahnya. Kita perlu meneliti bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah dibuat. Apa yang melatarbelakangi kebijakan tersebut.
Status Sosial: Keadaan vs Peran Sosial?
Ketidakpatutan ini juga berkaitan dengan pandangan orang, mungkin termasuk kita juga, tentang status sosial yang dibanggakan. Padahal status sosial mestinya bukan material. Status sosial hadir ketika relasinya terhadap banyak orang. Sementara sekarang ini Moge yang jadi simbol status sosial.
Status sosial seharusnya berkaitan dengan peran sosial. Bagaimana orang berperan di masyarakat, di tengah-tengah kehidupan ini. Hal itu yang seharusnya menjadi status. “Oh orang itu statusnya sebagai pendidik, sebagai penggerak masyarakat, sebagai orang yang selalu menjadi motor dari sebuah kegiatan kemanusiaan,” misalnya. Itu baru namanya status dan patut dibanggakan. Punya motor gede, kaya-miskin, itu bukan status. Itu keadaan. Sekarang ini banyak orang membanggakan keadaan yang orang lain tidak suka. Sama seperti orang tidak pernah mempertanyakan dari mana dan dengan cara apa seseorang mendapatkan kekayaan karena kekayaan itu sendiri sudah menjadi kebanggaan.
Sumber Ketidakadilan dan Pertarungan Cara Pandang
Begitu juga pandangan orang terhadap ketidakadilan. Selama ini ketidakadilan terjadi setidaknya karena beberapa sebab. Pertama, kelas. Makanya dulu muncul teori kelas antara juragan dan buruh. Kedua, Ketidakadilan berdasarkan jenis kelamin. Karena dunia saat ini dikuasai maskulin maka yang feminim secara kasat mata dikalahkan, jadi objek. Ketiga, ketidakadilan disebabkan oleh usia. Jadi orang dewasa lebih kuat, merasa lebih tahu, kemudian menguasai orang yang lebih muda, apalagi anak-anak.
Keempat, ketidakadilan disebabkan oleh sumber daya alam yang pengelolaannya tidak untuk kesejahteraan umat manusia, hanya dikuasai untuk orang-orang atau kelompok tertentu. Karena kehidupan manusia ditentukan salah satunya oleh sumber daya alam. Demikian faktanya dari awal sampai sekarang. Orang kaya di Indonesia adalah orang-orang yang hidupnya sangat terkait erat dengan sumber daya alam.
Kiamat ini menjadi problem ketika orang salah melihat apakah sesuatu itu sebagai akibat atau sebab dari masalah. Satu contoh soal kemiskinan. Menurut saya kemiskinan itu bukan masalah tetapi akibat, yaitu akibat dari ketidakadilan. Masalahnya terletak pada ketidakadilan bukan kemiskinan. Cara pandang yang menganggap kemiskinan sebagai masalah, tindakannya juga berbeda dibandingkan dengan cara pandang kemiskinan sebagai akibat dari ketidakadilan. Maka program-program yang dihasilkan dari cara pandang kemiskinan sebagai masalah, ya pengentasan kemiskinan. Dientaskan itu kan seperti baju kotor yang dicuci, pagi dijemur sore di-entas. Besoknya pasti akan ada lagi baju kotor. Kalau kemiskinan dianggap masalah tetapi ketidakadilannya tidak ditangani ya saya kira sama saja akan tetap ada orang miskin.
Memang ini soal cara pandang saja. Tetapi cara pandang itu sangat menentukan atau menuntun tindakan seseorang atau institusi. Selama ini yang diteliti selalu akibat-akibat tapi tidak diteliti background-nya. Para akademisi jarang meneliti apa cara pandang atau paradigma yang melatarbelakangi—misalnya apa sih cara pandang yang digunakan sehingga muncul kebijakan tertentu. Di balik kebijakan itu kan ada cara pandang yang tidak pernah diungkap.
Menurut saya itu juga kiamat. Kiamat itu sama saja kerusakan yang tidak pernah bermetamorfosa menjadi kebaikan. Rusak itu hal yang lumrah di dunia tapi kan harus ada pemulihan.
Ngapain kiamat harus menunggu besok di akhir zaman? Sekarang ini kondisinya sudah kiamat terus dan tidak ada tanda-tanda dimulainya zaman baru.
Generasi baru selalu lahir dari biang atau generasi sebelumnya. Siklus itu tidak pernah berubah. Saya tidak tahu juga, jangan-jangan ini memang di luar pengetahuan kita soal waktu yang diciptakan oleh Tuhan untuk bangsa kita seperti apa. Tapi saya yang umurnya sudah 56 tahun, merasa ini sudah terlalu lama. Bayangkan, jaman Fir’aun saja dilahirkan seorang Musa untuk mengubah bangsa. Kalau sekarang dilahirkan siapa?!
Menurut saya kiamat itu juga terjadi karena adanya lawan yang tidak seimbang. Ada pihak yang terlalu dominan. Dominan itu bisa berarti apa yang berlaku secara umum tapi juga bisa berupa padatan yaitu ada pihak tertentu yang menguasai. Sementara sekarang ini yang dominan itu tadi, yang mestinya tidak dikagumi malah dikagumi dan ketidaktepatan lainnya.
Dominasi ini juga bisa diartikan dalam pengertian pengetahuan. Makanya ada yang mengatakan kekuasaan itu lahir dari dominasi pengetahuan melalui instrumen bahasa. Kita bisa lihat contohnya dalam kehidupan sehari-hari. Penguasaan pengetahuan bisa menjadi sumber ketidakadilan juga, apalagi setelah dilembagakan menjadi gelar, tingkat pendidikan. Misalnya saya tidak lulus di perguruan tinggi saya mendapatkan pekerjaan yang sama dengan seorang doktor, saya bisa dihargai berbeda dengan dia. Walaupun hasil pekerjaannya lebih bagus saya. Apalagi kalau orangnya doktor, bule lagi, itu semakin parah lagi perbedaannya. Itu kan bentuk ketidakadilan juga. Tapi orang tidak pernah protes karena hal itu sudah dianggap wajar. Bahwa yang dihargai adalah orang-orang yang bisa menyelesaikan sekolah tinggi.
Yang pasti, adanya dominasi itu tidak bagus. Mestinya yang boleh dominan itu hanya Tuhan saja. Selain Tuhan tidak boleh. Karena semua memiliki hak yang sama. Kalau dalam istilah pengetahuan sosial disebut ketidakadilan. Intinya kalau mau berpikir radikal, yang dominan ya hanya Tuhan. Tadi yang dominan kan orang dewasa, laki-laki, orang kaya, atau orang-orang yang menguasai.
Dari kacamata pendidikan, setidaknya ada 3 hal utama. Pertama ada proses, isinya berupa metode. Kedua, prinsip, nilai-nilai. Ketiga, ada tujuan. Seringkali proses jadi tujuan, yang tidak terkait dengan prinsip-prinsipnya atau prinsip/nilai itu sendiri sudah menjadi tidak penting lagi di dalam prosesnya maupun tujuannya. Itu yang saya maksudkan dengan kiamat. Katakanlah dari ilmu komunikasi, sekarang alat-alat komunikasi sangat banyak. Apakah itu memperbaiki pengetahuan? Kan nggak juga. Malah bisa memperkeruh.
Budaya yang sekarang berkembang melahirkan budaya massa sekaligus maya. Teknologi komunikasi dan informasi online memang membuat dunia semakin ramai, gaduh dan berisik. Mulai dari berdebat dunia maya, perang status facebook, twitwar, pamer makanan, sampai mengumbar aurat di dunia maya. Inilah kebisuan hakiki, meminjam istilah Dr. Sylvia Tiwon, yaitu kekosongan nilai di tengah kebisingan kata di luar pengalaman realitas komunitas dan diri sendiri. Mungkin ada banyak yang gelisah melalui media sosial, facebook, twitter dan lain sebagainya tapi nyaris tidak pernah dibarengi aksi nyata. Itu hanya keramaian yang muncul lalu hilang. Istilah media sosial itu sebenarnya juga bentuk ketidaktepatan. Dunia yang tidak face to face kok disebut media sosial. Bahwa itu menyambung kabar dari berbagai belahan dunia iya, tapi seberapa mutu/kualitasnya dibanding orang bersilaturahmi. Orang tatap muka itu kan mengandung resiko macam-macam, berhubungan langsung dengan realitas fisik.
Ketidakpatutan itu juga terjadi dalam ukuran. Bagaimana bisa Elyas Pical atau Chris John disuruh melawan Mike Tyson? Pasti kalah. Walaupun Chris John berlatih tiap hari dan Mike Tyson hanya minum-minum di bar. Makanya di dalam tinju ada kelas.
Di dalam kehidupan sosial manusia juga sama. Ada perbedaan kelas, tapi kan harus diatur. Saya kira masih ada banyak di kelompok-kelompok kecil yang masih memiliki sistem nilai yang kuat. Tapi kalau kita melihat secara umum, ketika rezim pemikiran modernisme berlaku, nilai yang bersifat tradisi menjadi kalah dan remuk redam.
Dalam kehidupan masyarakat tetap ada status-status sosial yang disematkan oleh masyarakat, misalnya orang pintar, orang bijaksana. Itu ada tetapi kan tidak instan. Ada proses yang panjang. Di situ letak kekuatannya ada pada relasi atau interaksi. Bukan pada titel akademik atau atribut material. Mungkin relasi itu jangkauannya juga tidak sampai kabupaten, paling maksimal ya sekampung/desa. Artinya kalau dalam satu kampung masih mungkin orang saling kenal, saling bisa menilai, saling mengoreksi. Tapi kalau sampai satu kabupaten itu kan butuh sistem. Di situlah perlunya negara.
Negara lahir untuk memproteksi, mendorong, dan mengembangkan sumber daya yang dimiliki baik alam maupun manusianya. Pada kenyataannya, negara justru menjadi persoalan tersendiri melalui kebijakan. Maka seburuk-buruknya rakyat yang tidak punya kekuasaan, artinya rakyat yang individual ini, menurut saya hukumannya beda dong di hadapan pengadilan Tuhan dibanding orang-orang yang diberi kekuasaan. Masak sama?! Gila apa! Walaupun dia shodaqoh, naik haji berkali-kali, mau amal apa kek. Jadi dalam konteks kiamat ini, negara juga bisa menjadi aktor utama. Harus ada yang menjaga nilai-nilai.
Agama: Kuasa Pengetahuan, Kuasa Modal, dan Kemandekan Memahami Tuhan
Celakanya, agama yang konon menjadi wahana pembebasan manusia dalam praktiknya justru menjadi alat yang represif untuk mempercepat kiamat ini terjadi, menambahi kerusakannya. Ini masih berkaitan antara nilai/prinsip, tujuan, dan praktik tadi. Menurut saya agama itu isinya kumpulan nilai-nilai. Tapi apakah betul praktiknya sesuai dengan nilai itu.
Ini juga tantangan untuk agama. Saya menduga suatu saat agama juga akan ditinggalkan orang kalau kondisinya seperti ini terus. Contoh sudah ada di mana-mana, di Eropa, Australia banyak gereja yang kosong dijual karena ditinggalkan jemaatnya. Tidak menutup kemungkinan itu terjadi pada agama-agama lain ketika yang mestinya (yang hakiki) dilakukan malah tidak dilakukan. Lama-lama orang capek.
Okelah sekarang kita nyenggol kiamat dalam pengertian agama, apakah betul kelak di kemudian hari kita ditanyai oleh malaikat seperti pertanyaan ujian sekolah SMP di dunia? Apa agamamu? Siapa Tuhanmu? Siapa nabimu? Memangnya Tuhan sekecil itu membikin pertanyaan ujian seperti itu. Sementara pengetahuan itu yang menjadi pelajaran agama di dunia yang saya alami selama ini. Sama artinya Islam hanya menjadi identitas. Tentunya beda dengan Islam sebagai nilai. Saya tidak tahu kelak yang ditanyakan itu Islam sebagai identitas atau nilai. Kalau bicara kepatuhan, mestinya kepatuhan pada nilai-nilai dong. Kalau dalam konteks negara ya kepatuhan terhadap undang-undang yang disepakati. Tuhan tidak butuh dipatuhi tapi manusia yang butuh patuh pada nilai-nilai yang diciptakan oleh Dia. Ngapain Tuhan menguji kepatuhan wong Dia sendiri yang membuat segala sesuatu kok. Artinya kepatuhan itu tidak dinilai dari seberapa dia hafal apa yang diajarkan.
Menurut saya kalau di dunia ini sudah tidak ada satu sistem kehidupan yang memahami kemampuan manusia satu dan lainnya, itu kiamat. Makanya harus ditelusuri betul sumber-sumber pengetahuan yang menjadi cikal-bakal kiamat atau ketidaktepatan tadi.
Kalau mau berharap, barangkali baru 50 tahun yang akan datang, ada generasi baru yang berbeda. Itu saja barang kali. Bayangkan dari kemerdekaan ke orde baru berapa tahun, atau dari orde baru ke reformasi berapa tahun? Itu pun tidak melahirkan apa-apa.
Dari sisi metode, katakanlah dalam pendidikan, ketidaktepatan ini banyak terjadi. Hal-hal yang mestinya dicairkan malah dipadatkan, yang mestinya dipadatkan malah dicairkan. yang mestinya dipatuhi malah nggak, yang mestinya dibebaskan merdeka malah dibatasi. Dalam hal ini peran pendidik juga bermain. Ini yang disebut kuasa pengetahuan. Maksudnya kuasa pengetahuan agama seperti apa yang dominan, atau kuasa pengetahuan tentang kemanusiaan seperti apa yang dominan.
Dengan kata lain, hidup ini sebenarnya pertarungan pemahaman terhadap manusia dan kemanusiaan. Hanya saja saat ini yang menang justru atmosfir yang mengarah pada ketidaktepatan. Tepat itu jangan diartikan sebagai presisi, mutlak. Boleh lah ada variasi atau melenceng sedikit asal masih dalam koridor yang tepat. Sama seperti orang main drama, improvisasi diperbolehkan. Bisa disebut improvisasi karena ada naskah. Kalau tidak ada naskah bagaimana kita bisa tahu ada improvisasi. Naskah itu kan panduan yang membimbing kita bertindak. Padahal tindakan itu sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, cara pandangnya. Saya kira di situ crowded-nya. Sekarang kita lihat, bisa jadi ini naskah yang tidak terlalu bagus untuk dipahami atau apa. Ada banyak naskah kehidupan yang tidak jelas atau sebenarnya tanpa naskah tapi seolah-olah ada naskah.
Sebetulnya tidak masalah orang itu bodoh, mereka patuh aja. Kepatuhan itu akan bisa hidup ketika berada di dalam sistem kehidupan yang baik. Satu contoh begini, dalam kehidupan kita ada banyak kesalahan manusia yang pada akhirnya selesai dengan sikap “semua ini kan kersane Gusti, kehendak Tuhan.” Padahal belum tentu juga, sangat mungkin itu karena kesalahan kita juga. Sikap seperti ini yang tidak terlalu banyak digugat dalam kehidupan kita.
Sehingga kiamat ini juga terjadi karena kebuntuan kita menghadapi kuasa modal dan kemacetan kita memahami Tuhan. Dalam arti orang selalu membayangkan bahwa kekuasaan Tuhan juga sama seperti ketika manusia berkuasa. Suka tidak suka kita harus belajar pada agama sebelum Islam karena mereka mempersonifikasikan yang ‘cair’ itu dalam kepadatan. Bahwa Tuhan direpresentasikan seperti manusia dan lain sebagainya. Ketika Islam muncul, hal-hal seperti itu dibebaskan cara memahaminya tetapi tidak lengkap piranti untuk memahaminya. Itu semua harus dipelajari, tidak boleh berhenti pada satu kesimpulan saja.
Kalau memang Islam ini agama Tuhan ya jangan berhenti pada kesimpulan mati dong. Tuhan saja tidak bisa disimpulkan. Kemahabesaran Tuhan itu tidak statis, selalu lebih besar dari apapun saja. Sementara sekarang ini banyak kesimpulan yang statis dianggap sebagai kebenaran mutlak. Disadari atau tidak ada kemandekan dalam memahami Tuhan dalam kehidupan kita sekarang. Lebih parahnya, kemandekan pemahaman itu sekarang menjadi stabilo kebenaran, merasa sudah menemukan Tuhan dan berhenti di situ.
Re-denotasi Nilai
Menurut saya, nilai-nilai kehidupan tidak pernah berubah. Nilai keadilan, nilai kemanusiaan, cinta kasih, solidaritas dari jaman ke jaman tidak berubah. Tuhan memberi panduan nilai-nilai itu ya pasti, berlaku sampai kapanpun. Yang berubah itu pemaknaan atas nilai, praktiknya, atau konotasinya. Yang menjadi masalah ketika perubahan konotasi itu dianggap sebagai kelaziman. Bahwa ketika keadaan berubah seolah-olah nilainya ikut berubah padahal secara denotasi, nilai keadilan dari dulu ya sama.
Saya membayangkan kehidupan itu seperti stasiun kereta. Untuk menjaga kemanusiaan itu ibarat naik kereta. Artinya sebuah kereta bisa berjalan memang harus melalui rel dan selalu ada stasiun-stasiun di mana kita harus berhenti. Sebuah sistem yang mestinya harus ditaati. Tapi sekarang ini orang bisa naik sepeda, naik motor, mobil dan sebagainya. Akibatnya jalanan jadi crowded. Sementara alat transportasinya juga sudah berubah fungsi lebih sebagai alat status. Sekarang ini karena ketidakjelasan sistem ‘kereta api’, semuanya diserahkan kepada takdir. Padahal ini pengelolaannya saja yang tidak benar. Orang terburu-buru menyerahkan kepada Tuhan dengan berlindung di balik ungkapan Gusti Ora Sare, “Tuhan yang ngatur rejeki.” Coba kalau kita hidup di negara yang hak-hak dasar manusianya terpenuhi, mungkin nama Tuhan tidak terlalu sering disebut dalam hidup. Jangan-jangan ini karena kita sudah berpuluh-puluh tahun hidup dalam ketidakjelasan sehingga kehadiran Tuhan dianggap sangat penting. Sebagaimana pernah diceritakan Cak Nun bahwa hidup di Korea Selatan itu sangat tertib, jelas aturannya, tapi susah kita menemukan rasa kemanusiaan sedangkan hidup di Indonesia sangat tidak jelas aturannya, serba tidak pasti, tapi kaya akan rasa kemanusiaan.
Itu soal pilihan memaknai paradoks, tapi mestinya tidak dijadikan alasan untuk terima-terima saja keadaan yang serba tidak jelas. Justru kita bisa mengambil pelajaran bahwa ada kemungkinan untuk menciptakan sistem stasiun kereta api atau kehidupan yang lebih baik. Misalnya aturan semua pedagang tidak boleh masuk stasiun itu mestinya berlaku untuk semua pedagang. Baik yang pedagang asongan atau outlet bermerk. Padahal para pedagang asongan itu selama ini juga merasa ditarik pungutan kok dilarang. Contoh lain, misalnya di Parangtritis karena sering ada orang yang terbawa ombak akhirnya pihak pengelola memutuskan untuk membangun tembok pembatas yang menghalangi orang bermain air di pantai. Tapi kan pengunjung jadi tidak punya kenangan bisa bermain dengan ombak. Itulah sistem yang berlaku sekarang ini.
Pendapat saya ini juga bukan suatu kesimpulan. Kalau kita bicara dari sudut pandang waktu, kita sama-sama tidak tahu rahasia waktu. Tapi kegelisahan itu penting. Kata kiamat itu muncul juga dari kegelisahan saya melihat fenomena-fenomena yang terjadi. Mungkin kegelisahan ini mulai dirasakan banyak orang. Tapi nyaris tidak ada orang yang berani bertindak. Ketika ada satu dua orang yang akhirnya bertindak seperti pesepeda yang menghadang rombongan moge, yang lain baru ikut bersuara. Ini menunjukkan bahwa organisasi-organisasi masyarakat yang ada tidak berfungsi.
Organisasi ada itu untuk mengatur kehidupan bersama. Apakah organisasi-organisasi yang ada itu mengatur kehidupan bersama? Kalau saya sendiri sudah tidak percaya bahwa kita masih hidup dalam sistem komunalitas. Ini juga termasuk kiamat ketika ada problem-problem besar kemasyarakatan yang harus ditanggung oleh orang-perorang. Seperti kasus konvoi moge itu kan tidak bisa hanya ditanggung oleh seorang yang naik sepeda itu. Yang menanggung mestinya negara. Perpecahan antar agama juga harus ditanggung negara bukan oleh pemeluk agamanya sendiri. Kalau tidak, berarti negara tidak hadir sebagai pelindung. Orang per orang hanya bisa melindungi dirinya sendiri tidak bisa memproteksi banyak orang. Di situlah alasan kenapa ada negara atau organisasi. Sejak jaman apapun selalu ada sekumpulan orang yang bekerja sama untuk mengatur kehidupan bersama. Saya kira itu yang harus kita pelajari lebih jauh.
Staff Redaksi Majalah Sabana
Leave a Reply